Ciuman Pertama Aruna

IV-181. Rajutan



IV-181. Rajutan

0"Bisakah kita berhenti?"     

"Di mana Tuan?" herry melirik lelaki yang duduk di kursi pengemudi bagian belakang. Dia yang ditanya menatap keluar jendela kaca mobil.     

"aku ingin beli sesuatu," yang detik ini berbicara terdapat menghirup nafasnya dalam-dalam. "aku menyesal tidak membeli sesuatu di Mall," maksud mahendra di lantai bawah mansion Sky Tower. Mansion di atas gedung bertingkat yang mana gedung itu adalah pusat perbelanjaan.     

"kalau boleh tahu anda ingin membeli apa? Biar saya tahu saya harus berhenti di mana,"     

"aku belum tahu tapi seharusnya aku membawa sesuatu untuk istriku," dia berkata mengusung tatapan mengembara pada sisi luar jendela mobil.     

Dan sesuai kalimat penyesalan sang tuan Herry menghentikan mobil pada salah satu mall terdekat yang mereka lintasi tatkala mobil ini menuju rumah induk.     

Dua lelaki berjalan memasuki pusat perbelanjaan, dia yang memimpin langkah terhenti sejenak menatap display sepatu yang tersaji. Melangkah memasuki showroom produk sepatu dengan disambut senyuman sang pramuniaga hendra menyentuh satu dari pasangan-pasangan sepatu yang ditawarkan.     

"aku mau ini," bayangan di kepalanya adalah sepatu kets wanita yang dulu pernah menjadi idola istrinya sebelum kini perempuan yang lebih banyak terbaring di ranjang tersebut berubah haluan menjadi pemakai wedges.     

Dia tak pandai mengenakan sepatu hak tinggi untuk ia mengenakan wedges sebagai gantinya.     

"Anda membutuhkan ukuran berapa?" tanya pramuniaga.     

"menurutmu perempuan hamil akan naik berapa angka dari ukuran normal yang biasa digunakan?"     

"satu sampai dua angka, sayangnya saya hanya bisa memperkirakan, sebaiknya anda bertanya pada calon pemilik sepatu," mendengar penuturan sang pramuniaga Mahendra mengangguk ringan. Memegangi sepatu dengan seksama sembari membayangkan kaki Aruna, apakah ukuran 39 ataukah 40 yang harus ia beli.     

Memutar tubuhnya ke arah lain dia mendapati sepasang sepatu mungil di sudut ruangan, lelaki ini mendekat, belum sempat dia menyentuhnya tangan lain telah memungut bidikannya. Lelaki dan perempuan yang mana perempuannya mengandung, perutnya terlihat menonjol di balik jaket, walaupun tak sebesar perut istrinya.     

Herry setia berdiri di belakang tuannya mengamati pria itu mengurungkan niatnya dan seolah memilih jenis sepatu lain sembari mengintip sepasang suami istri yang memegangi sepatu yang ingin ia beli.     

"Harusnya aku punya waktu berbelanja seperti mereka," dia menciptakan pernyataan penyesalan yang terdengar oleh Herry.     

"Apakah anda menginginkan sepatu pink itu, tuan?" Herry mendapat tatapan, "aku akan memintanya untuk anda," herry berjalan mendekati pramuniaga, tapi perempuan berseragam hitam tersebut menggeleng dan menyatakan benda yang kini di peluk dekap perempuan hamil lalu di bawa ke kasir tinggal satu pasang itu saja. Dengan menyesal harus memberitahu bahwa tuannya tak bisa mendapatkan sepatu pink catik itu.     

Sesaat Hendra terlihat terdiam, dan kini ia telah menuju display sepatu bayi yang tadi tak bisa dia dekati. Asal diketahui lelaki ini membeli semua yang tersaji di display, semuanya, kecuali sepatu khusus bayi laki-laki.     

Sekitar sepuluh kantong belanja berdesakan di tangan herry empat lainya menggantung di telapak tangan mahendra.     

Isi otak mahendra yang detik ini berjalan menuruni eskalator pusat perbelanjaan adalah 'saat dirinya tak sempat berbelanja bersama istrinya, dia akan menciptakan display di rumah induk dan istrinya bisa memilih dan memilah sesuai kehendaknya.     

Sayangnya ketika sampai di rumah bukannya mendapatkan sanjungan, perempuan di atas ranjang melebarkan matanya, bibirnya mengatup dan menatap sinis semua kotak-kotak sepatu yang dengan susah payah di bawa Herry memasuki kamar sepasang suami istri tersebut.     

"kenapa kamu membeli sebanyak itu?!" sergah Aruna.     

"aku hanya ingin kamu senang, aku terlalu sibuk bekerja, aku pikir kamu akan senang akhirnya aku ingat persiapan kelahiran putri kita?" mengusir herry dengan gerakan tangan samar, hendra sadar Aruna benar akan marah.     

"kamu pikir aku tak menyiapkannya??" mata perempuan ini membulat, dia yang awalnya memalingkan pandangan detik ini menatap jengkel. "kamu pikir aku tak punya inisiatif saat aku tahu suamiku bahkan tak sempat berbelanja untuk bayinya?"     

"bukan begitu, aku hanya,"     

"hanya apa!" Aruna meninggi, "jual lagi yang kamu bawa?"     

"apa maksudmu?" hendra mengerut, "dengar sayang, baby nanti bisa berganti sepatu setiap hari bukankah itu bagus,"     

"kalau sebanyak itu artinya dia berganti setiap satu sampai tiga jam! Setiap hari bahkan kelamaan!" bibirnya di teuak sekian inci, wajahnya berpaling lagi, matanya memerah dan Hendra yang hendak memprotes lekas terbungkam.     

"tenang! Aku akan mengirim sepatu-sepatu kebtempat amal," hendra mendekat hati-hati, duduk di tepian ranjang dia menatap istrinya dengan lamat-lamat, "kalau kamu sudah menyiapkan segalanya, ya sudah, yang aku beli aku berikan pada yang lain,"     

"apa rajutanku sangat buruk? sampai-sampai kamu memilih membelikan sepatu dari pada menghargai buatanku?" pernyataan mahendra malah ditanggapi dengan pertanyaan di luar dugaan.     

"rajutan?" dia mendesah lirih bingung, 'sial aku lupa,' hendra lupa istrinya menghabiskan banyak waktu di dalam kamar, itu artinya dia akan menciptakan segala sesuatu menjadi pernak pernik, mungkin saja termasuk baju rajut atau sepatu bayi rajut.     

"boleh aku jujur sayang," dia menyentuh pipi istrinya dengan telapak tangan. Mata aruna naik menatapnya, "aku terlalu sibuk, aku sama sekali tak menyadari kamu membuat banyak benda untuk bayi kita, percayalah,"     

"aku tak mau melihat kotak-kotak sepatu itu!" tangannya berayun, memaki benda berbentik balok yang masih terbungkus tas belanja.      

"ya, aku akan mengeluarkannya,"     

Seluruh kardus sepatu terpaksa tida ada yang berani membukanya, kini Hendra mau tak mau harus memeriksa ruang baju mereka. Berdiri di hadapan lemari kaca yang di dalamnya sudah berbaris sepatu rajut dengan berbagai bentuk, warna dan tentu saja aksesoris kecil yang tersemat pada tiap-tiap calon pembungkus kaki mungil bayi mereka.     

"apa semua buatan istriku?" hendra bertanya pada ratna yang berdiri memandu tuannya melihat persiapan persalinan yang ternyata sudah di handle para perempuan rumah induk.     

"semua yang berasal dari rajutan adalah buatan istri anda, sekalian mengajari kami, jadi seluruh rumah ini ikut andil," ratna berkata dengan bangga.     

"pantas dia sangat marah padaku," hendra membuka pintu kaca dan menyentuh salah satunya, sekilas ia mengingat permintaan terakhir sebelum hari di mana Aruna harus bedrest.     

Aruna minta diantar periksa kandungan, senam ibu hamil bersama komunitas, dan beberapa hal layaknya pasangan suami istri normal yang telah ia lupakan.     

Dia sempat mengelus beberapa hasil tangan istrinya dan para asisten rumah induk, sebelum kembali ke ruangan utama dan berkata: "aku akan mendampingimu pada wawancara esok,"     

"benarkah??" Aruna memastikannya. dan lelaki itu mengangguk ringan. "Bukankah kamu sibuk akhir-akhir ini?" sekali lagi dia bertanya.     

"ayolah sayang apa yang tidak untukmu,"     

"jadi kamu benar-benar akan mendampingiku?" mata Aruna menatap pria yang terlihat melepas kancing pada pergelangan tangannya sejalan dengan cara Mahendra menanggalkan jam tangan dan meletakkannya pada laci.     

"Ya," tegas Mahendra.     

"kalau begitu aku mau kamu memakai sweater rajut buatanku," Hendra lekas menatap wajah istrinya, tatapan dipenuhi aura penasaran terlukis pada binar mata biru. "kita pakai baju rajut couple."     

Hendra menyunggingkan senyuman.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.