Ciuman Pertama Aruna

IV-134. Bantu Aku, Kali Ini Saja



IV-134. Bantu Aku, Kali Ini Saja

0"Bantu aku, kali ini saja. Demi bayi perempuan di rahimku," Aruna merintih, mengutarakan permohonan mendalam.     

"Dimana korelasinya??"     

***     

Tiga Jam sebelumnya, seorang laki-laki mengerahkan anak buahnya sebab tidak menemukan istrinya di mana pun. Mahendra pikir, perempuan tersebut tengah menikmati hari. Semacam pergi ke lantai tertinggi hotelnya untuk beristirahat di sana atau berbelanja, walaupun pria itu tahu bahwa Aruna tidak begitu punya minat dengan aktivitas yang disenangi para wanita pada umumnya.     

Mengingat cara istrinya protes beberapa saat sebelumnya, membuat Mahendra tenang sejenak. Mungkin Aruna ingin menenangkan diri. Dan, segala hal yang berawal dari kata 'mungkin'—yang ada dalam benak pria tersebut—mendorong dirinya untuk tak terlalu khawatir. Sayangnya ketika lelaki bermata biru itu membuat pesan, tidak ada balasan sampai jam-jam berikutnya.     

Matahari menggelap dan suasana diluar kian pekat menuju hitam. Dia yang memiliki firasat tak jenak perlahan berdiri dari duduknya, membuka tirai yang tersaji pada ruang kerjanya. Ada yang tidak beres, batin Mahendra.     

Pria ini mulai mengingat, siapa yang terakhir kali bersama Aruna. Menoleh sesuatu di atas meja, Mahendra ingat seorang ajudan yang dia minta untuk merangkai bunga tersebut, yang dia tujukan untuk istrinya.     

Tak butuh waktu lama ketika tangan Mahendra segera meraup handphonenya. Memerintahkan Herry menyiapkan mobilnya dan mengerahkan beberapa orang untuk mencari keberadaan istrinya, termasuk ajudan perempuan yang telah dia konfirmasi pada Tita—terkait Aruna yang keluar ruang kerjanya tadi siang bersama ajudan tersebut.     

Di lain tempat, di sebuah pantai pada pukul yang sama, sekelompok lelaki mendorong bangkai mobil. Mengupayakan kendaraan pribadi beroda empat yang dipenuhi pecahan kaca itu lekas meninggalkan pasir pantai.     

"Lebih cepat lagi!" senior di antara mereka memberi peringatan sembari menatap jam tangan. Mata orang itu tak henti mengamati benda di pergelangan tangannya secara berulang-ulang. Alisnya kian mengerut tatkala dia harus berhadapan dengan sekelompok juniornya yang berusaha keras menyiramkan air laut pada pasir pantai yang memerah, sebelum akhirnya warna merah darah itu ditutup dengan pasir lainnya.     

"Ingat, jangan ada serpihan kaca yang bisa ditemukan orang lain!," kembali menegaskan, sang senior berkeliling mengamati lima orang yang bekerja di bawah kendalinya.     

"Senior," seorang dari arah belakang memanggilnya. Namun deru mobil yang terlihat menyeret mobil lain, menenggelamkan panggilan tersebut.     

Vian masih sibuk melebarkan matanya, mengamati kontur permukaan pasir di sekitarnya. Pasir-pasir ini harus terlihat natural hingga membuat siapapun yang mendatangi tempat ini, tak dapat menduga akan adanya kejadian besar beberapa jam lalu.     

"Senior," pemuda yang memanggil Vian menepuk bahu lelaki yang menekuk kakinya, merunduk, memungut sesuatu bening dan menciumnya. 'Ada bau alkohol,' pria itu bergumam sebelum terjingkat oleh tepukan.     

"Ada apa?," sang junior mendekat dan berbisik, 'Tuan mencari ajudan nona,'.     

"Mencari Kiki maksudmu?," Balas Vian, memastikan.     

"Iya. Tuan meminta beberapa orang mencari istrinya, termasuk gadis itu. Ajudan itu yang terakhir bersama nona," mata Vian mengembara beberapa saat. Mudah bagi tuan mereka menemukan siapa pun. Terlebih ketika lelaki bermata biru itu meminta seseorang yang ahli memainkan perangkat komputernya.     

"Berikan handphoneku," dia meminta bantuan, sebab tangan kanannya masih sering menimbulkan nyeri pada dada kanan ketika banyak bergerak. Hari ini sudah cukup bekerja keras, untuk itu, dia meminta juniornya membuat panggilan pada Pradita.     

Nona keluarga Djoyodiningrat yang ditemukan dalam keadaan setengah sadar beberapa saat lalu, tiada henti membuat permohonan, 'Jangan pertemukan aku dengan suamiku, jangan pertemukan aku dengan Hendra. Biarkan aku pulih dahulu, sampai aku siap menghadapinya,' berulang-ulang Vian mendengar rintihan tersebut.     

Menurutnya hal itu tidak masuk akal. Bukankah siapapun—di dunia ini—ketika dihadapkan pada sebuah musibah, orang pertama yang akan ditemui adalah keluarga, terutama pasangan hidup?.     

Tak kuasa untuk memprotes sesuatu yang tidak sinkron dengan pemikirannya, Vian menatap Kihrani. Nyatanya, gadis itu malah menyeretnya dalam sebuah keputusan untuk menuruti kehendak perempuan hamil yang lunglai dalam perawatan ajudannya. 'Nona pasti punya alasan,' begitu ucapnya.     

Maka dari itu, Vian mendesak Pradita  sesegera mungkin. Pimpinan divisi IT tersebut perlu mengambil bagian dan ikut serta mengundur waktu sampai nona mereka siuman.     

***     

Sekarang.     

"Dimana korelasinya??" Vian, lelaki yang berpikir praktis. Dimana sebagian besar keputusannya berdasarkan pada Logika di otaknya.     

"Kau seorang laki-laki, kau tidak akan mengerti," suara Aruna samar, tapi cukup untuk di dengar oleh dua orang lainnya.     

"Dan kalian para perempuan, kalian sangat rumit. Saya tidak bisa melakukan ini lagi," kalimat spontan Vian mendapat tatapan mendalam dari dua perempuan sekaligus.     

Aruna masih terbaring di ranjang, matanya berkaca-kaca selepas mendengar kalimat uangkapan isi hatinya Vian. Sedangkan Kihrani menatapnya kosong, gadis itu tak tahu lagi harus bagaimana.     

"Jangan mengintimidasiku dengan ekspresi, Ah! Sudahlah," telapak tangan kiri Vian menghempas udara. Jujur, dia bingung apa yang ada di pikiran sang nona dan gadis keras kepala yang tiap kali ditanya pendapat selalu konsisten mengatakan, 'nona pasti punya alasan'.     

Belum sempat Vian menemukan solusi yang tepat—untuk kerumitan kedua perempuan, yang pria ini sadari bahwa mustahil menahan kecepatan kemampuan tuannya memahami segala sesuatu yang terjadi pada istrinya—salah seorang juniornya datang dari arah pintu. "Tuan Hendra ada di depan, sekali lagi ingin bertemu Kihrani," ekspresi wajah panik tidak bisa di sembunyikan junior tersebut. Menatap sejenak seseorang di atas ranjang, pemuda itu mendekati seniornya, "Tuan terlihat sangat marah,"     

"Izinkan masuk. Aku akan menemuinya, secepatnya," beberapa jam lalu, lelaki bermata biru sudah berjumpa Kihrani. Vian menelepon secara khusus gadis itu, mengajarinya membuat alasan. Dan, bagaimana cara bicara yang tepat sehingga lawan bicara sekelas Mahendra tak bisa membaca gestur berbohongnya. Tentang bagaimana dia harus duduk, termasuk kemana anak mata melirik saat berbicara.     

"Nona, bersiaplah." Ujar Vian sebelum berjalan keluar ruangan, dia berbalik sesaat selepas menarik handle pintu, "Mustahil anda berlari dari suami anda."     

Dan kepala divisi itu menghilang ditelan daun pintu. Menyisakan Aruna yang berusaha bangkit dari tidurnya dengan bantuan Kihrani.     

"Tolong lebih cepat," pinta Aruna, bahkan perempuan tersebut mengambil alih perban yang digulung Kihrani pada telapak tangannya. "Kihran, apakah kau membawa alas bedak?" gadis yang ditanya terdiam sesaat, sebelum berdiri dan mengeluarkan seluruh benda di dalam tas selempangnya. Mengambil sesuatu yang diminta nonanya, dia bisa mendengar kata, "Syukurlah,".     

Aruna mengangkat tangan kirinya, meminta Kihrani mengoleskan krim pada ujung telunjuknya. Dan ternyata, perempuan bermata coklat itu berniat menutupi beberapa lebam pada wajah, termasuk beberapa bagian tubuhnya.     

"Bantu aku!" dan dengan perintah tersebut, Kihrani melakukan hal yang sama. Keduannya berpacu dengan waktu, terlebih ketika kumpulan langkah kaki menapaki lantai terdengar. Dua perempuan ini saling memandang. "Kihran! Rapikan tas mu dan sembunyikan ini," Aruna melempar wadah foundation ajudannya, yang lekas ditangkap gadis tersebut.     

Menatap sejenak pintu, dia menyadari tak ada waktu untuk merapikan benda-bendanya. Kihrani meraup seluruh isi tas yang tergeletak di atas meja. Membuka laci dan melemparnya ke dalam. Dia berbalik dan lekas mendorong perlahan laci nakas, sejalan dengan pintu terbuka dan iris mata berwarna biru menatapnya.     

"Sayang," Aruna tersenyum lebar dan hangat. Dibalik tangan kanannya bergerak samar, meminta ajudannya pergi perlahan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.