Ciuman Pertama Aruna

IV-133. Menekan Pegas Senjata Api



IV-133. Menekan Pegas Senjata Api

0Aruna terbatuk-batuk dan berusaha menepuk, mencakar sekuat dan sekeras ia bisa supaya terlepas dari Rey. Kenyataannya itu tidak mudah. Hingga perempuan ini menyadari kaca mobil yang hancur di sampingnya masih menyisakan lempengan kaca menggantung. Aruna berusaha meraihnya, memanfaatkan tangannya yang mungil dan halus.      

Mengabaikan telapak tangan tertancap serpihan kaca-Aruna terluka akibat tindakannya mencabuti lepengan pecahan kaca-berusaha menancapkan secara berulang-ulang benda runcing nan tajam pada lengan lelaki yang tengah mengapit lehernya.     

Darah dari lengan pria yang berusaha mencekik leher Aruna sebagian terciprat ke wajah sang perempuan. Dia menutup matanya. Mengabaikan segala kengerian.     

Aruna tiada henti menghentak, menancapkan serpihan-serpihan kaca sekuat tenaga. berusaha membebaskan diri. Sampai Rey kewalahan dan merenggangkan jeratan tangannya di leher Aruna.      

Mengetahui peluang meloloskan diri. Perempuan hamil itu lekas berupaya memanfaatkan sisa tenaganya supaya terbebas dari Rey.     

Kini Putra Barga berteriak-teriak kesetanan akibat dari banyaknya pecahan kaca yang ditancapkan Aruna pada bagian tubuhnya. Lengan pemuda tersebut berlumuran darah.     

Hal pertama yang dilakukan—selepas Rey berusaha dengan lambat menuruni kap mobil—Aruna bukannya berlari. Dia masih sempat melebarkan matanya, berusaha menemukan senjata api yang dijatuhkan Rey. Dengan keras hati dia mengais bagian bawah mobil, sambil sesekali mengamati pria yang mulai berjalan menuju ke arahnya.     

Saat dia hampir menyerah, dimana suara langkah kaki Rey yang samar semakin jelas terdengar, sebuah keberuntungan menghampiri perempuan hamil ini. Tatkala mata coklatnya menangkap siluet hitam benda yang dia inginkan.     

Aruna lekas mengeluarkan sebagian tubuhnya, yang awalnya tersita dalam pengamatan di dalam mobil Rey. Berlari semampunya, dia sempat terjatuh di atas pasir dengan wajah lelah dan nafas terengah, bahkan rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya mulai menjalar. Perempuan hamil ini merasa segala sesuatu di sekitarnya sedang berputar.     

Membuat gelengan kepala, Aruna memfokuskan diri pada arah kedatangan Rey yang berjalan sempoyongan.     

Tangan Rey Barga hampir menggapainya, kalau saja perempuan itu tak menodongkan senjata api dan berusaha membuat pria berdagu runcing khas lelaki berdarah negeri sakura mengangkat kedua belah tangannya.     

"Mundur!" gertak Aruna, yang sejujurnya dia sama saja dengan Rey. Dia kehilangan konsentrasi, sebab rasa lelah yang menggerogotinya. "Mundur lagi! Aku bilang mundur!" memekik dengan volume tinggi, dia terus berusaha mengancam pria yang lengan dan telapak tangannya dipenuhi warna merah darah. Termasuk kepala dan beberapa bagian terlihat memar akibat perlawanan sang perempuan melalui botol pecah yang dia hantamkan kuat-kuat.     

"Okey!" sahut Rey, dengan nafas memburu, "Okey! Lihat! Lihat lah, aku akan berlutut," pemuda ini benar- benar melakukan apa yang diucapkan Aruna. "Aku sudah berlutut, Aruna," mendapati hal demikian, membuat Aruna bisa mengambil sedikit jeda untuk bangkit, memanfaatkan sisa tenaganya.     

Ketika Aruna bangkit, Rey ikut pula bergerak, pria tersebut hendak menerkam.     

Sehingga tangan mungil perempuan itu spontan menekan pegas senjata api, bersama dengan matanya yang tertutup rapat. Sebab, tak kuasa melihat tindakan terkejam yang harus dia upayakan demi melindungi dirinya sendiri.     

Pria di depan Aruna terjatuh sebab luka tembak di perut dengan posisi tengkurap di atas pasir. Perempuan hamil menyeret tubuh lunglainya. Aruna berusaha menjauh. Ia membuat pengamatan singkat atas tindakannya, mata cokelatnya bisa melihat pasir putih bersimbah darah. Berasal dari perut Rey Barga.     

Berusaha mendongak untuk menatap Aruna, dia berbicara dengan nafas putus-putus. "Mengapa? Huuh… mengapa, kau melakukannya? Padahal aku mencintaimu," mata pemuda ini mulai meredup "Aku menyukaimu, sebelum kau menggantikan kakakmu menikahi.. huhh," dan sisa kalimatnya hilang bersama kesadarannya yang ikut menghilang.     

Derai air mata tumpah tak terkendali, bersama gelengan kepala Aruna. Dia tidak tahu apakah Rey sekedar pingsan atau telah kehilangan nyawa.     

Tubuh perempuan yang lunglai itu ikut jatuh di atas pasir, sebab rasa syok yang menghantamnya bertubi-tubi. Dia sempat kehilangan kesadaran sesaat, hingga ia kembali tergugah oleh suara batuk samar.     

Apakah itu suara Rey?. Perempuan ini tidak tahu, ia tak bisa membuat penafsiran. Isi kepalanya kacau balau.     

Pantai tempatnya terbangun itu benar-benar sepi penghuni. Menoleh kesana kemari ia tidak menemukan sesuatu yang berarti. Jelas pantai ini bukan bagian dari tempat wisata atau semacamnya. Pinggiran kota yang tak terdefinisi di kepala perempuan hamil yang saat ini bergulat dengan rasa lelah dan usaha tak putus-putusnya untuk menjaga kesadaran.     

Bangkit mendekati tubuh Rey, dia bisa mendengar samar-samar suara nafas pria tergeletak tak berdaya tersebut. suaranya bergemuruh hebat. Seolah akan menemui ajal.     

Tak ingin membuang waktu, Aruna berlari menuju mobil yang kaca pada bagian depannya telah hancur lebur dan berusaha menemukan alat komunikasi Rey. Sayangnya, ia tidak menemukan apa pun. Hingga perempuan tersebut berusaha mengumpulkan keberanian dengan memacu langkahnya, kembali mendekati tubuh tergeletak bersimbah darah milik lelaki itu.     

Dia yang sama berantakannya dengan tubuh tak berdaya di atas pasir, berusaha menekuk kakinya dan menjulurkan tangannya untuk mendekati saku lelaki tersebut. Dia berniat menemukan alat komunikasi yang bisa menolongnya, bahkan berharap tak membunuh pemuda yang saat ini tubuhnya berusaha ia balik.     

Aruna berhasil merogoh saku baju Rey, dan menemukan benda yang paling bernilai untuk keduanya. Dia berupaya mencari sidik jari untuk membuka pengunci, selepas berhasil Aruna lekas membuat panggilan. ia begitu lega tatkala suara pria di ujung sana menyapanya.     

Butuh lebih dari dua puluh lima menit sampai suara mobil menghampiri keberadaan nona muda Djoyodiningrat. Aruna ditemukan ajudannya, termasuk seorang lelaki yang memiliki keahlian pada bidang penyelidikan.     

Sesaat kemudian, pria yang dipanggil senior Vian itu mendatangkan beberapa anak buahnya untuk membereskan bangkai mobil Rey. Termasuk tubuh pia yang tak sempat diketahui Aruna, apakah dia masih hidup atau meninggal. Dan entah dibawa kemana tubuh bersimbah darah tersebut.     

.     

.     

"Nona, tuan mencari anda. Saya harus berkata apa?," Aruna masih terbaring di ranjang, dia baru bangun dan mendapati seorang ajudan perempuan membuka perban pada telapak tangannya.     

Meletakkan telapak tangan sang nona di atas telapak tangannya, Kihrani terlihat mengambil cotton buds dan menyentuhkan benda yang telah dilumuri obat itu pada beberapa titik, membuat Aruna mengernyit.     

Sedangkan sang pemberi pertanyaan yaitu senior divisi penyidik yang tengah berdiri di depan foto dirinya sendiri—terpajang memenuhi dinding-artinya sang nona saat ini berada di dalam kamar Vian.     

"Apa Rey masih hidup?" dia menjawab pertanyaan Vian, dengan menanyakan kabar pemuda yang saat ini entah bagaimana keadaannya.     

"Saya belum menerima kabar,"     

"Supir taksi yang membawa handphone dan brosku, kalian menemukannya?" perempuan ini sesekali meringis, tatkala benda berlumur obat itu terasa perih ketika menyentuh lukanya.     

"Kami masih berusaha mencarinya, nona,"     

"Aku tidak akan menemui Hendra, sampai sopir itu ditemukan," jawab Aruna, "Aku perlu memastikan kejadian ini tidak diketahui suamiku"     

"Mengapa anda membuat keputusan semacam ini?" suara Vian hampir meninggi. Lelaki tersebut mengangkat satu tangannya antara protes dan pasrah, dia melibatkan sebagian besar tim divisinya untuk menjalankan keinginan nona muda keluarga tuannya. "Anda tidak logis!" imbuhnya tertangkap pasrah sekaligus marah.     

"Bantu aku, kali ini saja. Demi bayi perempuan di rahimku," Aruna merintih, mengutarakan permohonan mendalam.     

"Dimana korelasinya??"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.