Ciuman Pertama Aruna

IV-143. Dibalik Kejadian



IV-143. Dibalik Kejadian

0Mobil yang membawa Mahendra dan ayah Lesmana telah memasuki pelataran rumah induk. Seperti biasa gemercik air yang menari menyambut kedua lelaki. Ayah Lesmana membuak pintu dan mengamati gerakan indah zat cair yang tengah memainkan iramanya sendiri.     

Magis dan mengagumkan sekaligus mengingatkan banyak kenangan seorang ajudan yang mengabadikan diri sejak muda di rumah ini, "lama sekali aku tidak datang ke rumah ini," kalimat pertama yang keluar dari mulut ayah Lesmana.     

Masih menatap dengan tertegun tarian di tengah-tengah pelataran rumah megah, Lesmana tidak menyadari menantunya sudah membuka pintu untuk dirinya dan memanggilnya, "Silakan ayah," Hendra perlu mengulang dua kali demi menggugah nostalgia sang ayah.     

"Aah' maafkan aku," dan lelaki ini buru-buru menaiki teras yang menyajikan beberapa buah anak tangga.     

Dua lelaki baru saja masuk, menyusuri ruang tamu utama kemudian ruangan kedua yang lebih hangat. Foto besar putrinya yang duduk di depan suaminya terpampang di sana. Sang ayah tersenyum bangga, 'Hendra benar,' batinnya.     

Sepanjang perjalanan menuju rumah ini banyak hal yang di ungkapkan menantunya. Semacam memintanya tetap mendukung dirinya (Mahendra) dan Aruna. Seburuk apa pun yang terjadi pada Aruna. Hal tersebut adalah bagian dari perjuangan untuk anak bungsunya. Aruna harus bertahan, untuk tetap tinggal dan menghidupi di rumah induk, harapan Mahendra tidak jauh-jauh dari kesimpulan itu.     

Tampaknya tengah ada kejadian besar dan mungkin putrinya menginginkan sesuatu yang berlawanan dari kesimpulan yang inginkan menantunya.     

menatap foto yang terpasang sambil terus mengambil langkah, menyusuri lorong rumah megah ini bersama sang menantu yang berada dua langkah di depannya. Lesmana menjadi paham kenapa lelaki bermata biru di depannya memintanya datang ke rumah ini, pasti dia di minta membujuk. Menenangkan. Bahkan kalau perlu menguatkan sang calon nyonya besar keluarga adi daya ini.     

"Bruk," benturan kecil terjadi, antara ayah Lesmana yang tersita dalam rangkaian pemikiran di kelapanya dengan punggung jenjang menantunya.     

Lesmana belum sempat bertanya mengapa lelaki di depannya tiba-tiba menghentikan langkah, atau mungkin dia sendiri yang kurang konsentrasi. Hendak bertanya, tapi lekas di urungkan. Lesmana tahu penyebabnya.     

"maafkan aku ayah," membalik tubuhnya dan memejamkan mata sejenak. Hendra sempat tertangkap memegangi pelipisnya sebelum lelaki ini berjalan menuju pintu yang menjadi sumber kekikukan antara ayah dan anak.     

Hendra berjalan dan lekas mencengkeram ganggang pintu setengah terbuka yang tidak jauh dari tempat Lesmana berdiri, "Bisakah kalian berhenti!" dia mengucapkan permintaan dengan nada kaku bercampur geram, "Mertuaku ada di sini," lekas menutup pintu dan masih memegangi ganggang pintu. Lelaki bermata biru berhasil mengusir suara pertikaian di dalamnya. `     

"aku menyesal Anda mendengarnya," Lesmanah terdiam dan mengangguk ringan. "saya sangat malu, jalanlah lebih dahulu, saya akan menyusu," seperti saran Mahendra pria berumur itu melangkahkan kakinya. Semua keluarga pernah berdebat, tidak ada keluarga yang tak pernah berselisih hanya saja mungkin intensitas dan jurang perselisihannya yang berbeda-beda. Lesmana yang telah mengarung pernikahan bukan lagi hitungan tahun menganggap hal ini bukan sesuatu yang serta merta negatif.     

Jauh berbeda dengan Mahendra. Bagi sang pewaris tunggal Djoyodiningrat apa yang terjadi barusan sangat memalukan, dia baru tiba dari rumah keluarga istrinya. Di sana suasana seolah berputar 180 derajat, tenteram nyaman hangat, sedangkan rumah ini. Hanya bangunannya saja yang kokoh selebihnya penghuni di dalamnya saling merapuhkan satu sama lain.     

Hendra mengumpulkan oksigen di sekitarnya. Pria ini perlu menata hatinya untuk mempertemukan istrinya dengan ayah Lesmana yang tentu saja bakal melihat keadaan putri bungsu yang dia sayangi.     

.     

Di balik kejadian tertutupnya pintu dengan paksa oleh Mahendra dan suara kemarahan yang mengabarkan tentang kedatangan seseorang.     

Perempuan paruh baya terdiam seribu bahasa, dia tengah berdebat dengan suaminya. Yang tentu saja pria paling keras terhadap pendiriannya. Hampir habis cara untuk mencari solusi di antara keduanya.     

Termasuk ketika Gayatri datang dan mengimbuhkan keberatannya terhadap aturan yang di buat keluarga ini. Tetua Wiryo konsisten mengatakan 'Tidak'. Tidak ada negosiasi untuk kebebasan para perempuan itu yang di tangkap benak Gayatri. Berbeda dengan apa yang di imani oleh tetua Wiryo bahwa perempuan adalah berlian, mereka tidak di perkenankan untuk muncul sembarangan , ia tidak ingin berlian itu tergores karena kurangnya ke hati-hatian.     

Alasannya selalu sama sekarang atau lima puluh tahun lalu tatkala Sukma pertama kali datang di rumah ini.     

"Aku minta maaf Wiryo," ujar perempuan paruh baya selepas mengelus dadanya sebab suara keras benturan pintu yang dilakukan cucunya. Mendengarkan kata minta maaf yang keluar dari Sukma, mata tetua melebar penuh menunggu kalimat berikutnya yang keluar dari istrinya. Perempuan paruh baya itu punya satu kebiasaan, yakini akan minta maaf sebelum membuat keputusan yang bertolak belakang atau sebuah perbuatan yang di luar kehendak suaminya.     

"Rumah, tanah dan seluruh aset keluarga ini, apa kamu ingat atas nama siapa?" sukma menatap mata suaminya.     

Gayatri terkesiap, mungkin-kah ibunya? Belum sempat tanda tanya di kepala Gayatri menemui jawaban tak kala ibunya mengatakan: "maka dari itu silakan keluar dari rumah atas namaku, kamu masih di ijin kan andai menginginkan tinggal di Djaya Rizt hotel atau yang lainnya namun tidak dengan rumah ini.     

"Gayatri carikan pengacara untukku, kalau perlu sekarang juga," Sukma berdiri dari duduknya.     

Wiryo bahkan Gayatri masih belum bisa percaya kata-kata ibunya, "Ma," ini suara Gayatri.     

"kita sudah tua," di susul suara rendah mendesah berat milik tetua Wiryo.     

"aku tahu, kupikiri dengan umurmu yang menua kamu bisa lebih mencair menghadapi kehidupan. Kenyataannya, makin tak bisa di ajak bertukar pikiran," sukma berdiri, belum bergerak melangkah akan tetapi jelas sekali dia sudah enggan menatap suaminya sendiri.     

"kamu pikir dunia di luar semudah bayanganmu?" Wiryo masih belum bisa mengompromikan prinsipnya.     

"aku tidak pernah mengatakan mudah, Tapi apa bedanya dengan terus membiarkan anak, cucu, bahkan cicit kita tinggal dalam keadaan terkekang. Se-mengerikan apa di luar? Apakah dia bisa membuat perempuan muda secantik dan sebaik putriku mengalami frustrasi sampai puluhan tahun. Jangan tutup matamu bahwa Gayatri kita mengalami sesuatu yang sama buruknya dengan hal-hal yang kamu takutkan di luar sana," mata sukma menatap sekilas sebelum benar-benar pergi dan tak lagi menoleh. Langkah kaki mantap sukma yang tersusul oleh putrinya Gayatri melambangkan keseriusan perempuan yang memang memiliki seluruh aset keluarga ini.     

Seorang perempuan yang mengandung bayi lelaki akan mendapatkan semua kekayaan secara penuh, seluruh aset kepemilikan. Walaupun di ketahu sukma belum sempat melahirkan bayi laki-laki yang merupakan adik Gayatri andai janin itu bisa bertahan satu bulan lagi.     

Wiryo belum mengemukakan apa yang dia rasakan dan inginkan, walaupun jam di dinding telah melintasi angka dua belas sebanyak lima kali. Andos yang mendampingi lelaki paruh baya itu hanya bisa terpaku atas apa yang baru saja dia dengar.     

"Siapkan bajuku," ujar lelaki di atas kursi rodannya.     

"saya akan menuruti semua hal yang dapat memberi kebahagiaan pada istri saya, andai dia bisa kembali," kenyataannya istri dan putra kecil Andos tak pernah ditemukan selepas meneleponnya dan mengatakan sebentar lagi akan menemuinya di resto yang di janjikan. Hari perayaan pernikahan yang memilukan dan masih menyisakan dendam luar biasa di hati Andos.     

"siapa yang mengizinkanmu berpendapat?"     

"saya minta maaf," pria dengan jenggot memenuhi dagunya menundukkan kepalanya ringan sebelum menghilang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.