Ciuman Pertama Aruna

IV-186. Meminta Perlindungan



IV-186. Meminta Perlindungan

0"Kita menuju ke satu-satunya rumah yang mustahil di dekati para dewan Tarantula," pinta Juan pada sang pengemudi mobil yang bergegas memacu kecepatan lari kuda besi dalam kendalinya, lebih gesit dari kecepatan sebelumnya.     

.     

.     

Ketukan di pintu penuh kehati-hatian, walaupun ritmenya yang menuntut tak bisa lagi di pungkiri. Pria yang tengah memeluk tubuh mungil istrinya terbangun. Dia bergegas membuka pintu, Herry sudah berdiri di sana. Kedekatan tuan dan ajudan menjadikan Mahendra paham ada sesuatu yang kurang baik sedang terjadi.     

Malam ini sekelompok ajudan di bawah kendalinya tengah menjalani misi. Segalanya bisa saja terjadi. Menguatkan tali piyamanya, sang lelaki bermata biru lekas memacu langkah menuju keluar diikuti Herry. Di pintu utama saat dia berdiri di sana, pada teras utama rumah induk dengan segala ukiran yang melambangkan kedigdayaan pemiliknya.     

Lelaki ini menatap cermat mobil yang dipenuhi goresan, bahkan benturan peluru yang samar menggores tak luput dari pengamatannya.     

Sang tuan muda menoleh pada Herry, "Apa yang terjadi?"     

"Sesuatu di luar dugaan tuan," dan satu per satu penghuni mobil keluar dari dalam persembunyian mereka.     

"Semua baik-baik saja?" Hendra sedikit bingung. Terlebih melihat seorang perempuan di tuntun keluar menuruni mobil yang bentuknya jauh dari kata layak. .     

Langkah Hendra teramati yang lainnya, saat lelaki ini dengan mata terpana lekas menuruni tangga rumah induk, memastikan siapa perempuan yang dibawa bawahannya. Dia datang menghampiri seorang ibu, dia lupakan bahwa perempuan itu adalah ibu Juan.     

Hendra memandang yang lainnya. Dia memandang setiap orang di sekitarnya sebelum menerima kedatangan sang ibu dan menatapnya lamat-lamat.     

Perempuan ini tampak berantakan, kakinya memerah bahkan dia bisa melihat lebam di pergelangan tangannya. Hal pertama yang Hendra ingat detik ini adalah gambaran istrinya. Perempuan itu beberapa pekan sebelumnya juga ditemukan dalam kondisi sekacau ini. Hendra mendekapnya secara langsung dengan tangan kirinya selepas perempuan tersebut berkata lirih: "Tuan, izinkan saya meminta perlindungan."     

"Apa yang terjadi?" suaranya menghempas jiwa-jiwa menunduk di hadapannya.     

"Ibuku," Juan mengangkat wajahnya, "Maafkan aku tuan, kami tak punya tempat lain, selain berlari ke rumah ini," imbuh pemuda itu membalas tatapan mata biru Mahendra.     

"Berlari?"     

"Rio dan orangnya," Jav hendak menjelaskan. Hendra lekas menepuk pundak pemuda tersebut. Mereka terlihat kelelahan. Dan dengan satu nama Hendra tahu pemuda-pemuda ini sudah bekerja keras lebih dari siapapun demi keselamatan jiwa mereka.      

"Ayo masuk," pinta Hendra. Tangan kirinya masih mendekap perempuan yang kini melelehkan air matanya.     

.     

.     

Sepanjang kehidupan mantan asisten rumah tangga yang dijadikan tawanan oleh Rio—ibu Juan—mendengar banyak umpatan dari lelaki yang menyandang nama Diningrat pada keluarga yang kini membuka pintu rumah mereka lebar-lebar.      

Menerima sang perempuan tak berdaya ini tanpa bertanya bahkan tanpa syarat.     

 Ibu Juan sampai detik di mana dirinya telah menginjakkan kaki di lantai rumah mewah tersebut masih belum yakin kini dirinya telah berada rumah induk. Rumah yang selalu di kutuk iblis itu. Benak ibu Juan sempat memikirkan hal-hal mengerikan tentang mereka yang menyandang nama Djoyodiningrat sejalan dengan pemikiran yang dituturkan Rio.     

Kenyataannya segalanya berbeda. Seseorang bermata biru tidak meminta alasan—sedikitpun. Dia malah meminta seluruh pemuda untuk naik ke lantai tiga, dan sejenak menghentikan langkah ibu Juan.     

Punggung lelaki bermata biru sempat menghilang sesaat, dan ketika datang terdapat ada dua asisten yang dulu sama dengan statusnya. Pada gestur yang mereka tunjukan terlihat jelas bahwa dua orang ini adalah pelayan di rumah induk.      

"Kalian ingat kamar untuk gadis yang pernah dibawa kabur Juan?" dua asisten mengangguk. "Bawa ibu ini ke kamar itu, dan penuhi semua kebutuhannya," dia berbicara dengan nada sopan, walaupun isi kalimatnya adalah perintah.     

"Selamat istirahat, jangan pikirkan apapun, tidurlah yang nyenyak," pesan itu mengalun bersama tiga perempuan yang berjalan menaiki tangga dimana salah satunya tentu saja ibu Juan.     

***     

"Aku tak mengerti, kenapa make up barbie begitu tebal hari ini," siapa pun yang melontarkan ejekan itu. Demi Tuhan, Bianca tak ingin mendengarnya. Si perusak suasana hati, tak lain adalah Tiara Sushmita Salim. Andai pagi ini ada guntur yang menyambar di langit. Bianca berharap salah satunya mampu melenyapkan si pengganggu satu ini.     

Sesuai kebiasaannya Bianca melempar sehelai rambut yang merupakan poninya ke sisi samping lalu menyelinap pada daun telinga.     

"Apakah kamu sedang memberiku tutorial mendapatkan hati para lelaki?" kembali mulut pedas Tiara memanaskan hatinya.     

"Terserah kamu mau bicara apa aku tak peduli," balas Bianca.     

"Tapi kamu akan peduli dengan berita yang aku bawa."     

"Apa?" Bianca menatap Tiara.     

"Tuh kan... kamu tak akan bisa lepas dariku, akui saja kita dekat satu sama lain. Kita berdua berada dalam zona yang sama."     

"Jangan bilang, zona penerus dewan Tarantula dengan status 'perempuan' ?", Bianca menduga.     

"Absolutely," tangan Tiara bergerak, membuat tembakan khayalan pada Bianca.     

"So, what happened?"     

"Sepertinya aku akan kembali pada Key, Ups!" Ucapan Tiara menjadikan lawan bicaranya tersentak sampai lipstick di tangan menggores tempat yang tidak seharusnya, "hahaha," perempuan ini tertawa terbahak-bahak.     

"Kau yakin?"     

"Ya, tentu!"     

"Lalu Heru?"     

Tiara mendekatkan bibirnya pada telinga Bianca. "Semalam ada tragedi di klub nya," padahal tidak ada siapapun di dekat mereka.      

"Panggung DJ jatuh?" duga Bianca. "Semua tahu tentang itu,"     

"Para peserta sayembara yang perburuan Rey mengirim sinyal."     

"Bentar aku belum paham," Bianca enggan menerima informasi sepotong-sepotong.     

"Kau ini, berhenti membenarkan lipstikmu! Ini tentang masa depan kita," gertak Tiara.     

"Aku rasa kali ini tentang masa depanmu, bukan aku,"     

"Tapi kau ingin tahu?" Bianca mengangguk, menurunkan lipstiknya. "Saat orang-orang Key membantu penyelidikan kejadian semalam, barang-barang Rey ditemukan pada red room, di klub malam Heru," kalimat terakhir di tekan oleh sang pembuat pernyataan.     

"Aku rasa jika benda itu ada pada Heru, pasti dia tak menyembunyikannya di tempat semudah itu," Bianca mengumbar pemahamannya.     

"Sudah aku bilang sebelumnya, para peserta sayembara yang mengirim sinyal. Mereka juga menembak pintu kantor Key, sampai melukai salah satu resepsionis."     

"Bagaimana bisa kita serta Merta yakin? Bahwa pengirim semua sinyal tersebut para peserta sayembara?"     

"Huuuh! Bianca!, Salah satu dari mereka ada yang mengaku," Bianca terdiam dan tak lagi bertanya.     

Sampai dorongan di hatinya kembali mengusik isi kepala Tiara. "Apakah kejadian semalam sudah bisa dijadikan bukti? hilangnya Rey adalah rekayasa Heru?"     

"Ya, aku juga belum yakin. Segalanya masih proses penyelidikan, tapi yang paling penting putra paman Rio kini memihak Key,"      

"Gibran maksudmu?"     

"Lalu siapa," jengkel Tiara.     

"Oh, ya Tuhan aku jadi ingat, harusnya aku sudah berangkat," pekik Bianca.     

"Kamu akan pergi kemana?"     

"Menemui orang tampan, lebih tampan dari Key atau Heru." Perempuan dengan bulu mata lentik dan mata bulat lebar tersebut tersenyum penuh arti. Berjalan riang meninggalkan Tiara yang kebingungan menebak—Gadis barbie satu ini sedang membidik Ken yang mana.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.