Ciuman Pertama Aruna

IV-140. Muara Kejadian Krusial



IV-140. Muara Kejadian Krusial

Tidak akan ada yang menduga ke mana mobil Mahendra menghentikan lajunya. Dia yang menahan duka di dada sedang berusaha susah payah mengendalikan Bentley Continental GTnya sebaik mungkin.     
0

'Kau tidak akan mengerti, pergilah!' hardikan istrinya menjadi pecut luar biasa bagi dirinya.     

Bagaimana bisa Aruna mengatakan dirinya tak akan mengerti keadaan?. Mahendra menderita oleh kata-kata sederhana tersebut.     

Ada banyak cinta di dunia ini, dan cinta yang paling berharga ialah yang dia miliki untuk istri dan calon bayinya. Jadi lelaki bermata biru itu merasa dia perlu mencari tahu, apa yang tidak dia mengerti tentang istrinya. Mengapa perempuannya masih belum bisa merasakan kebahagiaan.     

Gesekan kuat antara ban mobil dengan aspal menguar pada tepi jalan di depan sebuah rumah. Disaat penjaga yang berusaha mengamati wajah pengemudi di dalam mobil mewah itu, satpam keluarga tersebut berlari gesit membukakan pintu gerbang seluas-luasnya.     

Mobil melaju lirih melintasi pintu gerbang. Tatkala kendaraan tersebut berhenti pada sebuah halaman rumah yang luas, pengemudinya lekas keluar.     

Selepas mendorong pintu mobil, seorang satpam mendapat tepukan terima kasih, "Apakah ayah ada di rumah?"     

"Bapak Lesmana ada di bengkelnya, Dhen," dan pria yang bertanya menganggukkan kepala. Menaiki tangga teras dan mendorong pintu rumah masa kecil istrinya, kedatangannya disambut sehangat gaya komunikasi khas keluarga ini.     

"Hendra, apakah?," sang bunda langsung memeriksa sesuatu di belakang Mahendra. Mengharapkan putrinya ikut bersama lelaki tersebut.     

"Aruna, belum bisa ikut," wajah perempuan bernama Indah berubah masam.     

"Aku sangat merindukannya," desah perempuan tersebut.     

"Datanglah ke rumah induk kami," dan senyum samar di tunjukkan bunda pada menantunya, "Saya sungguh-sungguh," Mahendra menatap lekat ibu mertuanya, dan sesaat kemudian lengan kokoh lelaki tersebut mendapat tepukan sebanyak dua kali.     

"Kau benar, harusnya aku yang datang menemui putriku. Pasti dia sudah kesulitan berjalan. Semoga kakinya tidak bengkak," mendengarkan penuturan bunda Indah, lelaki bermata biru tersebut kembali mendapati perasaan duka yang lebih dalam.      

Tentu saja di rumah ini istrinya akan mendapatkan perlakuan yang lebih intens dan menjenakkan hati, dibandingkan terkurung di rumah megah itu sambil menunggunya pulang kerja. harap-harap cemas tidak lagi terlambat pulang setiap hari.     

Namun, rumah induk adalah rumah Aruna. Rumah yang bakal dia teruskan sebagai warisan turun-temurun keluarga Djoyodiningrat. Perempuan mungil itu harus mencintai dan menghidupkan rumah tersebut, bukan meninggalkannya. Para generasi tua bakal hilang dimakan usia dan pewaris berikutnya yang tak lain ialah perempuan bermata coklat tersebut perlu ngejawantah, dalam artian menjelma sebagai ibu dari rumah itu. Bukan menghindar, apa lagi pergi dan memilih tempat lain yang lebih memberinya kebahagiaan.     

Pemahaman yang dimiliki Mahendra terkait dasar-dasar melanjutkan estafet kepemimpinan semacam ini adalah salah satu dari begitu banyak pola pikir yang diajarkan oleh kakeknya.     

Sayangnya, musim terus berganti dan kehidupan selalu berputar dari satu masa ke masa berikutnya. Seseorang yang hidup di masa sekarang, mustahil bisa memahami dengan baik kehidupan di masa lalu.     

Demikian juga mereka yang lahir di masa lalu wajib beradaptasi, eksistensi baru hadir secara bertubi-tubi dan terus melaju bagaikan detik jarum jam yang tiap saat melangkah ke depan, mau tidak mau, mereka harus siap berjibaku dengan waktu untuk memahami setiap perubahan.     

"Saya datang untuk menemui ayah," Mahendra membatasi percakapannya dengan bunda Indah.     

"Oh' maafkan aku sudah mengulur waktumu," memahami menantunya adalah seseorang dengan jadwal yang padat, Indah lekas menggiring langkah lelaki bermata biru menuju bengkel suaminya.     

"Ayah, lihat lah siapa yang datang," suaranya menembus suara radio yang mendendangkan lagu-lagu 80-an.     

Kurang beruntung, suara perempuan itu kalah saing dengan grup musik paling fenomenal di zaman itu, Koes Plus. Lagu Andaikan Kau Datang, menjadikan Indah geram. Mendatangi radio butut milik Lesmana, tangannya menjulur memutar bulatan berwarna silver yang berfungsi sebagai pengecil suara.     

"Tukang marah, cepat tua," Lesmana membuka alat pelindung wajah yang terbuat dari mika transparan. Kacamata besar dan lebar yang biasa digunakan para tukang kayu sebelum berjibaku dengan ukiran-ukiran cantik karya mereka.     

"Lihat, menantu mu datang. Jangan asik sendiri," dan Indah meninggalkan dua laki-laki beda generasi tersebut. Menyusuri lantai batu pualam pada tepian kolam renang, wajahnya sumringah hendak menyajikan hidangan.     

Mahendra mengamati dengan seksama interaksi yang begitu santai, hangat dan penuh makna. Mereka terlihat natural dan tanpa beban. Ada cinta dan rasa syukur di sana. Jauh, jauh sekali jika dibandingkan dengan keluarganya sendiri yang ada di rumah induk.     

Pemikiran-pemikiran tersebut mengundang Mahendra untuk terbang kesuatu masa. Sebuah titik temu sebelum pernikahan yang dulu dia lambangkan layaknya perahu mengarungi samudra. Di mana dirinya adalah nahkoda utama, sedangkan Aruna adalah kopilot nya dan mereka melebur menjadi satu dalam sebuah kerjasama.     

Namun kenyataannya, dirinya menjadi nahkoda utama yang menutup akses secara penuh partnernya. Gadis yang tumbuh dari keluarga baik-baik, yang memberinya modal sebagai anak muda penuh potensi.     

Kepala Mahendra menjadi kacau oleh pemikiran-pemikirannya sendiri. Dia bisa melihat sang ayah melepas sarung tangannya, lalu berjalan tergesa menuju wastafel. Mencuci bersih tangan dan wajahnya, menepuk beberapa kali kain di tubuhnya, seolah-olah Lesmana tengah mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan keadaan sebaik yang bisa sang ayah upayakan.     

"Duduk-duduk! Ayo, duduk sini," Lesmana mendorong kursi hasil karyanya yang belum sepenuhnya sempurna. Membersihkan tempat duduk itu menggunakan kain lap.     

"Tidak, ayah. Di sini saja," ujar lelaki yang langsung berselasar santai pada lantai bengkel, dua puluh inci lebih tinggi dari batu pualam—yang merupakan jalan setapak, memisahkan tempat tersebut dengan kolam renang keluarga.     

'Harusnya dia menemui ayah Lesmana lebih awal' batin Mahendra, mengingat masukan dokter Diana.     

Lesmana mengikuti kehendak menantunya yang tiba-tiba memilih terbungkam diam, dibanding mengatakan apa tujuannya datang. Mata pria yang sudah memasuki usia kepala lima itu bisa melihat semburat duka bercampur bimbang yang tertangkap dari gestur lelaki di hadapannya, melalui tatapan kosong yang mengarah ke bawah.     

"Aku," satu kata yang diimbuhi desahan nafas berat, "Maaf," dia bergetar. Ada semburat merah yang menghiasi iris mata biru tersebut, "Maafkan aku," menyibak rambutnya ke belakang "Hahh," jelas tengah gelisah.     

Lesmana mengangkat tangan kanannya, menepuk ringan punggung yang dua kali lipat tampak lebih tegap dan kokoh daripada miliknya yang mulai menua. Tepukan yang memberi tahu bahwa tiap-tiap lelaki memiliki tanggung jawab yang besar dan tidak diizinkan punggung itu melemah, walaupun kadang kala mereka pun sama rapuhnya.     

"Maafkan aku, aku gagal membahagiakan putrimu," sejujurnya tatkala kalimat ini keluar dari bibir Mahendra, ada desir menyisir hati Lesmana yang dicoba untuk ditahan. Anak perempuan adalah harta yang paling berharga untuk siapapun, yang menyandang status ayah. Terlebih ketika ujung jari telunjuk di goreskan lirih pada sudut mata biru milik lawan bicaranya. Pria paruh baya itu menyadari ada emosional yang besar mempengaruhi jiwa menantunya. Emosi yang tentu saja muara dari kejadian krusial yang meliputinya.     

"Apa yang terjadi pada putriku?" tanya sang ayah dengan hati-hati.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.