Ciuman Pertama Aruna

IV-191. Terhenyak Sesaat



IV-191. Terhenyak Sesaat

0Mahendra datang ke kamar, menemui istrinya. Memberi pelukan hangat dan sebuah kecupan di pelipis Aruna.     

"Kenapa wajahmu cemberut sayang?"     

"Kenapa suamiku menyerobot wawancaraku?"     

"Jadi kamu cemberut karena ini? Apa yang harus aku lakukan supaya istriku berhenti menekuk bibirnya?" Dia yang bertanya mengusung gerakan halus. Perut besar istrinya selalu menggoda untuk di raba.     

"Jangan mengangkat gaunku, itu terlalu vulgar!" Aruna marah dan menatapnya secara lugas.     

"Bagaimana aku bisa menghentikan tanganku? Dia bergerak sendiri," pria ini hanya membuat alasan. Walaupun terkesan menjengkelkan akan tetapi tak ada peringatan yang mampu membautnya berhenti.     

Dia mengecup perut tanpa pelapis kain, sebelum berdiri dan mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya.     

"aku senang, akhirnya, usai sudah,"     

"Apa ini?" tanya Aruna.     

"Pesta yang tertunda," Hendra mengulurkan tangan kirinya pada sang istri, tidak meninggalkan permukaan kulit yang menggembung —terisi calon bayi yang siap lahir dalam hitungan minggu— dengan masih mengusap-usapkan tangan kanannya di permukaan kulit sang istri.     

Hendra menyentuhkan bibirnya pada ujung bulatan mungil yang berada pada tengah-tengah perut, pusar itu dia mainkan dengan hidungnya.     

"Pesta 3 tahunan yang bergeser lebih dari satu tahun, akhirnya," Aruna mengangkat undangan berwarna coklat doff, tali emasnya terurai, menggantung.     

menegakkan punggungnya sembari membuat tarikan pada gaun sang istri Hendra menutup perut yang terbuka disebabkan tindakan nakalnya.     

"Dan Istriku bakal mendampingiku,"     

Sepasang alis hampir menyatu tatkala mendengarkan kalimat Mahendra.     

Bagaimana cara dirinya datang? Bahkan ia Sendiri tidak Di ijin kan lama-lama berdiri. Gumam Aruna untuk dirinya sendiri.     

"Jangan khawatir sayang, aku sudah konsultasi dengan doktermu," tubuh yang duduk di ranjang itu bergeser lebih dekat. "pesta dilangsungkan di ballroom Djoyo Rizt hotel, segala kebutuhanmu, keamananmu dan baby kita, termasuk segala risiko terkait kesehatan, akan aku upayakan seminimal mungkin,"     

Aruna belum mampu menyuarakan isi hatinya dia lebih tertegun terhadap ekspresi penuh keyakinan yang diusung Mahendra.     

"segalanya bakal aku diskusikan dengan timku, kupastikan kamu hanya muncul sejenak, dan itulah inti pestanya, memberitahu siapa pun bahwa istri Mahendra siap menjadi nyonya Djoyodiningrat di depan publik." Tangannya meraba rambut yang tergerai, sejalan kemudian memungut ujungnya dan menyesapnya.     

Hendra kadang kala melakukan hal tersebut tatkala ia ingin mengungkapkan rasa terima kasihnya selepas beradu peluh, mendapatkan pemenuhan hasrat.     

"Aku tak yakin," ujar Aruna, Hendra sempat membuka bibirnya sebelum telunjuk menekan mulut yang hendak bersuara.     

"aku tidak yakin, tapi bukan berarti aku menolak permintaanmu. Beritahu aku ketika semua persiapanmu usai, aku akan menilainya, apakah harapanku sesuai dengan keamanan dan kenyamanan yang kau tawarkan? Jika iya, Baru aku memilih untuk hadir atau tidak," pelan-pelan menjelaskan. Supaya lelaki bermata biru di hadapan Aruna tidak lekas kecewa.     

"sepakat," tukas Mahendra menyetujui. Sebelum akhirnya berdiri dan membalik tubuhnya mengarah pada pintu.     

Mahendra yang bergerak satu langkah berhasil diraih bajunya oleh sang istri.     

"mau ke mana kamu?"     

"bekerja, memenuhi permintaan istriku," jelas Hendra setengah membalik badan mengarah kepada Aruna.     

"seandainya kamu punya keinginan memenuhi permintaan istrimu, sebaiknya kalau lepas sepatumu, dan duduk di sampingku," minta Aruna.     

Mahendra terkekeh ringan, "Apa ini istriku? Setahuku dia bukan tipe perempuan yang punya kebiasaan menghentikan aktivitas,"     

"aku sedang mengimani pernyataan bahwa aku layak dimanja," suaranya ketus, "jadi tolong pijat bungkuk, kau ngidam" Aruna memiringkan tubuhnya dan menunjukkan keberadaan punggungnya.     

Sekali lagi tawa terdengar dari bibir Mahendra. "Thomas menungguku di luar dia punya janji lain selain jadwal menemuiku, beri aku waktu 10 menit,"     

Menyadari Mahendra menyuarakan penolakan terhadap permintaannya. Aruna merah batal di sisinya dan melemparkannya. Pria bermata biru menggeser posisinya berdiri dengan satu langkah kaki mengarah ke arah kanan hingga yang di dapatkan Aruna sekedar bantal menyentuh lantai.     

Bunyi buk menampakkan Kekalahan yang nyata.     

"bersabarlah sayang, hanya 10 menit, tidak lebih,"     

.     

.     

"Maafkan aku tuan, Oma Sukma meminta saya.. em.." mengambil makanan, "saya tak bisa mengelak, dia mendesak, jadi saya kewalahan oleh rayuannya," harusnya Thomas saat ini duduk di ruang kerja Mahendra.     

Kenyataannya ia malah berdiri mengelilingi meja yang menyajikan makanan. Dengan cekatan mengisi piring kosong, Thomas memenuhi piringnya dengan berbagai jenis makanan, duduk di meja makan hendak menyantap apa yang sajikan perempuan paruh baya. Nyonya rumah yang tertangkap sedang bersemangat.     

"letakkan itu dan mari kita bicara, aku hanya punya waktu 10 menit," tegas Mahendra.     

"Hendra! Kau mengganggu seseorang yang sedang makan, itu tidak sopan," ini suara Sukma yang menangkap kalimat cucunya.     

"Nyonya, dia ke sini sebagai tamu saya, jangan persulit jadwal kerja kami," Mahendra membalas pernyataan neneknya.     

"lanjutkan makan nak!" Sukma mempertahankan pendapatnya. "laki-laki yang sedang makan tidak akan menghabiskan waktu lebih dari 5 menit,"     

"waktu saya hanya 10 menit,"     

"aku tidak peduli," balas Sukma. Hendra hanya bisa mendesah, terimpit permintaan para perempuan keras kepala.     

Akhir-akhir ini ia merasa perempuan-perempuan di rumah Induk tertangkap begitu dominan. Entah bagaimana menjinakkan mereka. Tapi itu lebih baik daripada mereka memendam perasaan.     

Sebab perempuan paruh baya itu masih mengawasi Thomas. Hendra memilih meraih kursi dan duduk di dekat pemuda berambut platinum.     

"Apa yang ingin kamu sampaikan padaku, mari kita bicarakan di sini saja," Pinta Mahendra.     

"Anda mengenal Bianca?" tiga buah garis tercipta di antara alis, "putri Adam,"     

"Oh," garis di antara alis terurai. Tampaknya lelaki bermata biru mengingat nama itu.     

"dia datang pada saya, meminta saya menjual kembali taman hiburan. Seperti perintah anda sebelum-sebelumnya, apa pun yang mereka jual harus kita beli, saya Membelinya beberapa bulan lalu,"     

"aku senang mendengar pencapaianmu, jangan lepaskan taman hiburan itu, kecuali mereka mau membelinya lima kali lipat dari harga beli kita sebelumnya,"     

"Hilangnya Rey, mengakibatkan perusahaan digital terbaru mereka kalang kabut, Rey penanggung jawab utama, dia menghilang tanpa mengalih tugaskan apa apa yang dia susun, kondisi mereka sedang di grafik yang tidak baik," Thomas mendorong piring berisi makanan miliknya, piring di upayakan menjauh, mengumpulkan fokusnya untuk berdiskusi dengan lelaki bermata biru, "dan entah apa yang terjadi, kakak ipar anda menjadi target, ia sedang di dekati,"     

"Anantha?"     

"Iya tuan," Thomas mengangguk dua kali.     

"kakak iparku yang sekarang jauh berbeda, dari dirinya yang dulu,"     

"kabarnya, pendekatan mereka sampai mengganggu Calon istri Anantha,"     

"oh, aku belum mendengar kakakku akan menikah," mendesis tak percaya, "kapan Raka dan timnya kembali ke kota ini? Dia Harus mempersiapkan satu sampai dua orang untuk menjaga kakakku," maksud Mahendra membuntuti Anantha, memastikan kakak istrinya baik-baik saja.     

"Raka dan Timnya akan kembali sehari sebelum pesta perusahaan Djoyo makmur grup," Thomas menoleh ke beberapa arah mencari di mana letak tas kerjanya.     

"tolong ambilkan!" Hendra meminta seorang ajudan perempuan yang melintas untuk mengambil barang Thomas, tas tersebut berada di meja lain, pada seberang tempat duduk mereka.     

Ajudan berambut panjang itu lekas memenuhi permintaan tuannya. Menuju pada tas berwarna hitam, sebelum berjalan mengelilingi meja makan, dan gadis tersebut mendapati seseorang menatapnya.     

"hutang permintaanmu sudah aku penuhi, apakah kau siap menjalankan strategi perang kita?" Hendra mengunggah Thomas.     

Terhenyak sesaat, "tentu saja tuan,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.