Ciuman Pertama Aruna

IV-144. Melupakan Satu Analogi



IV-144. Melupakan Satu Analogi

0Karena tidak tahu harus menuju ke sisi mana untuk menemui putri bungsunya, sang ayah duduk di ruang tengah. Sofa di tempat itu tertangkap mata terdapat robekan. Kerutan samar tercipta dari pria paruh baya ini, sebab tidak biasanya benda-benda semacam itu dibiarkan begitu saja.     

Lesmana hampir menyentuhnya dengan ujung jemari, andai tidak ada yang memanggilnya.     

"Ayah, anda masih disini?" mendengar suara Mahendra, sang ayah mertua lekas bangkit.     

"Aku rasa ada yang perlu diperbaiki," ujar Lesmana, menunjukkan robekan pada permukaan sofa mewah ruang tengah rumah induk.     

Mahendra sekedar menarik bibirnya lurus, lalu mempersilakan mertuanya menuju tepat istrinya beristirahat.     

Namun, pada langkah ringan dua laki-laki beda generasi ini, sebuah suara menarik perhatian mereka, "Jangan bilang kau ingin menemui putrimu, tanpa menyapaku terlebih dahulu," dari arah belakang, Sukma menyapa.     

"Nyonya," ujar Lesmana, senyum ramah tersaji dari wajahnya.     

"Mengapa kau masih saja memanggilku dengan sebutan itu?," wajah Sukma pura-pura kesal, selebihnya dia juga menyajikan ekspresi ramah. Menggiring lelaki yang dulu lebih akrab menemani suaminya menuju dapur, bahkan tanpa di sadari oleh Lesmana sendiri.     

Sejalan dengan cara menyambut Sukma yang terlihat alami, perempuan lain berjalan cepat menuju kamarnya. Mahendra menjadi bingung, namun dia memutuskan mengikuti mommynya dibandingkan ayah mertua dan neneknya.     

Lelaki bermata biru cemerlang itu melihat mommynya membuka pintu dan segera menuju ranjang yang menyajikan perempuan hamil tertidur pulas, "Sayang, Aruna, bangunlah nak," seolah tengah membangunkan tidur berharga sang putri tidur, wanita ayu ini mendekatkan bibirnya pada daun telinga sang menantu dan suara bisikan yang lembut di hembuskan bersama dengan gerakan mengelus rambut berserakan.     

"Ada apa mommy?," Aruna mengerjap dan dia terlihat mengernyit sesaat. Pasti lebam itu mulai terasa nyeri atau telapak tangannya mulai menunjukkan pengaruhnya.     

"Ayahmu datang nak. Aku tahu, kau tak ingin terlihat seperti ini," Mahendra yang semula masih di ambang pintu, mulai melangkah masuk. Lelaki bermata biru ini tersita dalam keterkejutannya menatap gerakan bangun yang diusahakan oleh istrinya. Aruna benar-benar berdiri dan sekuat hati ingin menuju kamar mandi. Dengan bantuan Gayatri, perempuan ayu ini meraup tubuh menantunya yang tengah hamil besar tersebut.     

Melihat kerjasama yang demikian memikat hati, sang putra berinisiatif mengambil alih apa yang dilakukan mommynya, "Mommy, bantu oma mengundur waktu. Biar aku yang membantu Aruna," harapan Mahendra memeluk dan menggendong tubuh istrinya—yang sempat tertolak beberapa saat lalu—akhirnya terpenuhi.     

"Hendra, minta Ratna atau yang lain mengambil baju untukku, baju yang bisa menutupi leher dan lenganku," dan permintaan ini mendapat anggukan dari lelaki bermata biru.     

Mahendra menurunkan Aruna di depan wastafel, di dalam kamar mandi milik mommynya. Keluar dan lekas membuat sambungan telepon kepada asisten rumah induk, dia buru-buru kembali memasuki ruangan dimana istrinya berada.     

Membantu perempuan yang tampak kesusahan membuka baju, pria ini sampai menahan nafasnya saat dia bisa menatap seluruh tubuh yang menyisakan dua lingkaran menutupi buah dada. Mahendra tak bersuara. Dia hanya menundukkan wajahnya sejenak, mencium ujung bahu terbuka milik Aruna, sebelum meraih sisir dan perlahan-lahan membuat gerakan merapikan rambut istrinya.     

Calon ibu dengan perutnya yang membesar dan tampak menyulitkan itu menunduk, mendekatkan kepala pada kran di atas wastafel sebelum membasuh seluruh wajahnya.     

"Apakah kau pernah melakukan hal yang sama padaku?," ujar Mahendra, manik birunya mengamati Aruna yang mulai mencari-cari sesuatu untuk menutupi lebam di wajahnya. Perempuan tersebut berjinjit, membuka laci di sisi wastafel. Tangan mungilnya naik, berharap bisa meraih sesuatu di ujung jemarinya. Yang akhirnya berhasil terambil oleh bantuan pria yang baru saja memberinya kalimat tanya.     

"Maksudmu?" balik bertanya, sembari memencet krim dan mulai mengoleskan pada wajah.     

"Menyembunyikan hal-hal yang tak ingin diketahui oleh orang yang kau sayang—," kalimat Mahendra berhenti. Mendadak dia bergeming. Pun caranya menyisir rambut istrinya juga terhenti.     

Aruna spontan menoleh dan keduanya bertemu mata, "Apakah kau?," dia berujar singkat, kemudian terdiam lagi.     

Mahendra kembali menyisir rambut istrinya dan perempuan bermata coklat itu melanjutkan kegiatannya. Mengoles permukaan wajah yang lebam, sambil mencuri lihat suaminya dari pantulan kaca. Pria itu benar-benar bergeming. Gerakan yang konsisten dia lakukan, sebelum mengambil pita dan mulai mengikat rambut Aruna dengan ikatan kuncir kuda.     

"Kenapa kau diam? Kau membuatku penasaran, Hendra," Aruna tidak tahan melihatnya. Biasanya lelaki bermata biru tersebut lebih banyak berbicara dan mengatur, dibandingkan terbungkam seribu bahasa semacam ini.     

"Aku—," kalimat Mahendra terpotong oleh gerakan pintu terbuka dan ekspresi terkejut Ratna.     

"Oh' maaf tuan, nona," dia yang tersentak—karena melihat perempuan hamil minim baju, dengan suaminya yang tengah memegangi rambutnya—mundur dan berniat menutup pintu.     

"Tak apa, Ratna, masuklah. Kau sudah sering membantuku mandi, kan?," Ratna dan Tika sering kali membantu perempuan ini menyelesaikan urusan pribadinya, terutama saat dia bahkan tak bisa banyak bergerak akibat luka dalam di punggungnya.     

"Berikan padaku bajunya," pinta Mahendra, melangkah menuju asisten rumah induk yang berdiri di ambang pintu.     

Menuruti permintaan sang tuan muda, Ratna mendekat dan menyerahkan sweater rajut kerah tinggi berwarna pink muda dan sebuah overall denim jeans wanita yang memanjang sampai tepat di atas mata kaki.     

"Sudah bisa menggunakan baju ganti?" pertanyaan Mahendra, seiring meletakkan baju berbahan jeans dan mencoba membuat atasan rajut tersebut terbuka lebih lebar. Mendekati Aruna, berharap perempuan ini menyambutnya dengan segera memasukan kepalanya pada sweater yang direnggangkan suaminya.     

"Lanjutkan kalimatmu yang terputus tadi," minta Aruna. Tepat saat dia berhasil mendongak ke atas, mengetahui Mahendra sudah siap membalut tubuhnya dengan sweater rajut pink muda.     

Menaruh perhatian penuh pada sesuatu yang dia kerjakan, Mahendra pun berucap, "Aku melupakan satu analogi,"     

"Apa itu?," kelapa Aruna sudah masuk dalam sweater rajut, kini giliran tangan itu menyusup ke dalam lengan baju.     

"Saat seseorang mencintai orang lain, orang tersebut bakal berusaha terlihat sempurna, menyembunyikan sebagian permasalah yang dihadapi demi orang yang dicintai," jemari Mahendra telah sampai pada pipi yang terlapisi krim wajah, hingga warna ungu tersamarkan.     

"Seperti caramu terlihat baik-baik saja di hadapan ayah Lesmana," bicara sembari menyentuh pipi lebam istrinya, Mahendra mendesah berat. Detik berikutnya, perempuan itu mendapat dekapan, "Harusnya aku sadar mengapa kau belum siap menceritakan pergulatan hebatmu dengan Rey sialan itu, sebab seorang istri ingin terlihat baik-baik saja di mata suaminya," akhir kalimatnya dengan mengecup pelipis istrinya.     

Pelukan itu perlahan-lahan mendapatkan sambutan, "Aku juga bodoh, Hendra. Mana ada kejadian yang dapat disembunyikan darimu. Kau sudah tahu apa yang terjadi padaku dan Rey?" pertanyaan ini mendapat anggukan.     

Merasakan dua tangan istrinya sudah berapa di punggungnya, Mahendra menggerakkan kepala Aruna untuk diletakkan pada dada bidangnya, "Tapi aku janji, aku tak akan bertanya lagi sampai kau sendiri yang menceritakan padaku secara langsung,"     

Dalam depan suaminya, perempuan bermanik coklat hangat itu mengangguk ringan.     

Rumah tangga tidak hanya di jalani dengan cinta, tapi juga akal sehat. Selain doa yang menaungi kekuatan ikatan batin dua insan yang telah berjanji atas nama Tuhan. Kesimpulan menarik di benak Mahendra, menjadikan pria ini lupa tatkala pintu diketuk oleh Ratna untuk kedua kalinya dan asisten rumah induk tersebut mengabarkan bahwa ayah Lesmana sudah menunggu.     

Pintu terbuka, dan dengan beraninya asisten itu mengerutkan kening terang-terangan, "Nona??," Ratna memberi tatapan terheran-heran.     

"Apa?" suara Aruna bingung.     

"Anda belum mengenakan bawahan," ujarnya, matanya menatap sekilas tubuh bawah nonanya.     

Manik coklat melebar, mengikuti gerakan mata sang asisten, "Astaga!,"     

Ratna mendorong masuk tubuh perempuan nona muda keluarga Djoyodiningrat yang tengah di kunjungi ayahnya dan buru-buru di tutup kembali pintu kamar mandi.     

"Hendra!," dan perempuan hamil ini siap mengomel, "Kau ini, bagaimana?!"     

Terkekeh ringan, dia menampilkan deretan gigi rapinya, "Maaf," Mahendra buru-buru mengais overall jeans denim, lalu melapisi tubuh istrinya.     

"Pelukan boleh, tapi jangan lupa bajuku!," bibir mungilnya terus menggerutu, "Bisa-bisanya aku hanya pakai celana dalam,"      

"Kau juga lupa, sayang," tukas Mahendra. Tanganya bergerak gesit merapikan pakaian yang dikenakan Aruna, "Jangan salahkan laki-laki terus menerus,"     

"Siapa suruh jadi laki-laki!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.