Ciuman Pertama Aruna

IV-183. Mati Rasa



IV-183. Mati Rasa

0"mobil siapa?" Tiga orang pemuda baru saja usai menjalankan misinya. Mereka memutar musik Jhon bon Jovi melalu fitur yang di sajikan mobil khusus milik kelompok black pardus.     

Suaranya mengentak hebat, kesukaan para pemuda seperti mereka. Sayangnya, saat mobil ini telah sampai di rumah salah satu dari mereka, yakni rumah JAV. Yang rencananya malam ini akan menjadi tempat untuk beristirahat ketiganya.     

Mereka menurunkan volume it's life milik bon Jovi, mobil ini juga menurunkan kecepatan lajunya. Mengamati sebuah mobil yang terparkir pada jalanan. Tempat di rumah JAV.     

Tiba-tiba saja salah satu dari mereka, meminta mobil yang gerakannya diperlambat. Keluar untuk memeriksa transportasi darat berkaki empat tersebut.     

"aku rasa ya mungkin itu tuan muda," pernyataan yang mengandung tanda tanya. Sebab yang menyusun kalimat masih pada tahap menduga daripada mengimaninya. Bendly continental black dengan Seri khusus tidak bisa dimiliki sembarang orang begitu saja.     

"Tidak, itu bukan milik tuan Hendra," yang hendak meminta izin turun untuk memeriksa merasa mobil tersebut sama sekali tidak asing.     

Juan hanya perlu memperhatikan seri nomornya, dia perlu memastikan nomor mobil tersebut atau minimal mengintip bagian dalam.     

Mendengarkan kegigihan Juan, jav dan Wisnu mengizinkan temannya tersebut.     

"Hati-hatilah," Juan hampir tidak percaya Wisnu mengatakan kalimat tersebut padanya. Hanya jav dari sekian banyak ajudan yang dimiliki keluarga Djoyodiningrat dan perusahaan Joyo makmur group yang peduli padanya. Tentu saja kecuali tuan muda keluarga tersebut beserta ketua Wiryo. Keduanya tidak masuk hitungan sebab secara kasat memang menjadikan Juan berbeda dari yang lain. Dia beberapa kali mendapatkan perlakuan lebih istimewa.     

Untuk itu, ungkapan sederhana semacam pesan kehati-hatian dari salah seorang ajudan di dalam lingkaran Djoyo makmur grup, memiliki makna tersendiri bagi Juan.     

Pemuda yang tadi ini mengenakan pakaian santai, berupa kaos hitam, benar-benar berjalan mengendap dan hati-hati.     

Ia menatap nomor polisi cukup lama, sebelum berusaha mengintip sisi dalam.     

Anehnya setelah Juan memastikan apa yang dilihat, pemuda ini tidak pergi menuju dua temannya yang menunggu di dalam mobil. Iya secara bergegas berlari secepat mungkin, tunggang lalang memasuki pelataran rumah JAV. Seolah telah terjadi sesuatu. Sesuatu yang penting. Entah Apa itu.     

Atas kondisi yang tersaji di hadapan kedua lelaki di dalam mobil, jav dan Wisnu memacu mobil untuk segera masuk pada garasi. Dan memarkirkannya.     

Dua orang pemuda yang membuntuti langkah Juan terpaku melihat apa yang detik ini dihadapi oleh Juan.     

Ibunya, ibu Gesang Juang Diningrat, mendapatkan tamu. Tamu yang makan di meja makan di mana yang ibu memilih berdiri dan kaku di pojok ruangan. Dia ketakutan.     

"Ambilkan senjata laras panjang!" Juan mendorong dada JAV. Nadanya rendah namun penuh dengan menekan.     

JAV dan Wisnu memandang bingung. Namun tatkala pria yang makan dengan santainya. Memainkan garpu dan sendok di Antara dua orang yang berdiri mengiringi keberadaan tamu misteri tersebut.     

JAV lekas bergerak cepat memenuhi permintaan Juan.     

Ada sesuatu yang tak beres.     

Untuk itu Wisnu terdorong mengais apa yang berada dalam persembunyian di tubuhnya, Wisnu mengeluarkan senjata. Niatnya pistol sayangnya sempat keliru meraih belati yang suka ia mainkan.     

Benda tersebut jatuh membentur lantai dan suara: "klatak," tidak bisa dihindari.     

Sang penyantap makanan menoleh, tepat ketika JAV telah datang. Juan merebut Barret M82 jari tangan JAV. Menodongkannya ke arah tamu misterius.     

Sebenarnya tamu tersebut misterius hanya dalam benak jav dan Wisnu, tapi tidak dengan Juan.      

"putraku sudah datang rupanya," pria yang tidak pernah menyebut Juan putranya. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu. Untuk itu Tanpa gentar sedikit pun. Juan membidikkan laras panjang di tangannya ke arah kepala dia yang di sebut kepala dewan Tarantula.     

Mendengar ungkapan tuannya, bodyguard yang mengiringi Rio membalik tubuhnya dan hendak menghadang Juan.     

Juan menembak satu langkah tepat di hadapan bodyguard yang bergerak ke arahnya.     

Orang Rio mengangkat tangan mundur satu langkah kemudian ikut mengeluarkan senjata mereka. Sayangnya mereka tak sempat memegangnya dengan benar. Sebab kini benda tersebut jatuh oleh sang ahli penembak jitu. Yang tak lain adalah Wisnu.     

Keahlian Wisnu mengakibatkan dua bodyguard Rio menjatuhkan pistolnya.     

"Benar-benar Rio??" desahan lirih Wisnu terdengar JAV. Bahkan ke dua anggota black pardus, sebuah di tim bawah naungan tuan muda Djoyodiningrat masih enggan percaya dengan apa yang mereka lihat.     

Rio adalah antagonis utama, si pemimpin dari sekelompok orang yang menjadi ujung dari muara semua permusuhan antar dua keluarga yang sejujurnya memiliki satu ikatan darah.     

"dia ayahnya," pernyataan klasik terbisik pada dua orang yang berada di belakang Juan.     

"turunkan senjatamu, kenapa kamu ini," tersenyum sirmik, Rio berdiri.     

Dengan sangat hati-hati. Juan berhati-hati dengan ayahnya sendiri. Pria ini membahayakan bagi siapa pun bahkan bagi seorang anak yang mengusung darahnya.     

"Aku ingin mengajakmu dan mama mu pulang," dia bergerak satu langkah ke depan.     

Setiap detik Juan menatap ibunya, perempuan yang Mendekap tubuhnya sendiri. Perempuan yang berdiri di pojok ruangan. Diam membeku ketakutan, bukankah beberapa waktu sebelumnya, bahkan belum ada satu bulan, saat sama mengatakan ayahnya mustahil untuk mengancam mereka lagi. Asal dirinya dan Juan lekas pergi ke luar negeri. Kenyataannya lelaki bernama Rio kini berada di antara mereka.     

"sekali kau maju! Aku akan menembakmu! Tempat di kepalamu!" gertak Juan.     

Dua teman Juan, Wisnu dan jav ikut maju sekian langkah, menyejajarkan diri mereka dengan Juan.     

Otak keduanya masih sulit menalar apa yang terjadi. Pemuda ini ganjil, dan kian ganjil saat dia detik ini dengan wajah seriusnya hendak membidik Rio. Ayah kandungnya, bukankah begitu kenyataannya?.     

Sebab detik ini sangat krusial. JAV dan Wisnu mengikuti ritme pemuda tersebut.     

"Bantu aku," bisik Juan. JAV pendekat samar. "selamatkan mamaku, tolong, fokus pada mamaku,"     

Jav menatap Juan lamat-lamat. "dia tak peduli denganku," mata Juan masih ke depan namun bibirnya berbicara seolah merapalkan mantra tertentu. "pria itu hanya akan mengambil budaknya," ada kegeraman yang mendesis di bibirnya.     

"Kau yakin kau bisa menembakku?" dia sekali lagi tersenyum menghantui.     

"Aku tidak bisa? Kau salah! Kau bisa menendangi ku sesuai kehendakmu! kenapa aku tak bisa?" Juan memantapkan diri mencengkeram pelatuk.     

"Yah! Kau masih saja polos dan bodoh, susah membimbingmu," orang tua macam apa. Tak ada yang bisa menakarnya. Dan Juan telah mati rasa. Dia benar menembak. Benar-benar menarik pelatuk tapi yang jatuh bukan Rio.     

Rio dengan gerakan secepat kilat mencengkeram sisi belakang baju yang dikenakan bodyguard-nya menamengi dirinya dengan pria tambun tersebut. Jadi detik ini yang jatuh di lantai dan bersimbah darah tepat pada dadanya adalah ajudan Rio.     

Dan dia tertawa. Seketika perempuan ringkih di pojok ruangan jatuh dan hanyut.     

Kejadian sekian detik tersebut menjadikan jav dan Wisnu tak lagi menganggap ini biasa.     

"Tolong ibuku!!" pinta Juan, pria itu sekali lagi menembak asal ke arah Rio yang kini bergerak Lincah merundukan tubuhnya, mengais pistol bodyguard nya yang sempat jatuh di lantai lalu .... .... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.