Ciuman Pertama Aruna

IV-142. Dilematis



IV-142. Dilematis

0"Ayah, aku akan membawamu pada putrimu. Tapi ada satu syarat yang harus anda pegang sebelum bertemu mata dengannya," ujar Mahendra.     

"Apa itu?" gerakan tangan memutar tatah berhenti, ayah Lesmana menaruh perhatian penuh pada menantunya.     

"Tutup mata anda dari kekecewaan serta rasa sesal, dan berjanjilah untuk tetap tegar saat melihat keadaan putri anda, Ayah," Mahendra memberanikan diri mengucapkan kalimat permintaan ini.     

"Kau pikir aku anak muda, sampai-sampai perlu mendapatkan pesan seperti ini?," Mahendra mendapat tatapan kardinal dari mertuanya, seiring dengan kalimat ini terucap oleh Lesmana.      

Mengacuhkan tatapan yang membuatnya sedikit tak jenak, dia meyakinkan sang ayah, "Yang aku katakan bukan main-main, ayah,"     

Ketika tak mendapati kebohongan dari mata Mahendra, Lesmana terdiam sesaat sebelum kembali berujar, "Apakah menurutmu, aku akan syok melihat putriku?"     

"Mungkin saja," dia tak mau menutupi.     

"Apakah separah dia yang dulu mendapatkan luka di punggungnya?," kali ini, netra biru dengan semburat merah itu menerawang. Mata itu bertemu sinar matahari cemerlang yang memantul dari permukaan kolam renang.     

"Tidak separah itu," ujar Mahendra, "Namun kali ini, aku lebih terluka sebagai laki-laki," suaranya terdengar getir, mengisyaratkan luka yang menusuk dada.     

"Maksudmu?" kerutan di dahi Lesmana amat sangat ketara.     

"Perbuatan terburuk apa yang paling mampu ayah prediksi dari segala kemungkinan yang bisa Aruna perbuat?" pertanyaan ini menguras pemikiran sang ayah.     

"Memaki orang?," setelah hampir satu menit berpikir, Lesmana bahkan belum pernah mendapati putrinya yang cerah dan hangat itu memaki orang lain.     

"Lebih dari itu, ayah," ungkap Mahendra. Sekali lagi, seorang ayah harus berpikir keras.     

"Bagaimana dengan berbohong?," Aruna pandai menutupi isi hatinya, menyembunyikan beberapa hal dalam hidupnya untuk dihadapi sendiri, akan tetapi si bungsu enggan terdapati menciptakan kebohongan kalau tidak benar-benar terpaksa.     

"Lebih, dan jauh lebih lagi," Lesmana menggeleng mendengarkan pernyataan ini.     

"Aku bahkan tak pernah melihat putriku berbuat kasar, bagaimana aku bisa melihat perilaku yang lebih buruk dari itu?," dan manik mata biru milik lawan bicaranya, detik ini berulang kali mengerjap. Mahendra berduka untuk sekian kalinya. Lingkungan yang berat yang hadir pada kehidupannya lah, yang mendorong istrinya berbuat demikian jauh.     

Masalahnya, perempuan itu dengan sengaja menyembunyikan sesuatu yang berat dan demikian besar dari dirinya. Beban mental yang cukup kuat sedang di sandang Mahendra detik ini, "Mari, temui Aruna," lelaki bermata biru bangkit dari duduknya. Membiarkan Lesmana dengan kebingungannya.     

"Ayah siap-siap sebentar, tunggu," ketika sang ayah meninggalkan dirinya sendirian, dia tak menduga ibu mertuanya datang dengan nampan penuh makanan.     

Terlihat sekali bahwa perempuan paruh baya itu menyajikan menu spesial dan terbaik yang bisa diusahakan. "Di mana ayahmu?," tanya sang bunda.     

"Bersiap-siap," jawab lelaki bermata biru yang tiba-tiba saja tangannya sudah diminta memegang cangkir.     

"Tidak panas, minumlah," pinta sang ibu mertua. Matanya menuju teras rumah, mencari tahu kemana perginya suaminya, "Bersiap-siap kemana?," kembali perempuan ini bertanya.     

Mahendra hanya tersenyum menanggapinya. Senyum ramah yang dia pelajari dari keluarga ini. Sesuatu yang dulu mustahil hadir di bibirnya. "Para pria punya urusan rahasia," sebuah jawaban yang ambigu demi menutupi kenyataan yang seharusnya.     

"Jadi, bunda tak mungkin ikut?" dia yang bicara cemberut lucu, membuat ingatan Mahendra lekas terbang ke rumah induk. Ibu yang melahirkannya—dulu tak berekspresi, dan sekarang pun walau dia telah membaik, seumur hidup sang anak belum pernah melihat ibunya sendiri menyuguhkan ekspresi manja yang nyata seperti ini.     

Sambil masih tersenyum diantara hati yang tersayat-sayat, Mahendra mengimbangi mertuanya dengan gelengan ringannya.     

.     

.     

"Ayo, berangkat," ajakan Lesmana mengundang perhatian seorang perempuan.     

"Aku susah payah membuat dessert, keterlaluan ini namanya," Indah sekali lagi terlihat geram. Marah yang tak sungguh-sungguh, sekedar kesal saja.     

"Bungkus saja, aku akan-," Lesmana sekejap terbungkam. Di balik punggung sang istri, seorang pria yang terlihat jauh lebih tinggi dari istrinya meletakkan telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa nama Aruna tak bisa disebut sang ayah. Atau ibu mereka akan merengek ikut layaknya anak remaja ingin melihat konser band favoritnya, "Nanti, biar Hendra yang memberikannya pada Aruna," dia meralat kalimatnya. Seolah mereka berdua akan ke suatu tempat yang rahasia. Tempat favorit para lelaki semacam memancing atau futsal.     

"Tapi," tiba-tiba ekspresi Indah menjadi kurang bersemangat, "Apa tidak terlalu sederhana?,"     

Mahendra tidak suka mendengar jarak yang diujarkan sang bunda. Lelaki bermata biru lekas meraih makanan itu dan berujar, "Aku akan bawa sekalian piringnya saja,".     

Syok dengan tindakan sang menantu, Indah lekas mengambil alih, "Tunggu sebentar, aku ambilkan wadah biar mudah dibawa," dan dua lelaki saling memandang. Sebelum mengamati langkah gesit perempuan yang detik ini berusaha mencari wadah, tepat untuk makanan yang akan diberikan putri bungsunya.     

.     

.     

"Lain kali, kalau mau datang, tolong di beri kabar," ujar Indah, "Supaya bunda bisa menyiapkan sesuatu untukmu dan Aruna,"      

"Baiklah. Terima kasih, bunda," dan Mahendra berpamitan. Tidak bisa dipercaya andai mengingat perilakunya dulu. Pemuda yang menggedor pintu gerbang pagi-pagi untuk menciptakan kegaduhan, kini lebih cocok disebut menantu kesayangan yang mendapatkan perilaku berbeda, sebab jarangnya berjumpa.     

"Aku yang harusnya berterima kasih. Kau merawat putriku, pasti sulit menghadapi perempuan hamil dengan emosi naik turun. Jadi, teruslah bersabar," kalimat yang sangat manis, indah dan sesuai dengan nama perempuan yang menyuarakan nya, Indah untuk didengar.     

Mengangguk ringan sebelum meninggalkan rumah tersebut, kini Mahendra sama sekali tak bersuara tatkala mengemudi untuk ayah Lesmana.     

"Kurangi kecepatannya, Hendra," tegur Lesmana.     

"Iya, ayah," bibirnya bisa menyuarakan kata jawaban dengan baik, bertolak belakang dengan dadanya yang bergemuruh hebat, memprediksi apa yang akan terjadi andai lelaki ini sudah melihat putrinya.     

***     

Di sebuah ruangan yang terisolasi, di mana didalamnya dihuni seseorang yang telah koma sejak sehari sebelumnya, terdapat beberapa penjaga yang sengaja disiapkan untuk memastikan situasi aman terkendali di luar ruangan khusus tersebut.     

Salah satu penjaga itu adalah pemuda yang kehilangan jarinya. Dia lebih banyak menatap pasien di balik kaca, "Siapa yang bisa membayangkan. Kita berusaha keras bisa mengalah Rey, menghancurkan kelompoknya yang gila, kalau perlu memusnahkan orang ini," ujar Roland.     

"Dan ternyata, sang nona yang terlihat tak berdaya itu yang menjadikannya terbaring tidak berdaya," Wisnu menanggapi kalimat Roland.     

"Perempuan ketika mempertahankan diri, ternyata lebih mengerikan," Roland menambahkan, dan di angguki oleh rekan kerja sekaligus temannya, "Aku mengikutinya sejak sebelum nona benar-benar memutuskan menerima pernikahannya. Kau tak akan percaya bahwa dia pernah membuat sebuah bar kacau dalam semalam, sebab dia berusaha melarikan diri,"     

"Aku juga tahu itu," suara Wisnu menimpali, kemudian matanya mengarah pada sisi lain. Di ujung lorong menampilkan seorang pemuda yang berjaga di sana, "Apakah kau yakin jika orang itu bakal menutup mulutnya?,"     

Roland mendapati sosok Juan, itulah pemuda yang di maksud Wisnu. Anggota baru dalam lingkungan mereka, "Bagaimanapun juga, tuan muda pernah berhutang budi padanya. Dia menyelamatkan nona waktu itu,"     

"Aku masih belum yakin jika dia bisa menyembunyikan Rey, yang saat ini pasti sedang di cari-cari seluruh putra Tarantula dan anak buahnya," Wisnu kembali menyuarakan keresahannya.     

"Aku dengar dia baru berkhianat, dengan berusaha melarikan diri tahanan tuan kita?," tampaknya, dua pemuda ini larut dalam obrolan mereka.     

Mengangguk ringan, Wisnu mengkonfirmasi sesuatu yang lain, "Tapi Juan juga dibuang dari keluarganya,"     

"Sangat dilematis, mari kita lebih awas," ujar Roland berikutnya, "Seburuk-buruknya ruang putih, putra Tarantula lebih tidak manusiawi memperlakukan tahanan mereka," mata pemuda ini menatap jari tangannya hasil implan.     

"Seperti itu juga, aku yakin dia bisa saja melakukan tindakan yang merugikan kita," ucapan Wisnu mendapatkan persetujuan lawan bicaranya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.