Ciuman Pertama Aruna

IV-182. Rasa Berbunga



IV-182. Rasa Berbunga

0Hendra menyunggingkan senyuman.       

Mendekati istrinya sembari meletakkan kedua telapak tangan di antara tubuh sang istri, lelaki yang lengan hemnya naik sekian inci mendekati di dekat siku menjatuhkan ciuman tepat di pelipis sang perempuan.      

Sebelum sentuhan bibirnya berakhir pada permukaan jeli lembut kesukaannya dan menyesap dalam-dalam. Matanya tampak terpejam sesaat, lalu terbuka perlahan-lahan. Menatap dan menangkap netra coklat sembari mengelusi kokainnya. Dia menyuguhkan senyuman, dan sebuah lesung pipi terlihat sempurna saat ini.      

"Sayangnya aku harus mandi," ekspresi kecewa yang di buat-buat tertangkap mata, "sendirian pula," ia mendesah,  sebelum berjalan meninggalkan tubuh perempuan di atas ranjang tidur.      

"apa tidak sayang sepatunya?" Mami Gayatri masuk selepas mengetuk ringan, menjadikan Mahendra tak lagi menuju toilet.      

"Momy," pria yang hampir melepas hemnya menatap sang ibu, dia melirik istrinya, dan pada akhirnya memilih mendorong tubuh sang ibu keluar ruangan. "Tak apa," desah lelaki bermata biru selepas menutup pintu kamar tidur dia dan istrinya.      

"Ahh.. sayang sekali, -yang kamu beli sungguh sangat cantik," Momy memandangi sepatu-sepatu yang tersaji pada selasar lantai, tidak jauh dari keberadaan ke duanya.      

"Tak apa Mommy, ada yang lebih bernilai dari sepatu yang aku beli," menatap sang mommy sambil tersenyum, Mahendra meyakinkan.      

Lelaki ini meyakinkan seorang perempuan yang tertangkap melipat tangannya. Gayatri bersedekap,  tampaknya perempuan tersebut masih enggan.  Membiarkan sepatu-sepatu mungil hilang dari pandangannya dibawa oleh asisten rumah tangga.      

Hendra merangkul bahu mommy-nya. Mendorong perempuan tersebut untuk duduk, kekecewaan seseorang kadang kala bisa sirna dengan memberi rasa rileks.      

"ada yang memberi tahuku bahwa jenis kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda, kebahagiaan istriku adalah membuat segala sesuatu dengan tangannya sendiri. Aku tak memberinya banyak kesempatan untuk mengembangkan bakat. Jadi apakah membuang sepatu lebih berharga dari membatu istriku menemukan versi bahagianya?" Gayatri terlihat mengerjapkan mata mendengar ungkapan sang putra.      

"kamu," dia yang menanggapi Hendra tengah menggelengkan kepala.  "Bagaimana aku bisa kecewa kalau alasanmu sehebat itu," Gayatri kini memang tengah memalingkan wajah, mengamati satu per satu kotak sepatu mungil dipungut oleh asisten rumah Induk.      

"aku akan mengurusnya," tatapannya menjadi berbeda.  bukan lagi kecewa. Melainkan bangga.  ia memandang dengan cara berbeda, mulai detik ini.  Entah mengapa ia merasa putranya saat ini telah tumbuh menjadi pribadi yang berbeda, lebih dewasa.      

Perempuan ini kembali melihat putranya dan dalam kecanggungan yang luar biasa dia memberanikan diri menyentuh punggung paha. Menepuknya dua kali, lalu menunduk malu selepas bertautan mata.      

Gayatri merasa dadanya di liputi rasa berbunga detik ini. Berbunga bisa menyentuh putranya. Andai keluarga ini terbiasa bercengkerama seperti keluarga yang tak memiliki sekat satu sama lain. Rasanya dia ingin memeluk untuk sekali saja bayi kecil bermata birunya. Bayi yang hanya sempat dia rawat dan dia peluk hingga usianya enam tahun.      

Di karena tragedi itu, Hendra bukan hanya menghindarinya, dia ketakutan tiap kali melihat mommy-nya sendiri. Dia akan memilih pergi meninggalkan Gayatri yang saat itu terseret dalam lembah gelap depresi.      

Hendra yang menangkap ekspresi canggung sang ibu. Malam menatapnya. Melirik mata yang sengaja di palingkan oleh pemiliknya.      

Dan sebuah tangan kokoh merentang, meraup bahu sang ibu. Mengelusinya dalam dekapan, "bukan aku yang hebat, aku hanya mendengar nasehat seseorang," dalam hati Mahendra terlukis nama ayah Lesmana. Ayah istrinya yang memilih menjadi pengrajin kayu alih-alih kembali menjabat sebagai direktur.      

"Dan aku harap Momy punya cara yang sama untuk menemukan bahagia, walaupun terlihat egois, hematku, setiap orang berhak menikmati hidupnya," dia kembali bicara seolah seusia dengan ibundanya.      

"apakah ucapanmu ini bagian dari sindrom calon Daddy??" Gayatri bertanya sambil tertawa, Hendra sadar dia sedang di goda.      

"sepertinya iya," pria ber-netra biru tersebut malah mengimani dugaan mommy-nya. Alih-alih menyangkal kalimat yang di ujarkan sang ibu.      

"saya mandi dulu," dinginnya rasa canggung perlahan-lahan menghangat. Mahendra lebih berani menatap mata ibunya dan sebaliknya.      

Dan Gayatri mengangkat jempolnya mengizinkan sang putra meninggalkan sofa tempatnya berada. Perempuan ini bangkit, dia membaur dengan beberapa asisten yang mengemas mengemasi kotak-kotak sepatu.      

Secara spontan bahkan para asisten rumah induk yang menangkap komunikasi dua arah antara ibu dan sang putra sesekali menyipitkan mata sebab tertimpa oleh senyuman mereka.      

Gayatri tak bisa menyembunyikan raut wajah bahagianya, pipinya masih memerah. Aura senangnya seperti gadis yang pertama kali jatuh cinta dan itu yang menyulut senyum tertahan para asisten rumah Induk.      

      

"apa wajah senangku terlalu kelihatan?" Gayatri bertanya manja, dan tawa kecil menyelinap ditelinganya.      

"Anda terlihat norak nona, bagaimana bisa ibu malu-malu pada putranya. Hanya karena mengobrol berdua??" Gayatri menoleh, suara itu tak asing baginya. "Cih! Ibu macam apa itu,"      

Sekelompok asisten rumah induk memilih mundur, saat mereka menemukan Sekretaris tetua ada di dekat mereka dan tertangkap hendak bicara dengan sang nona- Gayatri.      

"Ada apa lagi sekarang? Kenapa menggangguku?" Andos mendekat, dia berjalan terlalu dekat bahkan bahunya kananya menempel pada punggung sang nona. Dia berbisik lirih.      

"Ada yang berharap selepas pulang ke rumah ini bisa kembali pada istrinya," lirih Andos di telinga Gayatri.      

"jangan bilang yang kamu maksud adalah papy ku?"      

"aku bekerja untuknya, tentu saja dia,"      

"sepertinya untuk malam ini masih mustahil, kamu tahukan perempuan kalau terlanjur marah bisa bertahan berhari-hari," keluh Gayatri.      

"Ayolah, apa anda menyukai orang tua anda berselisih?" desak Andos.      

"Sayangnya," mereka bertautan mata selepas Gayatri memutar tubuhnya menatap dan kini berhadap-hadapan dengan Andos, "iya,"      

"apa??" kata terakhir Gayatri sama sekali tak memuaskan lawan  bicaranya, maka dari itu Andos menanyakannya sekali lagi.      

"IYA!" tegas Gayatri.      

"mana ada anak suka orang tuanya berselisih?" heran bukan main Andos, "anak macam apa itu!?" alis Andos hampir menyatu tatkala kembali mendengarkan ungkapan sang nona: "kau sudah menghinaku dua kali,"      

"dua kali kapan?"      

Mata Gayatri naik mengintimidasi sekretaris tetua Wiryo, "kau, apa kau lupa?" Gayatri punya kebiasaan baru selepas dia berangsur-angsur terbebas dari masa kelamnya. Yakni      

bakal melipat tangannya, membentuk sedekap saat kurang nyaman atau marah, "mengatakan aku ibu macam apa?! Dan Anak macam apa?!" matanya menatap penuh intimidasi.      

"Jangan di kira karena aku perempuan dan ibuku perempuan kami harus menuruti kalian tanpa berpikir?" entah bagaimana dia jadi di liputi emosi, "katakan pada papiku, pada atasanmu! Bicara langsung pada kami, bicara baik-baik. Jangan se-enaknya saja!" Gayatri berapi-api. "Kalian pikir kami apa? Pergi se-enaknya saat marah  dan minta kembali dengan cara memerintah!! Apa-apaan itu!"      

jengkel bukan main, demikian yang tersaji di raut wajah Gayatri.      

"Saya ini cuma melaksanakan tugas, jangan apa-apa kena ke saya,"      

"siapa suruh mau!"      

"aku butuh tempat tinggal dan makan nona, makanya saya bekerja dengan mengabdi pada ayah Anda, jangan sampai saya mengatakan : "apakah Anda mau menampung saya yang sebatang kara ini?"      

"kamu sedang ingin melucu ya??"      

"siapa yang melucu?"      

"Ah sudahlah!" seru Gayatri, "pergi sana! Katakan pada atasanmu. Pria yang memberimu makan dan tempat tinggal. Katakan padanya. Bicara dengan cara menemui langsung secara baik-baik tak akan menurunkan harga dirinya!" ketus Gayatri melangkah pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.