Ciuman Pertama Aruna

IV-187. Pepatran



IV-187. Pepatran

0"Mama..", Juan memanggil ibunya. Matahari sudah naik namun perempuan tersebut terlihat masih tertidur lelap. Sang putra menyentuh dahinya. Ada rasa panas di sana. Pertanda sang ibu tidak baik-baik saja, menjadikan pemuda itu bergegas mengambil langkah menuju ke lantai bawah, dia mencari pertolongan.     

Hari ini rumah induk tertangkap lebih ramai dari biasanya. Ruang tengah yang mirip ballroom dengan berbagai ornamen termasuk kursi kulit italy sedang di duduki orang-orang asing. Mereka membawa kamera, microphone, lighting, tripod bahkan clapper board [1].     

Lavalier microphone juga terpasang pada dia yang terlihat lebih modis dari yang lainnya. Wajah perempuan yang tengah dirias tersebut terlihat sama sekali tidak asing. Juan sepertinya agak lupa bahwa perempuan yang detik ini mengenakan setelan blazer putih dengan celana kain yang sama putihnya ialah Tania.     

Tania menatap pemuda yang mengamatinya. Selepas itu dia tersenyum menyapa. Juan membalas sekilas, sebelum kembali memacu langkahnya. Pemuda ini berjalan sambil berlari hingga tanpa sengaja perempuan paruh baya hampir mendapatkan hantaman tubuhnya.     

"Oma, minta maaf," pemuda ini menundukkan punggungnya berulang dengan tangan memegangi dadanya yang memang terasa nyeri. Hantaman senjata laras panjang yang di hadiahkan ayahnya terasa amat sangat ngilu pagi ini.     

"Juan?", mata perempuan paruh baya itu terbuka lebar menyapa cucu jauh suaminya. Suaranya lembut dan senyumnya hangat. Juan hendak membuka mulut meminta sang oma untuk membantu dirinya. Dia butuh bantuan amat sangat detik ini. Namun kalah cepat dengan seruan sang oma yang memanggil kru tv di belakang punggung Juan.     

"Tania, bawa kemari teman-temanmu, ayo sarapan dulu. Oma masak banyak sekali". Nenek tua itu masih menyandarkan tangan kirinya di lengan kanan Juan. Namun telapak tangan kanannya berayun memanggil orang-orang di ruang tengah dengan gerakan bersemangat.     

"Kau juga," bisiknya pada Juan. "Ayo nak." Dia menepuk lengan kiri Juan dua kali, sebuah cara implisit memberi tahu dia -Juan- harus mengikuti permintaan sang nyonya besar keluarga Djoyodiningrat.     

Sayangnya permintaan Sukma tidak mendapatkan sambutan, padahal kru tv mulai lalu lalang termasuk Tania yang memeluk hangat nenek Sukma.     

"Tania, kamu bawa teman-temanmu. Jangan malu-malu, katakan kalau memang butuh sesuatu. Tania berjalan menuju lorong yang mengarah pada dining room keluarga Djoyodiningrat. Tatkala Sukma memilih berbalik dan menemui pemuda yang enggan bergerak. "Ada apa?" dia yang berucap, berbisik lirih.     

"Maafkan saya,"     

"Sudah... katakan saja,"     

"Semalam saya datang dengan ibu saya dan sekarang kondisinya..." ragu berucap, seseorang yang telah menjalani asam garam kehidupan lebih lama dari pemuda di hadapannya mendesak.     

"Dimana ibumu, Juan?". Juan belum punya kesempatan menjawab tatkala Sukma kembali menyuarakan pertanyaan berikutnya, "Kamar yang mana?"     

"Lantai tiga," dan dengan gesit sang Nyonya memanggil asisten rumah induk, memanggil suster yang biasa menjaga Aruna. Membawa sekelompok orang naik ke lantai tiga.     

"Juan, pinta teman-temanmu, atau entah siapa saja yang sekarang tinggal di rumah ini, sarapan." Sukma mendorong pemuda tersebut, "Biar aku yang mengurus ibumu," dan Juan mengangguk ringan- mengiyakan.     

Giliran pemuda ini telah turun kembali, dia penasaran dengan aktivitas apa yang sedang dijalankan para kru TV di rumah ini. Mengintip sejenak ke dalam kamar utama yang detik ini telah dimasuki beberapa orang dari kru TV. Juan melihat persiapan penataan kamera dan sejumlah Lighting yang berjejer rapi. Sejalan kemudian seorang perempuan bergaun putih di pondong tuannya keluar dari pintu yang tersaji pada kamar tersebut.     

Juan tanpa sadar sedang bersandar di pintu kamar saat dia mendapati gerakan hati-hati kakak sepupunya meletakkan tubuh istrinya. Sesekali wajah meringis perempuan itu terlihat, saat lebih dari satu asistennya, membantunya terbaring di atas ranjang.     

Perutnya besar dan dia terlihat kesulitan dengan keadaannya. Juan melintasi ruang dan waktu menemukan kalimat-kalimat pahit yang sering kali dia dengar bahwa keluarga ini dan seluruh keturunannya layak di habisi.      

Namun kenyataannya mereka yang di ujung pandangan lebih terlihat sempurna dari pada keluarga aslinya.     

"Bisa anda minggir sebentar,"     

"Oh' iya.."     

.     

.     

"Hari ini seperti yang kami janjikan," Tania mengambil nafas dan menghembuskannya, ia duduk pada kursi bertemakan ukiran Pepatran -ukiran yang mengusung elemen-elemen alam berupa tumbuhan pada polanya; seperti kelopak bunga, dedaunan, hingga kuncup dan berbagai pola rempah-rempahan- tak hanya memiliki motif yang indah dan unik, motif pepatran juga memiliki makna yang dalam. Pepatran sendiri punya arti perlindungan kepada manusia dari rasa takut, panas, haus, dan lainnya. Dengan harapan bahwa penghuni kursi kayu yang dihiasi motif pepatran akan merasa nyaman dan aman.     

Opa Wiryo yang menyiapkannya. Aruna tidak menyangka pria tua keras kepala tersebut ikut andil pada wawancara yang harus dia hadapi. Sang klasik yang unik. Seunik caranya meminta setiap helai kain yang terlihat, bersimbol bunga lily. Aruna jadi curiga, sulur bunga lily pada kain yang konsisten melapisi ranjang dia dan suaminya adalah kehendak Tetua.     

Sampai-sampai sulaman sarung bantal di punggung Tania pun adalah motif bunga lily.      

"Saya, Tania. Secara khusus akan memandu acara bincang-bincang kita tentang perempuan dan.." dia mendesah dengan mata menyipit mengundang rasa penasaran atas senyumnya, "Tamu kita hari ini tidak kita datangkan ke studio, melainkan saya dan kru yang mau tidak mau menghampiri langsung di kediamannya," tangan Tania bergerak seiring penjelasannya yang dipenuhi energi.     

"Saya tidak tahu harus berkata apa, saat ini saya begitu tersanjung, diizinkan berada di kamar pribadi yang super menakjubkan," kameramen kedua mengambil gambar sekeliling. "Jadi, daripada anda lelah menunggu, silakan lihat dua orang di samping saya," dan kamera utama yang awalnya menyorot penuh Tania kini bergeser pada Aruna yang tertangkap berbaring, walaupun beberapa bantal diupayakan menyangganya supaya terlihat sedang duduk.     

Aruna mengangkat tangannya yang tak memiliki luka. Dia melambai pada kamera sejalan dengan pergerakan benda penangkap gambar tersebut bergeser pada lelaki yang detik ini duduk di sebelah kiri keberadaan Aruna. Hendra duduk pada separuh ranjang. Dengan sebelah kakinya yang menyentuh lantai dan sebelah lainnya di tekuk menaiki ranjang.     

Sesuai janji pria ini dia akan menemani wawancara sang istri. Melambaikan tangan mengikuti gerakan Aruna, Hendra menoleh pada Tania yang melempar tanya padanya: "Apakah aku perlu menjelaskan siapa dirimu sobat?" Hendra tak menjawabnya, dia tertawa.     

"Aku rasa hari ini artisnya adalah istriku, jadi biarkan aku duduk damai," balas Hendra mencairkan suasana. Kru di hadapannya bahkan Tania tampak tegang saat ini. Anehnya Aruna yang awalnya terlihat keberatan tak menunjukkan ekspresi apa pun kecuali aura perempuan hamil yang menawan hari ini.     

"Sebelum aku bertanya lebih jauh. Bolehkah saya bertanya, apa konsep kamar ini?"      

.     

.     

[1] Clapper board adalah sebuah papan dari bahan kayu yang digunakan untuk membantu sinkronisasi gambar dan suara serta untuk memilih dan menandai suatu adegan tertentu selama berjalannya proses produksi. Lebih mudahnya disebut pertanda memulai sebuah adegan, dalam hal ini adalah proses syuting.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.