Ciuman Pertama Aruna

IV-135. Resah Mendera Dada



IV-135. Resah Mendera Dada

0"Sayang," Aruna tersenyum lebar dan hangat. Dibalik tangan kanannya bergerak samar, meminta ajudannya pergi perlahan.      

Lelaki bermata biru terdiam seribu bahasa, hanya menatap dengan ekspresi datar. Sesaat dia melihat ke bawah sebelum membuka matanya dan mulai berjalan perlahan mendekati ranjang yang seharusnya bukan menjadi tempat seorang perempuan terhormat membaringkan tubuhnya.      

Ranjang tersebut adalah milik pria di luar keluarga utama. Sedekat apa pun seorang pimpinan divisi di bawah naungan keluarga Djoyodiningrat, tak seharusnya perempuan mereka terbaring di tempat ini.      

"aku yakin kamu ingin bertanya," Aruna menghirup nafas dalam-dalam. Jemarinya menyentuh bahu pria yang duduk pada tepian ranjang, memunggungi keberadaannya, "beri aku waktu, aku butuh tenaga dan ketenangan sebelum membuat jawaban," tangan itu turun menyusuri lengan atas dan kian ke bawah, berhenti di siku. Sebab di tangkap Mahendra, seiring dia yang bermata biru mendapati kejanggalan. Sesuatu membungkus telapak tangan istrinya, "apa yang terjadi?"      

"beri waktu, aku.." Aruna menggigit bibirnya.      

"begitu ya.." Hendra berucap datar matanya masih menatap telapak tangan dikala pendengarannya di susupi sebuah nafas tersengal tak beraturan. Perempuannya menangis.      

"Maa, hiks.. maaf," mendengar ini Mahendra merelakan kemarahannya, ia pada akhirnya berkenan menatap istrinya.      

Hendra tak mengerti apa yang terjadi, akan tetapi intuisinya yang tajam memberi firasat kuat bahwa istrinya sedang berada di level terendah.      

Aruna tak pernah menahan air mata separah ini sebelum-sebelumnya kecuali di awal-awal pernikahan mereka dan itu sudah lama sekali.      

Air mata itu berusaha di tahan. Sejalan dengan ia yang pipinya basah oleh buliran zat cair tak bisa mendongak untuk menatap suaminya. Aruna lagi-lagi gagal untuk memulai komunikasi. Kegagalan tersebut mengakibatkan rasa sakit yang lebih dalam. Terutama saat mata biru yang jernih menamatinya. Aruna merasa dirinya sedang berada di titik paling berantakan.      

Perempuan ini menarik tangannya dari dekapan telapak tangan suaminya. Hendra pikir Aruna Akan bangkit atau memeluknya. Faktanya kedua telapak tangan itu digunakan untuk menutup mata. Menutupi wajahnya dan sang ibu hamil mulai mengisak.      

Rintihan menyakitkan. Mengiris perlahan-lahan hati seseorang.      

Ada rasa yang secara berangsur-angsur menerpa lelaki bermata biru dan rasa itu adalah perasaan gagal.      

Kegagalan paling tinggi seorang suami ialah membiarkan perempuannya hancur, tenggelam ke dalam tangisan.      

Hendra tidak mengerti secara detail, sayangnya ia tidak mampu mengabaikan rasa hancurnya. Perasaan menyakitkan tersebut tak dapat terhindarkan.      

"ayo kita pulang," bukan hanya Aruna yang sedang merintih sedih. Ada yang berusaha tetap tegar dan melawan segala resah yang mendera dadanya. Mengais oksigen sebanyak-banyaknya dari udara di seputarnya, Hendra mendesah sebelum berdiri.      

'aku terlalu banyak mengaturmu, maafkan aku,' ungkapan itu terlisankan di hati.      

Tangan sang pria menjulur ke arah istrinya. Perempuan dengan perutnya yang terlihat kian berat dan wajahnya yang memerah sebab menangis. Pemandangan ini sungguh menyayat-nyayat sesuatu yang berada pada dada Mahendra.      

Aruna tidak menjawab, perempuan ini mengulurkan telapak tangannya yang berbalut perban putih.      

Seterunya telapak tangan yang terlihat dua kali lebih besar dari pada telapak tangan mungil milik sang perempuan, berhasil menggenggam pergelangan tangan istrinya tapi bukan untuk menariknya, melainkan sebuah titik awal untuk tindakan meraup tubuh sang Istri termasuk membawanya dalam gendongan.      

Kedua lengan lelaki bermata biru menopang tubuh istri dan tentu saja calon bayi mereka. Ia menuruni tangga rumah salah satu pimpinan divisi di lantai tersembunyi yang kini telah banyak kehilangan kerahasiaannya.      

Sampai pada anak tangga paling bawah dia yang membopong istrinya terhenti. Menoleh dan menatap ajudan perempuan yang terakhir kali bersama istrinya dan detik ini berdiri di samping sang pemilik rumah.      

Di sisi lain Kihrani tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Beberapa jam sebelum ini dia berbohong pada sang pemilik kekuasaan tertinggi dalam lingkungan kehidupan penuh kejutan ini.      

Kihrani mengais kekuatan, tanpa sadar jemarinya menjerat ujung baju bagian belakang Vian. Lelaki tersebut sempat menoleh, menurunkan pandangan. Mengamati sekilas, Vian bergerak perlahan menutupi keberadaan ajudan perempuan yang wajahnya memucat.      

Vian menunduk sesaat memberi kesan penuh hormat.      

"Salah satu dari kalian-" menyadari seorang dalam dekapan memeluknya lebih erat, Hendra merelakan hasratnya mengutarakan kalimat perintah pada tiap-tiap mereka yang ia tatap.      

Tuan muda Djoyodiningrat akhirnya memilih mengambil langkah sesuai harapan sang istri. Aruna memeluk erat bahkan menggenggam baju di dada lelaki bermata biru. Tujuannya menghindari ledakan kemarahan Mahendra.      

Untungnya usaha Aruna membuahkan hasil, Mahendra melangkahnya meninggalkan rumah salah satu pimpinan divisi pada lantai rahasia. Orang-orangnya yang tentu saja tidak asing turut meninggalkan rumah tersebut. Dalam seketika ketegangan di dalam rumah Vian menghilang.      

Sayangnya rasa reda itu tidak berlangsung lama, gadis berseragam ajudan tersebut masih mendapati seseorang yang masih tinggal.      

Dia duduk dengan santai di sofa ruang tengah rumah Vian. Pria tersebut meraih remote televisi dan mulai memencetnya. Benda elektronik itu menyala, siaran yang terdapat pada layar datar tersebut berpindah pindah dari satu channel ke channel lain.      

"Apa kamu di minta tinggal oleh tuan??" ini pertanyaan Vian pada lelaki berambut platinum yang matanya enggan meninggalkan layar kaca.      

      

Jawaban pria tersebut adalah menggeleng.      

"aku hanya berpikir kalian sedang dalam masalah jadi aku ingin memberi dukungan, bukankah aku saudara yang baik?" tentu saja Vian mengumbar senyuman, ia lekas  duduk dan menepuk, bahkan memeluk Lelaki berambut platinum menggunakan tangan kirinya.      

Jauh berbeda di banding Kihrani yang belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia mengamati lelaki yang sama sekali tidak membalas tatapan bersahabat Vian.      

'apa yang terjadi padanya?' ini isi benak Kihrani. Sejauh ini gadis dengan rambut hitam pekat itu bisa merasakan adanya emosi berbeda yang di sajikan Lelaki berambut platinum dengan terus memindah channel televisi.      

"Vian," ketika panggilan ini terdengar. Barulah dua laki-laki tersebut tegugah, mengingat keberadaan kihrani, "apakah aku sudah boleh pulang?" tanya Kihran. Tangannya terangkat menunjuk ujung tangga.      

"kamu ingin pulang?" bukannya menjawab pertanyaan Vian ikut bertanya.      

Gadis tersebut mengangguk ringan, "tapi tasku tertinggal di kamarmu,"      

"oh'," Vian bangkit dari duduknya. Seiring dengan lelaki lain yang menanggalkan remoet Televisi. Anehnya channel yang ia pilih tak lain ialah kartun anak-anak paling menyedihkan. Si lebah madu yang mengembara mencari ibunya.      

Memahami bahwa Vian memberi izin untuk mengambil barang-barangnya dengan tenang, Kihran membuntuti cara pemilik hunian mewah tersebut menaiki tangga.      

"aku minta maaf aku memasukkan tasku di lacimu tanpa izin," kihrani berujar, dia kian merasa gelisah kala menyadari alas bedak tumpah dan mengotori sisi dalam laci.      

"biarku bersihkan," Kihran menoleh ke beberapa arah mencari benda yang mungkin saja dapat ia manfaatkan.      

"pakai ini saja," vian berjalan mengambil kotak tisu dan ia menyerahkan benda tersebut pada perempuan yang sibuk mengemas benda-bendanya supaya lekas rapi masuk tas.      

"Sudah, aku saja," Kihran merebut tiga helai tisu di tangan Vian.      

"kamu pikir aku tidak bisa?" ini suara Vian menyerahkan tisu di tangannya pada lawan bicaranya dan lelaki tersebut kini mengeluarkan tisu lain.      

Keduanya mulai mengasi satu persatu benda di dalam laci dan membersihkannya dari cipratan fondation yang tercecer.      

"menurutmu apa yang akan terjadi pada nona?" kihran penasaran.      

"Tuan sangat mencintai istrinya. Dia tidak memiliki kesanggupan marah pada nona Aruna," analisis Vian menguar secara spontan.      

"Aku kurang yakin tuan tidak akan marah, dia terlihat murka sekali tadi," Kihran menyangkal pendapat Vian.      

"dia murka pada kita. harusnya kitalah yang perlu waspada bukan nona. Kalau perlu kita minta perlindungan dari nona, mendatanginya dan membawa sesuatu yang dia sukai demi memastikan dukungan nona terhadap kita berdua tidak surut," kembali Vian mengambil tisu untuk finishing kebersihan lacinya.      

"aku rasa yang seperti itu bisa di kategorikan menjilat," ini suara keraguan kihran.      

"bagiku tidak masalah. Entah Kita saling menjilat atau memeluk erat yang terpenting kita berdua selamat. Bukan begitu?" Dan gadis di dekat Vian mengangguk-angguk. sejujurnya masih berupaya mencerna kalimat Vian.     

"Bruak!!," pintu yang terbuka sedikit tiba-tiba mendapatkan dorongan kasar, pelakunya sontak mendapat tatapan diliputi ekspresi heran.      

"Kamu kenapa Thoms??" ini suara Vian.      

"apa tuan datang lagi?" Kihrani ikut bertanya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.