Ciuman Pertama Aruna

IV-139. Kamu Tidak Sendiri



IV-139. Kamu Tidak Sendiri

0"Apa yang aku lakukan demi bayiku. Kau tak akan mengerti! pergi dari hadapanku," dia sedang memperjuangkan sesuatu yang menurutnya benar. Sesuatu yang sejujurnya pernah diperjuangkan dua perempuan sebelum kedatangannya.     

Dulu, dulu sekali, seorang istri pernah seperti ini, walaupun caranya berbeda. Dan, seorang anak perempuan juga pernah bersimpuh di hadapan ayahnya dengan alasan yang sama. Namun, kegigihan bercampur amarah itu yang menjadikan keadaan serta merta semakin rumit adanya.     

Sukma bangkit dari duduknya, seiring gerakan Gayatri berjalan mendekati menantunya. Dan, suara bergetar seorang pria terus mengalun mengiringi langkah dua perempuan tersebut, "Jangan begini, Aruna, aku mohon, kau membuatku hancur," Mahendra merasa dirinya gagal. Sekeras Aruna tidak mau meninggalkan selasar lantai, sekuat itu juga lelaki bermata biru berupaya keras meluluhkan kehendak hati istrinya.     

Tatkala Gayatri telah berada di dekat kedua anaknya, tangannya menjulur menyentuh bahu Mahendra. Gerakan implisit perempuan yang masih terlihat cantik di usia hampir menyentuh kepala lima ini, tak lain adalah meminta putranya mundur. Memberi ruang pada dirinya untuk ikut andil berbicara pada menantunya.     

Menuruti perintah mommynya, sekaligus menyerah atas tindakan keras kepala Aruna—yang bahkan pagi ini belum sempat mengisi perutnya—,Mahendra mundur perlahan.     

"Hendra, ambilkan minum untuk istrimu," sang empunya nama tidak mengangguk, akan tetapi lelaki bermata biru itu menuruti dengan melangkah menuju ruang sebelah.     

Berselasar di lantai yang sama, Gayatri menatap mata merah berurai air mata menganak ke sungai. Tak butuh waktu lama ketika dia tak kuasa meneruskan pengamatannya. Dan tanpa berkata, dia memeluk menantunya erat-erat. "Kau tidak sendiri, ada mommy," mengelus punggung Aruna dan mencium rambut berantakan milik ibu hamil dalam dekapannya, perempuan ayu ini tak mampu menahan lelehan air dari pelupuk matanya.     

"Ada mommy, tolong, jangan begini," sekali lagi, pelukan yang sempat terlepas tersebut kini merapat kembali, "Bangun, demi mommy. Kau tak akan mampu mengalahkan papiku dengan tindakanmu seperti ini, mari kita cari cara lain jika yang kau inginkan adalah kebebasan cucu kita," dia berbisik lembut.     

Membelai rambut Aruna dengan sentuhan hangatnya dan menghapus air mata dari netra coklat berpadu semburat merah di hadapannya, Gayatri bergerak halus membopong menantunya dengan menyelipkan lengannya pada tubuh mungil perempuan hamil tersebut.     

Tatkala perempuan muda Djoyodiningrat itu sudah duduk di sofa kulit Itali, tangis sesenggukannya masih belum bisa dia tanggalkan. Aruna pun tak mengerti, mengapa dia menangis sampai separah ini. Dia bukan tipe gadis yang suka mengeluh, alih alih meratap seperti saat ini. Dan pagi ini, dia tak bisa mengendalikan emosinya sendiri.     

Gayatri yang duduk di sebelah, lebih banyak mengusap wajah perempuan hamil tersebut. Meletakkan kepala menantunya dalam pelukan dan segera menyambut gelas berisi air putih untuk diminumkan kepada Aruna ketika putranya datang.     

Menelan zat cair seteguk demi seteguk, Aruna sadar dirinya tengah diamati dua orang sekaligus. Mata yang mengamati seorang perempuan kacau bergetar menatap satu sama lain. Mahendra dan Gayatri bertautan pandang, memikirkan apa yang bisa mereka lakukan untuk meredam gejolak ibu hamil ini.     

Selepas menghirup nafas, Mahendra menekuk kakinya mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan istrinya yang duduk di sofa. "Biarkan aku menggendongmu ke kamar," tawarnya. Nada bicaranya hati-hati.     

Sayangnya, Aruna menggeleng. Perempuan ini menolak tawaran Mahendra. Penolakan yang mampu membuat Gayatri ikut merasakan rasa pilu putranya. Lelaki bermata biru itu sempat menunduk sesaat sebelum kembali menatap wajah perempuan mungil penuh harap.      

Melepaskan diri dari pelukan mommy Gayatri, lalu mengusap wajahnya dengan punggung tangan, Aruna mengutarakan permintaan paling menyakitkan, "Aku ingin menenangkan diri di rumah Bunda, sampai melahirkan," dan raut wajah Mahendra berubah seketika. Begitu juga perempuan ayu yang lekas berdiri meninggalkan suami istri tersebut.     

Keduanya tidak tahu bahwa Gayatri tengah mengharapkan pertolongan ibunya, Sukma. Oma Sukma mungkin saja bisa menahan kehendak hati Aruna, sebab perempuan muda itu punya hati yang lembut dan dia—Gayatri—percaya keputusan itu masih bisa dirubah. Harus berubah. Atau keadaan kian tak terkendali, mengingat ibu hamil tersebut bahkan baru berada di rumah ini satu malam setelah Mahendra membawa istrinya ke suatu tempat.     

Di ruang tengah, seorang ibu hamil yang duduk pada kursi kulit Italy, terdapati terkurung oleh keberadaan pria yang menekuk kaki kirinya tepat di hadapannya. Dia adalah Mahendra. Telapak tangannya mencengkeram erat sisi kanan dan kiri keberadaan istrinya. Matanya terpejam mengarah ke bawah, enggan menatap perempuan yang juga memalingkan wajahnya ke arah berbeda, walaupun keduanya berada di tempat yang amat sangat dekat.     

Cengkeraman tangan Mahendra kian kuat sampai Aruna menyadari salah satu kukunya berhasil merusak kursi mewah tersebut. "Tidak boleh, tidak ada yang diizinkan pergi dariku," membuka lebar matanya dan menyorot tajam istrinya, mata pria itu kini berubah dari warna biru cemerlang bercampur merah menyala-nyala. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi andai perempuan bernetra coklat itu perlahan-lahan menjauhinya, saat permintaan ini dia setujui.     

Aruna belum sempat memberi penjelasan ketika Mahendra akhirnya berdiri. Menatap lekat-lekat istrinya, detik berikutnya dia membalik tubuhnya dan di luar prediksi perempuan hamil itu, lelaki bermata biru melangkah pergi.     

Manik mata coklatnya melihat tangan tergenggam yang disajikan suaminya saat meninggalkannya. 'Pasti Hendra akan melakukan sesuatu,' sayangnya, Aruna sendiri tidak mampu memprediksi apa yang bakal suaminya perbuat.     

.     

.     

Gayatri bertanya pada asistennya demi menemukan ibunya. Harusnya, perempuan paruh baya tersebut duduk di ruangan sebelah. Namun seorang ajudan mendekat, membisikan sesuatu terkait ke mana perginya Sukma, "Nyonya besar menemui tetua Wiryo," begitu informasi yang di selipkan di telinganya.     

Menyadari apa yang bakal terjadi selepas mengetahui kemana perginya ibunya, Gayatri buru-buru kembali menemui menantunya, "Aruna?" dia bingung saat perempuan bermata coklat itu sudah duduk sendirian, "Hendra, kemana?" tanya sang ibu.     

"Dia pergi tanpa berkata-kata," kepala Aruan menggeleng lemah. Perempuan hamil ini lelah.     

"Ikut mommy, ya?" ujarnya, seraya membantu Aruna berdiri, "Ratna," dan memanggil asisten menantunya di rumah megah itu, Gayatri membawa perempuan hamil itu masuk ke dalam kamarnya.     

"Istirahat dulu," ujar perempuan yang saat ini terlihat mengelus rambut menantunya seperti anak sendiri.     

"Mommy, apa aku keterlaluan?" Aruna menarik ujung jemari Gayatri yang disadari bakal meninggalkan dirinya, di kamar perempuan ayu tersebut.     

"Tidak. Tidak ada yang keterlaluan, kau sangat pemberani dan mommy bangga padamu," Gayatri menatap lekat Aruna, "Sekarang tugasmu adalah memastikan babymu mendapat asupan makan yang cukup dan istirahat yang cukup,—pula," perempuan ayu ini bisa melihat lebam di wajah menantunya, selepas air mata yang tumpah menyingkap make up pada wajahnya.     

Meraih kedua telapak tangan Aruna dan mendekapnya menjadi satu di dalam sebuah genggaman, Gayatri berujar dengan nada hati-hati, "Sekarang, giliran kami yang harus melindungimu dan melindungi masa depan penerus keluarga ini," dia mencium ujung jemarinya dan jemari menantunya yang menciptakan genggaman satu sama lain. "Kau tidak sendiri, sayang. Jangan tinggalkan kami—seperti pagi ini, ajak kami bicara," dan ibu hamil di hadapannya menganggukkan kepala, dengan tubuh yang terbaring miring di atas ranjang mertuanya.     

Yang paling membuat Aruna bersyukur berada di lingkaran sangkar emas ini adalah kasih sayang yang dia dapatkan dari para perempuan di rumah ini, walaupun tidak memiliki kemampuan menunjukkan dengan terang-terangan. Dan di saat tertentu, bahkan merekalah bahan bakar semangat yang sesungguhnya. Yang mendorong ibu hamil itu mengumpulkan keberanian.     

Tangan Gayatri perlahan melepaskan genggaman. Dia berjalan menuju pintu dan sempat mengangguk sebelum meminta Ratna menutup rapat.     

"Sepertinya mommy punya rencana?" gumam Aruna pada asisten tersebut.     

"Lebih tepatnya oma Sukma," Ratna berbisik lirih, seolah dinding bisa mengabarkan berita rahasia kepada siapa saja.     

"Apakah akan terjadi perselisihan hebat di antara keluarga Djoyodiningrat?" mata perempuan itu menatap lekat asistennya.     

Dan kalimat yang diucapkan Ratna mampu membuat kerutan di dahi nonanya, "Yang     

seperti hari ini, dulu sering kali terjadi, hampir tiap saat,"      

.     

.     

.     

_______________     

Terima kasih selalu setia mengikuti karya saya      

Tunggu karya-karya saya yang lain.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.