Ciuman Pertama Aruna

IV-145. Dekapan Sang Putra



IV-145. Dekapan Sang Putra

0"Ayah," kata paling Aruna rindukan setelah cukup lama belum sempat mengunjungi rumah orang tuanya. Perempuan tersebut sangat senang melihat senyum yang terangkai di bibir ayahnya. Dia sadar diri bahwa sekarang sedang mengandung, walaupun ingin rasanya berlari dan memeluk seperti masa kanak-kanak atau belia, saat sang ayah pulang kerja. Namun kini, semua menjadi berbeda. Tentu saja menjadi canggung untuk melakukan hal serupa.     

Putri bungsu yang saling merindu dengan sang ayah itu kini berjalan mendekat dan detik berikutnya, tangan hangat Lesmana mengusap-usap rambutnya.     

"Baiklah, mari kita sarapan," Gayatri memecahkan suasana hangat dan hampir menyentuh batas terenyuh, yang artinya gadis kecil yang kini hampir menjadi ibu itu mulai berkaca-kaca tanpa alasan. Untung saja mommy menolong Aruna, "Aku lupa jika ini sudah siang, berarti kita makan siang," dan kalimat ralat tersebut mengundang tawa renyah dari Lesmana. Sesungguhnya, tidak ada kesalah pada ucapan perempuan ayu itu. Keluarga ini melewatkan sarapan pagi, sebab kejadian besar yang menghantam beberapa saat lalu.     

Gayatri membiarkan ayah dan putrinya memimpin langkah, seiring dengan nafas panjang yang dihirup perempuan paruh baya tersebut. Betapa inkonsistensi sikap dan perilakunya detik ini. Bukan hanya dia, seluruh keluarga ini dalam kepura-puraan nyata.     

Berjalan di belakang putri yang terus mengatakan hal-hal menyenangkan demi menyambut kedatangan ayahnya, sempat memunculkan luka lama Gayatri. Ekspresi wajah perempuan yang masih ayu di usia yang tak lagi muda tersebut tak dapat disembunyikan lagi. Dia gelisah.     

"Mommy," Mahendra menyentuh bahu ibunya. Tepat ketika perempuan itu menoleh, sebuah tangan kekar memeluk bahunya.     

Tangan putranya memeluk tubuhnya, menciptakan rasa hangat yang menyusup ke dalam rongga dada sang ibu, 'Oh' ya, Tuhan,' getaran bibir yang hanya didengar pemiliknya. Hati Gayatri yang awalnya berada pada dasar terendah, kini mengalami lonjakan berlipat-lipat. Dia serta merta dikuasai oleh perasaan berbunga-bunga yang meletup tak terkendali.     

Dalam mimpi perempuan ini pun, Gayatri tak berani berharap banyak. Sekedar bisa akrab dengan putranya sudah cukup baginya. dan hari ini, sang putra yang lima belas senti meter lebih tinggi darinya tengah mendekap dan menepuk-nepuk bahunya. Menyadarkannya bahwa mimpi tersebut bukan hanya sekedar harapan.      

Saking tidak percayanya, perempuan ayu itu beberapa kali melirik telapak tangan di bahu kirinya, dan serta merta hatinya menjadi lega. Pelukan anak lelaki yang menghilang sejak puluhan tahun akhirnya datang. Apakah ini yang disebut selalu ada hikmah di balik musibah? 'Entahlah, hidup kadang sangat aneh,' batin Gayatri.     

Namun ada satu hal yang baru dia temukan, setelah hampir setengah abad hidupnya. Segala sesuatu perlu diperjuangkan sampai akhir. Gayatri dulu menjadi layaknya mayat hidup, sebab merasa segala upaya sudah dilakukan dan merasa mustahil ada harapan untuk jalan hidupnya yang kelam. Meyakini bahwa dia pewaris tidak potensial dan hanya membawa malapetaka, sebab kebodohannya dengan mengandung dan melahirkan putranya tanpa ayah. Perempuan itu hancur, sehancur-hancurnya. Merasa tak ada gunanya untuk mengusahakan apa pun itu.     

Sayangnya, kebahagiaan ini tidak berlangsung lama.     

Gayatri meraih tangan di bahu putranya, menurunkan pelukan itu. Memilih mendorong sang putra supaya lekas menuju meja makan, sedangkan dirinya sendiri memilih tertinggal.     

"Mommy tidak bergabung bersama kami?" pertanyaan Mahendra mendapat gelengan kepala dari sang ibu.     

"Nanti, aku menyusul," ujar Gayatri, sembari tersenyum manis pada putranya. Dan, Mahendra tampaknya tertegun dengan senyuman itu. Dia senang, akhirnya mommynya—minimal—perlahan-lahan secerah bunda indah.     

Tatkala mengetahui putranya telah duduk dan mulai larut dalam percakapan di atas meja makan, Gayatri memacu langkahnya. Dia menuju sekelebat sekretaris papinya. Menyusuri lorong dan berakhir di depan kamar orang tuanya, nona keluarga Djoyodiningrat ini masuk tanpa permisi.     

Kenyataan yang dia dapati di dalam kamar tersebut, yakni Andos yang terlihat memasuki walk in closet dan keluar dengan beberapa baju di tangannya. Pria dengan bulu di dagunya itu meletakan tumpukan pakaian papinya di atas ranjang tidur, kemudian menyeret koper dan membukanya.     

"Kemana papiku akan pergi?" seruan Gayatri membuat Andos tersentak.     

"Astaga, nona. Kau membuatku terkejut,"     

Mengabaikan keterkejutan Andos, Gayatri kembali berujar, "Dia benar-benar bakal meninggalkan rumah ini?"     

"Apakah saya perlu mendefinisikan sisi keras kepala tetua Wiryo?," sarkas yang memuakkan untuk dipahami, namun lelaki tua itu mempercayai tradisi melebihi siapapun yang tinggal di atas bumi pada abad 21 ini. Demikianlah kejengkelan Gayatri menggambarkan sosok papinya sendiri.     

Memperhatikan gerakan Andos yang konsisten merapikan baju ke dalam koper, Gayatri mendesah, "Haahh!".     

"Andai saya boleh mendesah, saya ingin menciptakan hembusan nafas yang lebih kuat dari itu," kembali sang sekretaris melontarkan kalimat sarkas     

"Kata-katamu tidak lucu!" jengkel Gayatri, Andos suka mengganggunya dengan komentar-komentar di aturan tata krama yang ada pada keluarga ini.     

Sebenarnya, pria itu suka mengganggu yang lain. Bahkan tuannya sendiri, dengan mengutarakan isi otaknya. Masalahnya akan jadi berbeda ketika hal tersebut berkaitan dengan para nona.     

Para ajudan—laki-laki dan perempuan—tak berani menyentuh bagian tubuh nonanya secara langsung. Pun bicara sambil menatap mata, atau berkomentar diluar batas. Masalahnya Andos yang paling senior dan tampaknya, dia punya cara sendiri dalam mengatasi norma-norma tak tertulis tersebut.     

"Kita harus membuat ayahku kembali kerumah ini, Andos!" Gayatri berjalan mendekati sekretaris ayahnya.     

"Anda tadi mendukung pengusiran pria tua di atas kursi roda, sekarang menginginkan dia tetap tinggal. Tidak konsisten sekali anda," Andos berbicara tanpa melihat raut wajah kesal Gayatri, sebab komentar apa adanya yang dilempar pria itu begitu saja. Bagaimanapun juga, kalimat itu ada benarnya.     

"Hah!," geram Gayatri, lelaki dengan jenggot yang lebat itu acuh tak acuh terus berkonsentrasi melipat baju dan memasukkannya pada koper hitam yang tergeletak di lantai, "Dengarkan aku dulu, Andos!," telapak tangan sang nona menarik sisi dalam siku sekretaris ayahnya.     

Lelaki yang tiga tahun lebih muda dari sang nona, namun penampilannya beberapa kali lebih terlihat tua itu tersentak oleh tarikan telapak tangan, "Anda membuat jantung saya—" kalimat ini bernada terkejut, "Hampir copot," kemudian melemah selepas mata keduanya bertemu.     

"Oleh sebab itu, dengarkan dulu!," sang nona menggerutu.     

"Lepaskan dulu tangan anda," dia yang berbicara mengarahkan jari telunjuk tangan kanannya pada punggung telapak tangan Gayatri yang bersandar di sudut siku lengan kirinya, "Andai sebuah norma adalah aturan tertulis, kuyakin anda saat ini telah melanggar aturan pasal sekian ayat ke—"     

"Berhentilah menggerutu!," dan Gayatri, memotong kalimat sarkas yang kembali diucapkan Andos.      

"Siapa yang dari tadi menggerutu?" pria berjenggot ini memiringkan kepalanya, melipat tangan berbulu dengan kulit sawo matang menuju gelap, kontras sekali jika dibandingkan dengan Gayatri, "Huuh" kini, giliran Andos mendesah lelah, "Menurut anda, apa yang bisa dilakukan seorang pesuruh?" dia menggeser keberadaannya dan mulai duduk di sofa. Tampak sama geramnya terhadap apa yang dia lihat pagi ini, "Ku beritahu anda, bahwa seorang sekretaris hanya bisa menganggukkan kepala ketika tuannya meminta ini itu. Dia bahkan dilarang mengutarakan pendapat,".     

"Tapi sekretaris bisa memainkan peran-peran kecil yang berefek besar," Gayatri pun ikut menggeser langkah dan duduk di hadapan orang kepercayaan ayahnya.     

Mengerutkan keningnya, tanda kebingungan memahami ucapan nonannya, Andos mengulangi kalimat tersebut, "Peran-peran kecil?,".     

"Ya, peran-peran kecil. Semacam lupa membawa ini," Gayatri mengais vitamin dan beberapa obat yang biasa diminum ayahnya, "Buat tetua Wiryo kesusahan, bahkan kalau perlu merasa tidak berdaya saat hidup berjauhan dari rumah ini, dari oma Sukma dan dari kami,"     

Sekretaris itu tersenyum, "Perempuan memang sangat pandai menyiksa para lelaki," ujarnya sarkas. Lekas bangkit dan menekuk kakinya, lalu meraih sesuatu dari dalam koper yang sebagian telah dia rapikan, "Sepertinya kaca mata ini juga perlu ketinggalan, supaya papi anda tak bisa membaca,".     

"Ah' orang dekat paling mengerti kelemahan, aku rasa ini sedikit kejam," mengambil kaca mata tetua Wiryo, sama saja memutus akses kesenangan lelaki paruh baya tersebut. Sejak beliau pensiun, kesenangannya yang paling ketara adalah menghabiskan waktu membaca buku, "Tapi aku setuju denganmu kali ini,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.