Ciuman Pertama Aruna

IV-138. Srikandi Melepas Anak Panah, Mengakhiri Kedigdayaan Bisma



IV-138. Srikandi Melepas Anak Panah, Mengakhiri Kedigdayaan Bisma

0"Kau bilang aku keterlaluan?" Dan lelaki bermata biru turut terpancing amarah, "Bukankah kau sendiri yang tidak mau bicara?!"     

"Kamu ingin tahu apa yang terjadi padaku," tangan perempuan hamil itu mengepal menghantam dada kokoh suaminya. bagaimana tidak, lelaki tersebut memanggilnya dengan sebutan 'Kau'. Kalimat-kalimat yang terlontar berintonasi tinggi, kasar dan melukai hati.     

Gayatri yang turut mendengarkan semua keributan secepat mungkin mendekati sumber suara. mencoba menemukan keduanya. berbeda dengan Oma Sukma, perempuan paruh baya tersebut memilih menghentikan langkahnya, dia duduk di ruangan lain. Perempuan paling tua tersebut mengikuti saran putrinya untuk tidak ikut andil dalam pergulatan emosi cucu dan cucu mantu yang sangat dia sayangi.     

Hendra menangkap tangan mungil yang menghantam dadanya, mengangkat tangan itu dan memberinya tatapan penuh emosi antara terluka oleh tindakan istrinya serta rasa geram yang menjadi-jadi tak terkendali.     

Nafas ibu hamil naik turun.     

Gayatri hampir ikut campur di antara keduanya andai perempuan mungil itu tidak juga menghentikan caranya memukul. Setiap perempuan sadar dengan suasana hati perempuan lain. kekuatan pukulan yang di tunjukkan perempuan pada lelakinya s selaras dengan rasa kecewa atau sakit yang terpendam di dada.     

"Kenapa kamu diam Aruna? Katakan saja," Hendra tak bisa menahan lagi, mata lelaki ini menatap tangan sang perempuan yang di balut perban.     

"baik, akan aku katakan dengan gamblang. Kau perlu aku berikan alasan kenapa aku menahan semau penderitaan ini," mata dia yang tengah bicara telah memerah.     

"Aku menembak orang dengan tanganku, puas," lalu mata cokelat tersebut berubah menjadi warna merah yang kian menjadi-jadi, pekat berkaca-kaca di barengi isak tangis. Bukan hanya Hendra yang terkejut, spontan melepas lengan istrinya.     

Sedangkan dari sudut lain seorang perempuan ayu. Ibu dari lelaki bermata biru terdapati ikut ternganga. Ia mengharapkan pendengarannya salah.     

"Aku mungkin membunuhnya," dia yang bicara terisak-isak. Terlihat kacau. Aruna menutup matanya menggunakan telapak tangan berbalut perban.     

"Sudah. tak apa-apa, tidak masalah," Hendra melangkah dan berupaya memeluk perempuan kacau di hadapannya.     

Sayangnya tindakan tersebut mendapatkan penolakan, kian ekstrem tatkala Aruna memutuskan mengambil tindakan mendorong tubuh Mahendra sampai lelaki yang mengikuti arah gerakan istrinya tersebut mundur beberapa langkah ke belakang.     

"Tidak. Tidak. Bukan itu masalah utamanya," dia menderu dalam kegelisahan yang membingungkan, bercampur menyayat hati. Perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatap dengan mata merah menyala-nyala. "Apa yang akan kamu perbuat padaku? andai aku katakan aku hampir membunuh musuhmu?"     

"Apa??" lelaki bermata biru terbelalak.     

"kamu bilang perempuan harus bersembunyi di rumah ini, bukan? Tapi aku mampu melukai bahkan membuat salah satu putra tarantula koma." Aruna berapi-rapi mengatakan ini.     

Tak lama dari arah belakang seorang lelaki di atas kursi roda datang dengan di dorong asistennya. Saat lelaki paruh baya itu tertangkap mata, sang perempuan yang juga putrinya menampakkan diri.     

"Kamu bilang apa tadi? Tarantula? Putra tarantula?" Hendra masih terhantam rasa terkejut bukan main, bibirnya bahkan belum mampu mengatup. Dia mengulang kata Tarantula untuk memastikan pendengarannya.     

Aruna memejamkan mata, "Rey aku menembak Rey, kalau aku mau aku bisa membunuhnya. Aku sudah menjadi Malahayati, "Bukan begitu kakek?" Aruna berbalik menatap pria yang berada tak jauh dari keberadaannya.     

Perempuan hamil ini melihat ekspresi resah luar biasa dari sorot mata mommy Gayatri dan sebuah gerakan mendekatnya yang sempat membuat Aruna bingung. Gayatri tipe orang yang enggan ikut campur. Aruna memahami cara berfikir perempuan ayu yang berdiri pada lorong di balik punggung Mahendra tanpa banyak bergerak. Dia menunggu untuk meredam situasi andai kata suasana kian menegang.     

Akan tetapi tidak untuk terlibat dalam pertengkaran putranya. Sayangnya tiba-tiba dia berjalan dengan tergesa-gesa dan terlihat menatap sudut di belakang Aruna, tentu saja Aruna menyadari siapa yang kemungkinan besar telah datang.     

"sekarang saya menagih tantangan yang anda buat," telunjuk mungil itu mengacung ke arah tetua. Lelaki yang paling di takuti di keluarga ini. pemimpin yang asli yang terus mengendalikan segalanya walaupun suaminya menyandang status presdir.     

"apa yang kamu inginkan?" dengan tatapan mata yang tenang dan suara yang terdengar datar lelaki paruh baya ini tidak terpengaruh oleh emosi Aruna.     

"Aku tak perlu minta maaf pada siapa pun di rumah ini, andai aku melahirkan bayi perempuan. Bahkan ketika seluruh keturunan yang aku miliki adalah perempuan," Wiryo menghadapi perempuan putri ajudannya -yang sebelum-sebelumnya mustahil menyuarakan kalimat protes- detik ini ia bahkan mampu mengujarkan berani membuat tuntutan. Dulu ayahnya sangat tunduk dan hari ini putrinya menjadi pemberontak yang nyata.     

Lelaki itu terdiam lama.     

Di ruangan sebelah perempuan paruh baya tengah mengelus dadanya. Di bandingkan siapa pun, sejujurnya dia lah yang paling berduka sekaligus terluka. Melihat seorang gadis muda yang perlahan-lahan tumbuh dewasa dan berusaha memberi segala-galanya, termasuk perubahan yang menghadirkan kehangatan bagi seluruh anggota keluarga, hari ini ia tengah kandas, menangis frustrasi bahkan mengaku hampir membunuh seseorang untuk membuktikan diri. Entah untuk apa.     

Sukma yang biasa paling pandai mencari celah untuk menenangkan diri dan menganggap semuanya baik-baik saja -saat ini calon buyut itu tak bisa menahan kegelisahannya. meminta asisten rumah tangga yang mencoba menghiburnya membawakan tisu bahkan air minum guna menenangkan diri. Dia pernah berada pada posisi yang sama dan tak bisa berbuat apa-apa.     

"Tidak ada yang memintamu minta maaf, hanya perlu mencoba lagi," kalimat ini menguar datar dan sang pemberi pernyataan menyakitkan ini meminta kursi rodannya di putar.     

"aku akan hamil saat aku menginginkan itu, aku juga yang akan mendidik putriku, sesuai kehendakku, itu hakku, siapa pun tak berhak mengatur, maupun ikut campur dan satu lagi, aku berhak untuk keluar masuk rumah ini sesuka hatiku," Aruna melepaskan busur panah tepat pada sasaran. Dia melempar tuntunan termustahil layaknya Srikandi melepas anak panah demi anak panah untuk mengakhiri kedigdayaan Bisma.     

"kita pernah membuat perjanjian, anda pernah menantangku, dengan menghinaku berdiri di depan cermin, anda tidak boleh melanggarnya, aku berhak atas 10 tujuan hidupku," (season III) Aruan masih membelakangi Mahendra. Dia tak gentar berbicara dengan lelaki tua yang sesungguhnya telah membelakangi keberadaan-nya.     

Terdiam memunggungi Aruna, tetua Wiryo melontarkan perintah: "hentikan kegaduhan yang tak berarti ini, Hendra!" suara berat itu melukai tiga perempuan sekaligus. para perempuan yang menjadi anggota keluarga Djoyodiningrat. Bahkan mungkin saja calon bayi di dalam kandungan. "dia perlu menenangkan diri sebelum kata-katanya semakin kacau," kursi roda itu bergerak menjauh.     

"aku tidak mau pergi, aku akan tetap di sini, anda harus memenuhi janji anda. saya sudah jadi Malahayati atau Srikandi, saya ikut berperang membunuh musuh kalian. Saya lebih kuat dari yang anda pikirkan. Anda bukan kesatria, anda melanggar kesepakatan kita," Aruna berteriak setengah frustrasi melihat kursi roda menghilang dari pandangan. Bahkan sampai sejauh ini dirinya hanya akan berakhir sebagai korban patriarki yang di bangun rumah mewah di lereng perbukitan ini.     

"Aruna, sayang, cukup, jangan seperti ini, ingat baby kita," suara ini datang untuk menenangkan. Kalimatnya bergetar dan berupaya memberi kehangatan pada perempuan yang merosot duduk di lantai.     

"jangan menyentuhku, aku tak akan ke mana-mana, aku akan tetap di sini," perempuan hangat yang biasanya di penuhi senyum menenangkan dan keceriaan, menjelma menjadi perempuan keras kepala.     

"kalau kamu seperti ini, kamu membuatku merasa telah gagal," lutut Mahendra sudah menyentuh lantai untuk mengimbangi istrinya, "aku yang akan wujudkan keinginanmu, sekarang berdirilah."     

Sepertinya Aruna kehilangan kewarasan, dia terlalu kacau, mungkin disebabkan hormonnya atau kejadian mengerikan sehari sebelumnya Sekali lagi perempuan dengan perutnya yang membesar, mata memerah serta ekspresi k. Dia mendorong tubuh suaminya sendiri.     

"aku tak akan pergi dari ruangan ini, aku menuntut hakku. Dan hari ini juga, aku mau tuntutan ku di penuhi," gumamnya geram.     

"jangan seperti ini. kamu menyiksa baby kita," Hendra kembali pada posisinya, bertumpu lantai guna membujuk istrinya. dia tidak mau mundur walaupun tangan mungil itu lagi-lagi dorongannya penuh tenaga.     

"apa yang aku lakukan demi bayiku. Kau tak akan mengerti! pergi dari hadapku,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.