Ciuman Pertama Aruna

IV-146. Berdamai Dengan Diri Sendiri



IV-146. Berdamai Dengan Diri Sendiri

0Suasana di rumah megah lereng perbukitan itu berubah dalam waktu sekejap, tawa dan kalimat-kalimat hangat hadir dari meja makan hanya karena seorang perempuan mungil bermata coklat itu berubah suasana hatinya.     

Kedatangan sang ayah memberi efek besar dan luar bisa, siapa sangka tindakan spontanitas Mahendra yang memutuskan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menemui sang ayah merupakan cara paling tepat.     

Mungkin benar kalimat yang menyatakan, kebahagiaan seluruh keluarga terletak pada seberapa besar kebahagiaan perempuannya.     

Aksioma yang mengatakan bahwa ibu harus bahagia supaya seluruh keluarga menemukan kebahagiaannya, bisa jadi bukan sekedar ungkapan sederhana.     

Resep yang unik, namun benar adanya. Mahendra makan lebih banyak siang ini. bukan karena dia melihat lebih banyak senyum istrinya dibandingkan hari-hari sebelumnya. Melainkan karena perasaan bahagia yang mendorong nafsu makan yang lebih besar.     

"sementara jangan makan ikan," Hendra menghentikan tangan Aruna yang hendak meraih ikan di atas wadah yang tersaji di atas meja marmer. Gurami asam manis yang menggoda. Mengakibatkan Aruna mengerutkan bibirnya.     

"ini bukan ikan laut Hendra," sang istri gerutu lirih.     

"oh' benar juga," pria ini mengambil alih sendok di tangan kiri Aruna. Perempuan itu makan dengan tangan kiri sebab tangan kanannya di balut perban sampai tak bersisa.     

Hendra menyadari lelaki yang duduk di hadapannya mengamati tiap detail keadaan putrinya. Ia menghirup nafas banyak-banyak sebelum meneguk air. Yang paling Hendra kagumi dari lelaki yang juga mantan ajudan paling setia kakeknya tersebut adalah keputusannya untuk tidak mempertanyakan apa pun.     

Menyimpan keinginan besar berupa gelitik hati terkait menemukan jawaban, apa yang terjadi pada tangan putri bungsunya Aruna atau apa yang terjadi sampai dirinya harus di bawa ke rumah ini. Membuat Hendra merasa perlu banyak belajar menahan diri dari lelaki satu ini.     

Andai sekali saja Lesmana melempar kalimat tanya. Hendra yakin suasana di ruangan ini pastilah berubah 180 derajat.     

Sesekali mata biru itu melirik cara Lesmana menanggapi kalimat-kalimat Aruna dan cenderung berhasil menghibur putrinya.     

.     

.     

"Anda ingin saya antar?" tanya Mahendra selepas acara makan usai dan dua lelaki tersebut bersantai di teras samping rumah.     

"biarkan sopir saja yang mengantarku, lebih baik temani putriku," balas Lesmana.     

"baik ayah," masih mengamati hamparan taman dan danau yang terletak di hadapan keduanya. Para pria ini larut ke dalam pemikirannya masing-masing.     

"apakah lancang jika aku menanyakan; apa yang terjadi pada telapak tangan putriku," ini yang di tunggu Mahendra, dia meyakini sang ayah sedang menanti momentum yang paling tepat demi mencari pemahaman, akan tetapi tak sampai menyinggung Hati.     

"saya yang lancang pada Anda," lelaki bermata biru itu menoleh menatap sisi kanan wajah lawan bicaranya, "aku yang gagal menjaganya,"     

"semua pernah gagal nak, Your biggest weakness is when you give up and your greatest power is when you try one more time," dia yang bicara melirik menantunya, "seburuk apa pun kegagalan kekuatan paling hebat ialah mencobanya sekali lagi, lagi dan lagi,"     

Hendra mengangguk, sebelum dia mengeluarkan smartphonenya dan menunjukkan sebuah foto dari benda layar sentuh tersebut.     

"siapa ini?"     

"putra barga,"     

Mendengarkan istilah yang di ujarkan menantunya. ayah Lesmana buru-buru memeriksanya dengan sesama. "kenapa dia terbaring? Dia sakit?"     

"koma," jelas Mahendra. Lesmana menurunkan smartphone dan meletakan pada meja di depannya. "jadi dia ada di tangan kalian," Lesmana lebih dari paham tentang perseteruan dua keluarga dan tentu saja pemuda itu. Rey, putra Tarantula yang menghancurkan karier putra sulungnya.     

"lebih tepatnya dia koma sebab tertembak, bukan aku atau orangku yang menembaknya, lebih dari itu, istriku yang artinya putri Anda sendiri. Rey Barga koma oleh tembakan tangan mungil yang di penuhi gulungan perban," Hendra meraih smartphone di atas meja kemudian memasukkannya kembali ke dalam sakunya.     

Nafas berat yang jarang terdengar dari cara Lesmana berembus sesak detik ini. hadir di luar kebiasaan.     

"pasti keluarganya sedang menggencarkan pencarian, besar-besaran, dan membabi-buta,"     

"sampai siang ini, orang-orangku mendapatkan informasi bahwa seluruh anggota dewan Tarantula bergabung. Mereka membuat sayembara besar-besaran,"     

"jadi, mereka akan memata-matai keluarga ini lebih intens?" ini sudut pandang spontanitas ayah Lesmana.     

"Sekali ketahuan, bahwa Rey koma di tangan kami, bom perselisihan yang sudah mengakar seperti gunung es tak bisa di hindari lagi," Hendra tidak bisa menutupi lagi kenyataan pahit yang terus ia pantau di sela-sela menenangkan hati istrinya.     

"jika kamu butuh bantuan ayah, jangan ragu memanggilku kapan saja," Lesmana berharap dia bisa mengambil bagian untuk membantu putra mantunya.     

"aku," sempat merenung sesaat, "sejujurnya saya lebih menghawatirkan Aruna, banyak hal yang terjadi padanya. Aku melihatnya tidak bahagia," Jujur Mahendra.     

Tiba-tiba Lesmana bangkit, "apa putriku istirahat di kamarnya?" mendapatkan pernyataan ini Mahendra sempat panik, tapi lelaki bermata biru itu lekas mengangguk.     

.     

.     

"kamu tahu nak, orang yang paling bahagia bukalah orang yang paling banyak pencapaiannya. Orang yang paling bahagia adalah orang lebih banyak waktu dalam flow, dalam keadaan mengalir," ujar Lesmana.     

Aruna masih terbaring di atas ranjangnya memeluk guling dan sang ayah duduk di tepian ranjang sembari menaikkan sebagian kaki kanannya. Di mana kaki kiri masih di lantai.     

Aruna tidak mengerti secara penuh pesan yang di ungkapkan sang ayah. Walaupun perempuan ini tak berbicara–mengungkapkan isi hati–sepertinya Lesmana bisa membaca dengan baik isi hati putrinya.     

"Orang-orang cenderung memandang 'hal-hal tertentu' dalam hidup itu penting bagi kebahagiaan, padahal kenyataannya tidak demikian. Kebanyakan dari kita menciptakan ilusi hingga begitu terfokus pada aspek tertentu dalam hidup sampai-sampai memercayai bahwa seluruh kebahagiaan kita bergantung pada tergapainya aspek-aspek tersebut. misalnya, menganggap aspek pernikahan sebagai syarat bagi kebahagiaan. Pada kasus demikian, mereka yang cenderung fokus akan perihal pernikahan akan merasa tidak bahagia selama mereka tetap melajang. Sebagian orang akan mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa merasa bahagia karena tidak memiliki cukup uang, sementara yang lain akan merasa yakin mereka tidak bahagia karena tidak memiliki pekerjaan yang layak," Aruna mendengarkan dengan cermat nasehat ayahnya.     

"Kenyataannya tidak ada formula mutlak bagi kebahagiaan—setiap kondisi unik dalam hidup bisa menghadirkan fondasi bagi kebahagiaan, dengan cara uniknya sendiri. Kita bisa bahagia ketika menikah dengan lahirnya anak-anak, atau ketika menikah tanpa anak. Kita bisa merasa bahagia ketika melajang, dengan gelar sarjana, ataupun tidak. Kita bisa bahagia saat bertubuh langsing, Kita bisa bahagia saat bertubuh gendut. Kita bisa bahagia ketika tinggal di rumah sederhana atau di mana pun itu." Pria ini mengamati ekspresi lahan bicara. Perempuan mungil yang sebentar lagi jadi ibu mendengar nasehat sang ayah dengan cermat. Mirip dirinya kala masih anak-anak.     

"Aruna juga, putriku bisa bahagia meski terus menjadi perempuan yang tidak memiliki karier cemerlang seperti teman-temannya, melakukan tugas-tugas remeh sebagai ibu, tanpa pernah menyerah. Sekali lagi ayah tegaskan; Tidak ada formula mutlak bagi kebahagiaan—setiap kondisi unik dalam hidup bisa menghadirkan fondasi bagi kebahagiaan, dengan cara uniknya sendiri," ibu hamil ini memeluk guling lebih erat.     

"Singkat kata dari ayah, untuk menjadi bahagia, Aruna harus menerima diri sendiri. Menerima diri sendiri adalah salah satu tugas terpenting meski yang kita hadapi dalam hidup kita begitu sulit. Tentu saja, menerima diri sendiri merupakan hal paling mudah, paling sederhana dan paling memberi kepuasan yang bisa kita lakukan bagi diri kita sendiri—formula dengan anggaran-rendah dan bebas pemeliharaan untuk jadi bahagia,"     

"secara paradoks, menerima diri sendiri sering kali melibatkan membebaskan diri sendiri, terutama bila ada khayalan yang diri ini ciptakan, yang di dambakan. Kita harus bisa melepaskan diri dari khayalan imajinatif ini, demi menerima diri kita sendiri. Selanjutnya mudah saja kita menemukan kebahagiaan. Sebab kita membebaskan diri kita dengan menerima secara utuh apa pun diri kita,"     

"Apakah ayah sedang berbicara tentang mensyukuri keadaan?" ini suara Aruna.     

"aku rasa memang benar, Syukur ataupun menerima diri sendiri bisa jadi konsep yang sama persis," lelaki yang menatap hangat putrinya tersenyum ramah.     

"Berdamailah dengan dirimu, terima keadaanmu dan temukan kebahagiaanmu nak,"     

Spontan Aruna bangkit dari pembaringan. Perempuan ini lekas memeluk ayahnya.     

Si bungsu telah tumbuh menjadi dewasa namun seiring dengan kehidupan yang terus berlanjut, tanpa di sadari ia telah menanggalkan prinsip terpenting dalam hidupnya sendiri.     

'Berdamai dengan keadaan langkah awal menemukan jalan hidup yang lebih baik,'     

.     

.     

Note penulis :     

sebagian besar tulisan chapter ini terinspirasi buku : The book of IKIGAI. Ken Mogi, Ph.D.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.