Ciuman Pertama Aruna

IV-131. Lelaki Berbau Alkohol



IV-131. Lelaki Berbau Alkohol

0"Kau mau apa?" Kihrani menoleh ke beberapa arah, mencari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menghalau lelaki yang matanya seakan-akan siap menerkamnya.     

Tatkala gadis itu mendapatkan bantal dan berniat untuk melemparnya ke arah Vian—yang semakin mengurangi jarak di antara mereka—anehnya, Kihrani mengurungkan tekadnya. Bahkan membiarkan dirinya ditangkap dalam pelukan lelaki bermata sendu tersebut.     

Kihrani tengah berkonsentrasi pada sebuah pesan di handphonenya, dan tidak menyadari bahwa lelaki berperawakan tinggi itu telah mendekapnya ke dalam pelukan dari arah belakang.     

"Ada apa?" tanya Vian, tangannya masih melingkari perut gadis tersebut. Antara bingung dan merasa menang, pria itu menduga sesuatu penting telah terjadi, sampai-sampai bantal di tangan Kihrani jatuh terkulai di lantai dan bisa-bisanya dia tidak memperdulikan tindakan pemuda tersebut.     

"Ada yang menghubungiku," gadis tersebut menunjukan layar handphonenya, yang menyajikan nomor asing pada pemuda yang masih mendekapnya dari belakang. Nampaknya, nomor tersebut sudah dua kali menghubungi Kihrani.     

"Biar aku yang mengangkatnya," rebut Vian dan detik berikutnya, alat komunikasi elektronik tersebut sudah berada pada telinga pemuda tersebut. Bahkan dia siap membuat gertakan untuk menunjukan sikap ketidak sukanya pada siapa pun yang menelepon gadis berambut hitam panjang tersebut.     

Nyatanya, yang terdengar adalah nafas terengah dan sebuah permintaan tolong, dimana suara tersebut sungguh tidak asing, [Nona?] seketika lelaki bermata sendu itu menatap seseorang di dekatnya. Matanya melebar kala telinganya mendengar pesan samar di ujung telepon. [Anda di mana? Beri tahu saya!] nada bicara Vian terdengar begitu serius, bahkan guratan wajahnya menampakan ekspresi khawatir.     

"Kihran, gunakan jaketmu! Buka gerbang garasiku!" Vian memerintah sembari berlari gesit semampu yang dia sanggup menuju lantai dua. Pria ini menaiki tangga sambil terus berkomunikasi dengan nona muda Djoyodiningrat yang berada di ujung panggilan.     

Begitu juga dengan Kihrani yang lekas menuruti permintaan pimpinan divisi penyidik tersebut tanpa berpikir panjang. Gadis ini memencet pintu garasi cluster dan segera mendorong gerbang depan.     

Kala Kihrani belum usai mendorong gerbang rumah mewah tersebut, manik matanya bisa melihat Vian tergopoh membantunya. Tangannya membawa sesuatu, yang dengan lincah segera dia selipkan pada sudut di balik jaketnya.     

Mungkin itu senapan. Kihrani tidak sempat memikirkan apa yang dia amati, sebab kini gadis tersebut sudah mendapatkan lemparan handphonenya sendiri. Lekas berlari membuka pintu mobil Vian, gadis itu diminta memandu map yang tersaji pada layar sentuh smartphone tersebut.     

Tanpa pertanyaan dan tidak ada penjelasan, Vian terlihat berusaha keras mengendalikan mobil dengan satu tangannya. Dia menahan rasa sakit. Itu jelas terlihat ketika gadis tersebut mendapati buliran keringat dingin menetes di pelipis pemuda tersebut.     

"Bantu aku memegangnya, "keluh Vian.     

"Memegang?" Kihrani kebingungan, "Bagaimana?".     

"Aku tak punya tenaga memutar kendali." Nafasnya terdengar lelah, tapi Vian berusaha setenang yang dia bisa.     

"Begitu, ya?" gadis ini menjadi khawatir dan berusaha keras menuruti permintaan lelaki di kursi pengemudi.     

"Letakkan tanganmu di sini," Vian meminta Kihrani meletakkan tangannya pada sisi bulatan stir mobil yang tidak mendapatkan sentuhan pria tersebut. "Ketika aku memutarnya lambat, ikuti ritmenya, supaya kau bisa sedikit meringankan usahaku," jelasnya sesederhana mungkin, berharap gadis itu paham.     

"Kenapa kita tidak meminta bantuan saja?," tanya Kihrani, namun gadis ini tetap mengikuti perintah Vian.     

"Nona tidak menginginkannya" Jelas Vian singkat.     

"Benarkah?" Alis gadis ini bertaut, "Apa yang terjadi padanya?,"     

"Jangan banyak bertanya. Kita lakukan saja yang bisa kita usahakan," mobil melaju semaksimal mungkin, walaupun kenyataanya tak secepat cara mengemudi Vian ketika lelaki itu dalam keadaan sehat.     

***     

Mengamati lelaki yang membawanya, Aruna memberinya tatapan tajam. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya. Perempuan hamil ini begitu tenang, bahkan dia mulai membuat prediksi terbaik sampai terburuk yang bisa dia upayakan untuk membebaskan diri.     

"Jangan mencoba melakukan sesuatu," pekik lelaki yang kini terlihat berusaha keras mengumpulkan konsentrasi tatkala Aruna terdapati menolehkan wajahnya ke arah belakang, guna melihat sesuatu yang tidak dapat dipastikan oleh lelaki yang menyandera dirinya.     

"Diam!" lelaki ini kembali memekik, tatkala Aruna masih melakukan gerakan yang dia anggap sedikit mencurigakan, "Jangan coba-coba bergerak!" dia mengangkat tangan, yang mana dalam genggamannya sebuah senjata api mengarah pada tubuh perempuan hamil itu.     

Penyandera tersebut terlihat kebingungan sesaat, tatkala dia tidak melihat rasa takut pada raut wajah Aruna, "Kenapa kau menatapku seberani itu?," Tangan pria itu dengan sengaja membenturkan ujung senjata api pada tubuh perempuan yang masih memasang ketenangannya.     

"Lakukan saja kalau kau menginginkannya." Sang pengemudi mengernyit. Mengubah arah pandangnya dari jalanan ke arah Aruna. Mata coklat tertangkap datar dan raut wajahnya tak berekspresi. Hingga sebuah hentakan terjadi, sebab mobil hampir menyerempet kendaraan lain sehingga tubuh keduanya tersentak.     

Menyadari kemampuan mengemudi mulai kacau, pria itu mencari-cari petunjuk arah dan membanting ke arah kiri secara tiba-tiba.     

"Bagaimana kau tahu aku tak bisa menyakitimu? Aku menginginkan dirimu," si pria aneh ini lebih terdengar mengigau daripada bicara.     

"Aku tidak tahu itu," guman Aruna datar.     

"Lalu, kenapa kau berani menantangku?" Melirik sejenak pada Aruna, mata lelaki ini kembali fokus pada jalanan, "Benda ini bisa melukaimu, nona. Bahkan bisa membunuh salah satu, dari dua nyawa di tubuhmu,"     

"Lakukan saja kalau kau menginginkannya, aku tidak peduli," bervolume rendah dan bernada datar, Aruna bergeming dalam ketenangan. Dia lebih banyak tersentak saat kendaraan yang dikendarai pria tidak masuk akal ini hampir menerobos pagar pembatas jalan atau akan menerjang mobil lain.     

Dengan ketenangan yang sama, perempuan hamil ini masih tak banyak memberi balasan saat berulang kali si lelaki berbau alkohol terus-terusan mengatakan, "Kenapa kau harus mengandung bayi itu? Kenapa kau kembali pada si sialan itu? Kenapa kau tak memberiku kesempatan, sekali saja? Kenapa kau..." kadangkala kata tanyanya hilang, kemudian muncul kembali dengan amukan-amukan yang tak terkendali.     

Aruna sekedar memegang sabuk pengaman erat-erat, hingga perempuan itu menyadari kenyataan bahwa lelaki berbau alkohol itu masih sempat menggunakan akal sehatnya dengan memutuskan menuju ke sebuah pantai lenggang, yang tampaknya dia sengaja memilih tempat sepi ini. Sebab, pria ini ternyata paham dirinya tidak memiliki kemampuan mengemudi karena pengaruh alkohol.     

Mobil terus melaju menuju pesisir pantai, sampai pasir pantai menjadikan kendaraan tersebut terjebak dan tidak bisa bergerak lagi.     

Aruna masih terdiam dalam ketenangan ketika mobil terus menderu-deru, menginginkan berada lebih dekat dengan air laut. Sampai si bau alkohol merasa usahanya sia-sia, lalu berpindah mengamati perempuan hamil tersebut.     

Manik mata coklat membalas tatapan pria yang mengamatinya dengan cara aneh. Antara ekspresi frustasi dan ingin menguasai jadi satu.     

"Kau! Haahh!" tangan kanannya masih memegang senjata api, saat berusaha bergerak untuk menggapai pipi Aruna.     

"Jangan menyentuhku," perempuan ini mendorong telapak tangan kanan yang hampir berhasil meraih wajahnya.     

Selang beberapa saat—selepas tautan mata terjadi diantara keduanya—pria itu terlihat merunduk sesaat, lalu menoleh ke belakang untuk meraih sebotol alkohol, kemudian menegaknya sampai kosong, ia tertawa dengan volume naik turun dan intonasi tak wajar.     

"Huuhh" Aruna bisa mendengar pria itu membuang nafasnya. Sambil terus membuat pengamatan yang mendetail terhadap benda-benda disekitar, perempuan itu mengantisipasi tindakan apa yang akan dilayangkan lelaki itu padanya.     

"Apa kekurangan Rey Barga, dibanding si sialan itu? Beri tahu aku," dia memekik, seiring tindakannya menangkap wajah Aruna menggunakan tangan kirinya dengan mencengkram dagunya, "Apa karena dia menanam benih di perut mu?," tangan kanan yang memegang senjata api, dengan sengaja di tekan-tekan pada perut buncit perempuan tersebut.     

"Lepaskan aku!" berontak Aruna, berusaha terbebas dari pria yang dulu sering kali membuntutinya.     

"Kenapa aku tidak mendapatkan kesempatan? Sedangkan dia dengan mudah mendapatkanmu," mengguncang kedua bahu Aruna kuat-kuat—tanpa sadar bahwa itu terlalu kasar untuk tubuh perempuan hamil, Rey kian mendekati kursi penumpang di sampingnya.     

Tidak menjawab dan tidak memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut, Aruna lebih fokus melindungi perutnya, seiring telapak tangannya berusaha mendorong wajah pria yang berusaha mendapatkan wajahnya.     

"Jangan melawan!,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.