Ciuman Pertama Aruna

IV-136. Luka Tidak Wajar



IV-136. Luka Tidak Wajar

0"Kau kenapa, Thoms??" suara Vian memecah kebekuan di antara mereka.     

"Apa tuan datang lagi?" dan, Kihrani pun ikut bertanya.     

"Tidak." jawab singkat Thomas.     

Terdengar helaan nafas lega, sebelum Kihrani berujar, "Syukurlah," gadis berambut panjang ini telah usai merapikan barang-barangnya. Dia menarik tasnya dan meletakkan tali tas tersebut pada bahunya. Sesaat kemudian dia melewati Thomas yang berupaya membenarkan berdirinya. Lelaki berambut platinum tersebut sempat kehilangan keseimbangan selepas menerobos pintu kamar Vian.     

Sesungguhnya Vian masih penasaran dengan tujuan Thomas yang tertangkap ganjil tersebut. Terlebih pria berambut platinum tak lepas memperhatikan keadaan sekitar.     

"Kau akan pulang?" mengabaikan pertanyaan Vian, Thomas menyusul langkah Kihrani. Manik mata hitam itu mendapati gerakan kepala gadis tersebut mengangguk. "Aku belum sempat bertemu bapak dan adik-adikmu.".     

Mereka yang menuruni tangga berhenti, sebab gadis berseragam ajudan itu menghentikan gerakan kakinya. "Sudah terlalu malam untuk pulang sendiri," kembali Thomas berujar, selepas mensejajarkan dirinya.      

Awalnya Kihrani terdiam, namun akhirnya gadis itu berujar, "Aku rasa, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku,".     

"Aku rasa ide Thomas tidak buruk," suara Vian dari belakang memberi masukan.     

"Aku butuh motorku besok pagi, akan lebih praktis pulang sendiri," ajudan muda itu menundukkan kepalanya pada dua lelaki yang sesungguhnya memang seniornya. Dan, dengan langkah secepat dia bisa—bahkan tertangkap setengah berlari, Kihrani meninggalkan cluster mewah Vian.     

"Dia sangat sulit, tapi aku menyukai gadis sepertinya," Vian merebahkan tubuhnya pada sofa khusus yang biasa dia gunakan untuk duduk.     

"Apa kau benar-benar menginginkannya?" ini kalimat yang keluar dari bibir lelaki yang diliputi rasa penasaran.     

"Ya!" suaranya tegas dan jelas.     

Lawan bicara Vian sepertinya belum mau beranjak dari topik pembicaraan seputar gadis yang berambut hitam pekat itu, ketika dia kembali bertanya, "Kenapa?".     

"Aku tidak punya alasan. Apakah ini kalimat naif?" dan lelaki bermata sendu itu tertawa renyah. Dia mengais snack yang berada tak jauh dari jangkauan tangannya.     

Sedangkan Thomas yang sedari tadi memperhatikan Vian, memilih tak menjawab dan undur diri. "Aku pulang dulu,".     

"Kau bilang ingin mendukungku?" ucap Vian, "Tidurlah disini," tangannya menepuk bagian sofa kosong, mengabaikan ekspresi datar dari pria dengan rambut platinum.     

"Kau bukan anak-anak lagi, kita semua tidur sendiri sejak tumbuh dewasa," jawab Thomas seraya bangkit dari duduknya. Detik berikutnya, sebuah tindakan unik tertangkap mata ketika Vian menarik bajunya.     

Pria dengan rambut platinum itu menyadari tindakan main-main dari sahabat sekaligus keluarganya itu adalah bagian dari kenangan masa lalu mereka. Mereka berdua cukup dekat dan tidur bersama dalam satu kamar, bahkan kadang berbagi ranjang. Kenangan di Yellow House dan aura positif yang di bangun rumah itu, sekuning mentari pagi dan menghangat di malam hari layaknya warna senja.     

"Jangan membuatku meyakini bahwa kau mengidap sindrom Peter Pan," Sindrom Peter Pan merupakan kecenderungan perilaku orang dewasa yang masih seperti anak-anak. Dan saat ini, Thomas sedang mencaci Vian dengan sarkas yang menggelikan.     

"Dasar! Pergilah, dari pada kau menghinaku semalaman," ujar pria dengan mata sendu yang sempat tertawa, walau kenyataannya Vian tidak menyukai kalimat Thomas.     

***     

Perempuan hamil dengan badan lunglainya telah sampai di kamarnya. Dia terbaring di ranjang sudah dalam keadaan terlelap, bahkan ketika masih dalam dekapan Mahendra menuju kamar mereka.     

Tampak pula Herry yang masih setia membuntuti pasangan suami istri tersebut. Dimana ajudan paling dekat dengan tuan muda itu berdiri di ujung pintu dan belum beranjak, sebab demikianlah yang diminta tuannya pada perjalanan mereka menuju rumah tersebut.     

"Aku tidak tahu apa yang terjadi," selepas menanggalkan perempuan dalam dekapan, Mahendra berjalan mendekati Herry, "Tapi instingku mengatakan, yang terjadi pada istriku kali ini bukan kejadian biasa,".     

Herry terlihat mengangguk-angguk berulang, dia tidak bisa menyalahkan sudut pandang tuannya. Ada kejanggalan dalam pencarian sang nona.     

"Cari tahu siapa ajudan perempuan yang selalu menemani istriku. Aku yakin jika dia tahu segalanya," sejujurnya ingin rasanya Herry berkata, mengapa sang tuan tidak menggali sendiri dari nona Aruna? Bukankah dia yang menjalaninya. Namun hal semacam itu tampak tidak akan tuannya jalankan, sebab pria itu terlalu mencintai istrinya. Dia pasti bakal mencari sendiri pemahaman tanpa perlu mengkonfrontasi perempuan hamil tersebut.     

Herry membungkuk dan sesegera dia dapat melihat manik mata biru tuannya mengamati dirinya dengan tatapan serius. "Kutitipkan tugas ini pada timmu. Bangun, kumpulkan kembali teman-temanmu!," Semenjak keberadaan Black Pardus, secara pribadi Mahendra lebih mempercayai kelompok itu dari pada sejumlah orang-orang yang bekerja padanya. Sebab menurut pria tersebut, masih ada pengaruh kakeknya pada tiap-tiap tindakan mereka. Walaupun beberapa dari mereka—Black Pardus—sempat menyia-nyiakan kepercayaannya.     

Selepas tuan muda Djoyodiningrat itu memahami keadaan lebih mendalam, dia bisa mengerti dan mulai mampu menghapus amarahnya. Bagaimanapun juga, dia selalu berusaha mendengarkan dan mencoba menginternalisasi protes istrinya. Dia merenungi dengan baik dan dia tahu, ada yang harus berubah demi putra-putrinya kelak. Namun untuk saat ini, yang menjadi prioritasnya adalah istrinya sendiri.     

"Aku mau satu orang masuk dalam kelompok kalian," ujar Mahendra, "Juan, beri dia tempat selain menjadi pegawai biasa di DM Group. Aku ingin dia lebih dekat denganku," Pemikiran yang aneh, demikian benak Herry berkata.     

Bagaimana bisa seseorang seperti Juan—dengan latar belakangnya yang rumit—akan dihadirkan pada sebuah kelompok yang bekerja langsung di bawah sang tuan muda?. Kelompok yang amunisi utamanya adalah pengabdian. Namun Herry menyadari, bukan ruangnya untuk mengutarakan pendapat di situasi seperti ini. Untuk itu, ajudan itu lekas mengundurkan diri.     

Yang dilakukan Mahendra berikutnya adalah memeriksa dengan teliti keadaannya istrinya. Dia mulai memberanikan diri membuka perban di telapak tangan.     

Sepanjang perjalanan menuju rumah induk—kala Mahendra meraba tangan Aruna—perempuan itu mengatakan dia tak sengaja mengangkat wadah panas ketika belajar masak bersama Kihrani.      

Separah apa terkena benda panas sampai perlu mendapatkan balutan perban?.     

Bangkit menuju kotak pengobatan P3K yang ada di kamar mandi mereka, Mahendra segera duduk di ranjang dekat terbaringnya Aruna. Memegang kain putih dan mulai memotongnya.      

Menahan nafas saat tubuh perempuan itu mengerut.     

Pria dengan manik biru cemerlang itu tak bisa menyembunyikan sesuatu yang tiba-tiba menggumpal di dadanya. Dia merasa ada menyekat pernafasannya saat dia mengetahui betapa tidak wajarnya luka yang dia lihat, sayatan-sayatan yang berantakan dan tentu saja bukan karena terbakar.      

.      

.      

"Kenapa istrimu masih di kamar? Aku ingin kita makan bersama," pertanyaan tetua Wiryo ketika mendapati keberadaan Mahendra tanpa Aruna. Lelaki bermata biru itu terpaksa duduk di meja makan pagi ini, sebab perintah. Andai tidak ada perintah dari kakeknya, mungkin pria ini belum mau keluar. Dia sedang mengharapkan keterangan yang disembunyikan hingga pagi ini.     

"Semalam susah tidur, Aruna butuh istirahat," demikian Mahendra menimpali tanpa melihat wajah kakeknya.     

"Hendra, apa Aruna—" kalimat oma Sukma terhenti ketika mendapati ekspresi tak jenak dari cucunya. Bukan hanya sang kakek yang penasaran, wajah wanita paruh baya itu begitu berhasrat untuk menanyakan keadaan cucu mantunya. Bahkan andai lelaki bermata biru itu mau memperhatikan raut wajah mommynya, perempuan itu pun sama penasarannya. Atau lebih tepatnya, keduanya tengah merindu.     

Alih-alih memberi balasan pada omanya, Mahendra bangkit begitu saja selepas mengosongkan gelas. "Maaf, anda bisa bertanya padanya sendiri kalau dia sudah siuman—maksudku bangun," dan dia meninggalkan meja makan.     

Ternyata, tuan muda itu menuju pantry rumah mewah tersebut. "Beri tahu aku, siapa yang biasanya membantu keseharian istriku," tanya Mahendra, yang lekas seorang asisten mencari rekan kerjanya yang lain.     

Lelaki bermata biru itu kini mendapati Ratna berdiri di hadapannya. "Bantu istriku mandi," asisten tersebut mengangguk, "Bawakan makannya," matanya mengembara sesaat, sebelum kembali berucap, "Dan, jangan izinkan ajudan bernama Kihrani memasuki kamar istriku!," awalnya pria itu terdapati akan melangkah, tapi dia urungkan, "Sebelum melakukan semua itu, minta Susi menghadap padaku, di ruang kerjaku,"     

"Baik, tuan,"      

______________     

Terimakasih sudah membaca      

Jangan lupa follow Instagram @dewisetyaningrat_     

Tunggu Karya saya yang terbaru teman-teman      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.