Ciuman Pertama Aruna

IV-137. Apalagi Yang Kau Sembunyikan?



IV-137. Apalagi Yang Kau Sembunyikan?

0"Nona, nona," suara Ratna menggema dalam kamar nonanya, "Bangunlah," asisten rumah induk ini menyentuh kaki perempuan yang menenggelamkan iris coklatnya ke dalam pelupuk mata, "Nona," dan akhirnya Aruna terusik. Tangan mungilnya mengusap-usap matanya, yang spontan terbuka seperti seseorang yang tengah terkejut. Dia bangkit dengan susah payah dari tidurnya.     

"Apa yang terjadi nona?" tanya Ratna dengan nada menenangkan.      

"Kau yang membuka perban di tanganku?," Ratna menggelang.      

"Siapa yang membukanya?," mengerjapkan matanya, asisten tersebut menoleh ke beberapa arah sampai tanpa sengaja dia bisa melihat gunting di atas nakas, dimana tempat peralatan itu tak seharusnya berada di situ.     

"Yang pasti bukan saya dan anda," dia memberi tahu Aruna terkait keberadaan gunting dengan tatapan matanya.     

"Oh'," perempuan yang rambutnya mengembang seperti singa itu memegangi kepalanya.     

"Mari mandi, nona," tawar Ratna.     

"Apakah Hendra yang memintamu?" Ratna mengangguk. Dan kepala Aruna seolah sedang terhantam rasa pening hebat, seketika dia kehilangan kekuatan untuk sekedar bangkit dengan benar. Meminta bantuan asistenya, perempuan yang perutnya kian menyusahkan gerakannya tersebut berusaha terbangun dari ranjang.     

Baru pagi ini rasa remuk yang sesungguhnya hadir, hingga membuat Aruna hampir ambruk saat dia berdiri. Meraba permukaan ranjang, perempuan itu kembali meminta sedikit jeda untuk duduk.     

"Nona, kenapa wajah anda biru?," pertanyaan Ratna mengundang tatapan Aruna, "Leher anda juga,"     

"Benarkah??" dan perempuan hamil ini sekali lagi berusaha bangkit. Bukan untuk menuju kamar mandi, dia duduk di depan meja rias guna mengamati wajahnya pada pantulan maya di hadapannya. "Ratna, selepas aku mandi, minta Tika menutupi lebam di pipiku,".     

Aruna memiringkan wajahnya dan mendekatkan pipi ke arah cermin. Ada beberapa lebam yang tertangkap mata. Selain di pipinya, dia bisa melihat lebam-lebam yang lebih jelas pada lehernya. Pasti akibat mendapatkan cekikan yang begitu kuat.     

Kini, perempuan hamil itu mengangkat telapak tangannya dan dia bisa melihat sayatan berantakan. Dapat dipastikan bahwa Mahendra sudah melihat itu."Ratna, di mana suami ku?".     

"Tuan menemui Susi, saya diminta untuk memanggil Susi sebelum datang ke kamar ini," manik mata coklat itu menampakan keresahan.     

"Ayo kita mandi, sebelum suamiku datang," dan dengan upaya yang lebih besar dari sebelumnya, perempuan ini menuju bath tub.     

.     

.     

Aruna telah kembali di meja riasnya, akan tetapi kali ini yang menanganinya adalah asistennya yang lain, yang biasa membantunya berias. "Tika, lebih tebal lagi. Aku rasa masih bisa terlihat,"     

"Nona, ini sudah tebal," tukas Tika, tangannya masih setia memoles menutupi warna-warna biru keunguan pada beberapa bagian di wajah dan leher Aruna.     

"Apakah kau bisa melihat permukaannya menonjol?" kembali Aruna berujar.     

"Permukaan menonjol lebih sulit disembunyikan dari pada warna ungu," suara berat dari arah belakang menghentikan kemampuan dua orang perempuan bernafas.     

Asisten bernama Tika lekas mundur. Dia buru-buru meletakkan peralatan make up dari tangannya, selepas dagu lelaki bermata biru bergerak—tanda mengusirnya.     

Mendapati Tika yang berusaha meninggalkan ruangan dan disusul Ratna, Aruna bahkan tidak mampu menatap wajah yang tersaji pada cermin di hadapannya.     

"Masih butuh waktu?" dia yang bertanya duduk pada tepian ranjang tak jauh dari meja rias.     

"Maaf," gumam Aruna lirih.     

"Apalagi yang mau disembunyikan?," kembali Mahendra bicara, "Aku tidur dan memelukmu sepanjang malam, hidungku bisa mencium bau darah mengering di telapak tanganmu," manik mata biru itu memandang lekat pantulan wajah perempuan di cermin.      

"Bisakah kau memberiku waktu tanpa banyak bertanya?" suara Aruna terdengar rendah ketika dia menoleh pada suaminya.     

"Aku tidak boleh bertanya, —kau bilang?" intonasi suara lelaki bermata biru ini kurang menyenangkan untuk didengar. "Aku suamimu. Apa kau lupa, seperti apa kita berjanji untuk saling terbuka?".     

"Aku tahu, Hendra," jawab Aruna, perempuan ini kini tengah menunjukkan keras kepalanya, "Aku hanya butuh waktu,".     

"Waktu buat menutupi telapak tanganmu yang hancur atau lebam-lebam itu?" mata Mahendra membulat lebar dan nada suaranya tak terkendali. "Jangan membuatku gila, Aruna. Aku bisa marah, bahkan padamu!".     

"Kenapa kau meninggikan suaramu?," bukannya menanggapi topik pembicaraan utama, perempuan ini malah mengomentari volume suara Mahendra. Dia akan mengubah arah pembicaraan. "Kita hanya berdua di kamar ini,".     

Rasa geram di hati Mahendra tidak bisa disembunyikan lagi, "Aku memecat ajudan mu pagi ini,".     

"Ajudanku??" alis Aruna menyatu, "Kihran maksudmu?" dia memastikan seseorang tersebut.     

"Ya. Gadis itu sudah aku usir, dia tak di izinkan menginjak rumah ini lagi atau berada di dekatmu. Sejak awal dia masuk tanpa proses seleksi yang benar, itu masalahnya," beranjak dari ranjang tempatnya duduk, Mahendra perlu menjauh dari istrinya atau dia akan benar-benar kehilangan akal sehatnya dan sebuah pertengkaran hebat hadir di antara keduanya.     

"Hendra! Kau!" Aruna berdiri, menyambar telepon yang menghubungkan beberapa bagian di rumah ini, [Tolong hentikan Kihran pergi!]     

[Maaf nona, itu perintah Tuan,] Susi menjadi bingung di ujung sana.     

[Apakah permintaanku tidak penting?] dia yang bicara dengan telepon mengudarakan suara kemarahan.     

"Sudah cukup! Itu yang terbaik untukmu, dan baby—"     

Bukannya mendengarkan Mahendra, Aruna malah berkata, "Aku tahu bukan karena proses seleksi, kau menginginkan yang lain,".     

Tak mengindahkan protes istrinya, tangan Mahendra—yang berada di dekat Aruna—terbuka dan hendak memeluknya. Namun yang dilakukan perempuan tersebut sungguh diluar prediksi. Lelaki bermata biru yang ingin menenangkan, malah mendapatkan dorongan.     

Setengah berlari dengan perutnya yang jelas memberatkan langkah tersebut, Aruna keluar dari kamar. Membuat lelaki bermata biru yang berstatus suami, terhenyak atas tindakan istrinya. Sangat terkejut, Mahendra segera menyusul langkahnya.     

"Jangan berlari di tangga!! Atau kau akan kuhukum!" Aruna tidak menanggapi seruan Mahendra, perempuan ini berusaha menemukan ajudannya.     

"Dimana Kihran?" untuk pertama kalinya, perempuan hamil yang selalu bersikap ramah dan halus ini berteriak di rumah induk. "Bawa dia padaku!"     

"Aruna, berhenti!" Mahendra berdiri di ruang tengah, selepas menuruni tangga. Dia menghentikan jalan tergopoh istrinya yang hendak memasuki lorong menuju arah pintu utama rumah induk.      

Ruang tengah adalah pusat rumah megah di lereng bukit tersebut. Ruangan luas dengan lampu gantung yang indah.     

Ketika ada pesta, ruangan di bawah tangga yang ujungnya menyajikan kamar tuan muda dan istrinya tersebut adalah tempat yang tepat, "Hentikan langkahmu!" pekikan ini menggema. Menguasai setiap udara dan suasana hati tiap-tiap penghuninya.     

Aruna menghentikan langkahnya, dia berbalik dan menatap suaminya.      

"Kenapa kau memecatnya?" dia mengurungkan niatnya dan menyambut peringatan Mahendra, dengan berjalan menuju lelaki yang memberinya tatapan penuh amarah dari warna biru yang bercampur air muka merah padam.     

"Ya, aku mengaku. Dia tak mau buka mulut," ujar Mahendra, jujur. "Selebihnya, gadis itu gagal melindungimu, bukan?" lelaki ini masih membeku pada tempatnya berdiri.     

"Itu bukan salahnya. Itu salahku sendiri," Aruna mengurangi jarak antara dirinya dan Mahendra, "Kenapa harus memecatnya?,"     

"Dia tidak profesional!" jawaban logis Mahendra, namun pria ini hanya mencari cara untuk membenarkan tindakannya.     

"Kenapa kau tidak memecat Alvin saat ketahuan membantuku keluar dari rumah ayah pada malam itu? Atau Jav, yang memenuhi keinginanku dari pada keinginanmu?" kalimat-kalimat sepasang suami istri ini pecah. Para asisten saling berbisik tentang apa yang terjadi dan anggota keluarga Djoyodiningrat yang lain, mencoba mencari tahu pokok masalah yang kini membuat Aruna dan Mahendra terlibat adu mulut.     

"Kenapa kau membuat perbandingan semacam itu?" mengerutkan dahinya, Mahendra mencari korelasi dari kalimat Aruna, "Mereka mendapatkan hukuman,"     

"Tapi tidak dipecat!" tandas perempuan yang kini hanya berjarak satu langkah dengan Mahendra.     

"Mereka tidak membahayakan dirimu," tukas Mahendra.     

"Kihran tidak melakukan apa-apa!," suara Aruna semakin tak terkendali. Dengan salah satu tangan menopang perutnya, dia kembali berujar, "Gadis itu menolongku! Dan kau malah memecatnya sebelum mencari tahu kebenarannya. Kau keterlaluan, Hendra!"     

"Kau bilang aku keterlaluan?" Dan lelaki bermata biru turut terpancing amarahnya, "Bukankah kau sendiri yang tidak mau bicara?!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.