Ciuman Pertama Aruna

IV-190. Merebut Popularitas



IV-190. Merebut Popularitas

0"Woow, penutup yang sangat indah untuk didengar." Tania menutup wawancara-nya dengan ekspresi berkali-kali lipat lebih cerah.     

.     

.     

"Anda diselamatkan suami anda, Nona." Gadis dengan rambut panjang yang terikat kebelakang tersebut, datang sebab di minta Aruna hadir, "Mengapa anda tidak terlihat senang?"      

"Dia mengambil popularitasku!" Aruna menunjukkan komentar pedas yang terdapat pada official sosial media suaminya. Ungkapan pemujaan yang berlebih, dan perempuan ini merasa terganggu.      

'Dia sangat tampan, tapi istrinya terlihat pemalas.'      

'Ya, terlalu dimanja.'      

'Dia juga sedikit gendut.'      

'Kalimat penutupnya menggetarkan hatiku.'      

'Tapi istrinya bahkan tak lebih cantik dari pembawa acara.'      

'bla bla bla.' Kihrani membacanya selepas menerima handphone Aruna.      

"Anda tak perlu membacanya, itu semua hanya sampah." Gadis tersebut membuat hinaan dengan bibir lincah dan dia berhasil mendorong perempuan di hadapannya mematikan layar handphone.      

"Kamu tidak penasaran mengapa aku memanggilmu?" Kihran menggelengkan kepala. "Aku ingin mengetahui perkembangan Rey dan kasus yang melibatkan aku". Ajudannya tampak kosong, dan perempuan bermata coklat kembali membeberkan harapannya, "Aku tahu kamu dekat dengan Vian, tolong temui Vian untukku. Aku sudah memintanya membuat reservasi makan malam di resto Djoyo Ritz Hotel. Datanglah kesana dan ambil salinan laporan yang sudah disiapkan untukku."      

Kihrani tidak yakin, akan tetapi perempuan yang detik ini mendorongnya memenuhi permintaan sepihak tersebut terlihat tidak sedang bercanda, atau menarik ucapannya.      

Dalam benak Kihrani, Aruna adalah seorang perempuan yang memiliki karakter berbeda dari gambaran luarnya. Jiwa terdalamnya seolah kontras dibandingkan ungkapan lemah lembut atau penurut. Nonanya, yang akhir-akhir ini kian dekat dengannya, kadang kala lebih mirip sebagai gadis tomboy, pemberani dan pantang menyerah.      

"Kenapa anda tidak bertanya pada Tuan?"      

"Kamu pikir dia bakal berkenan membuka informasi untukku?" tersekat, memahami watak suaminya, "Dia selalu memasang kacamata kuda untukku dan hanya yang baik-baik saja yang di tunjukkan padaku," wajahnya berubah muram. "Semua orang di rumah ini tahu itu."      

Kihran tidak punya kewenangan untuk menolak, untuk itu gadis ini mengangguk.      

***     

"Kamu bisa jalan-jalan di luar. Kamu bisa meminta makan di lantai bawah. Anggap rumah sendiri." Selepas para suster keluarga meninggalkan ibu Juan. Oma Sukma masuk ke dalam kamar yang dijadikan tempat istirahat perempuan tersebut.      

Sekali lagi dia begitu tersentuh dan bingung atas kebaikan kontras yang ditunjukkan keluarga Djoyodiningrat. Ibu Juan sempat membayangkan perempuan yang tinggal di rumah mewah ini dan menyandang nama kedigdayaan mereka 'Djoyodiningrat' adalah perempuan yang tidak ada bedanya dengan Nyonya Julia.      

Seseorang yang dulunya ialah Nyonya-nya. Perempuan menakutkan dengan segala kemisteriusan-nya.      

"Terima kasih, Nyonya," lirih ibu Juan.      

"Panggil aku Sukma. Atau kalau aku memang terlihat terlalu tua, kau boleh memanggilku Oma Sukma." Ibu Juan tersenyum melihat binar mata hangat dari perempuan yang detik ini punya rambut disanggul cantik ke belakang.      

Gerak-geriknya sangat halus, aura wajahnya ramah dan matanya berbinar.      

"He he, anda masih cukup cantik untuk saya panggil Oma, tapi saya mustahil memanggil anda dengan nama. Bolehkah saya tetap memanggil anda dengan Nyonya Sukma?"      

"Ah.. aku sangat kecewa mendengarnya." Dua orang perempuan yang duduk di tepian ranjang saling memandang sebelum tersenyum canggung satu sama lain.      

"Oh, saya lupa memperkenalkan diri. Panggil saya Mia," ujar ibu Juan.      

"Nama yang cantik." Sukma menepuk punggung Mia, "Baiklah Mia. Istirahatlah, buat dirimu nyaman." Sukma belum beranjak saat anak muda menyusup ke kamar ibunya dan membawa pesan untuknya: "Oma, kru TV sudah menunggu untuk pamit,"      

"Secepat itu mereka?" terkejut dan berdiri perempuan itu berjalan di ikuti ajudannya, Susi.      

.     

.     

"Gesang, aku mendengar semua orang di rumah ini memanggilmu Juan." Juan duduk di dekat ibunya yang sedang menyuguhkan pertanyaan implisit.      

"Apakah itu bagus? Nama yang di hadiahkan Tetua Wiryo padaku."      

"Oh' jadi di rumah ini seseorang yang tak layak di sebut namanya.." dia tak menyelesaikan kalimatnya.      

"Ini rumahnya, Ma. Dan Mama tak akan percaya, Tetua tidak seperti yang digambarkan Rio, nenek Julia atau siapa pun."      

"Ah, kau membuatku penasaran." Juan terkekeh, sejalan dengan kesadarannya merasakan sesuatu yang menyakitkan di dada, saat tubuhnya bergerak mengikuti ritme tawa.      

Sang ibu lekas menarik baju putranya, begitu sedih melihat dada putranya. Anak ini punya banyak luka yang dia sembunyikan dengan hoodie-nya. Luka yang ke semuanya diciptakan oleh ayah biologis-nya sendiri.      

Menyakitkan. Saat ingat betul bagaimana Rio akan memukul putranya, kalau perempuan yang di dalam kurungan yang tak lain adalah Mia sendiri, tidak menuruti kemauannya.      

"Sudah. Ma.." Juan menutup bagian tubuhnya. Tanpa disadari dia mendapatkan dekapan hangat sang ibu.      

"Maafkan ibu. Ibu memilih melahirkanmu dan kau hidup menderita karena ibu."      

"Ma.. itu semua sudah berakhir," tukas Juan menghentikan keluh kesah ibunya. Sejujurnya pemuda ini tidak tahan dengan tangis dan rintihan sang ibu.      

"Asal Mama tahu, di rumah ini Gesang bersembunyi lebih dari satu tahun, dan nuansanya begitu.. yah.. Mama bisa menilainya sendiri nanti." Juan mengangguk-angguk, meyakinkan dunia mereka yang baru adalah harapan yang lebih baik dari hari-hari kelam sebelum hari ini.      

"Bagaimana kita membalas kebaikan mereka?"      

"He he," Juan tertawa, tapi diupayakan seringan mungkin. Supaya sesuatu di dadanya tidak menimbulkan nyeri. "Itu urusan Juan, jangan pikirkan."      

Juan hampir tak yakin ibunya memeluknya sekali lagi. Mungkin ini adalah penebusan seorang ibu yang kehilangan masa kecil putranya. Kehilangan saat-saat dimana dia seharusnya memeluk bocah kecilnya.      

***     

"Jadi ini rumahnya?" seorang lelaki baru saja keluar dari dalam mobil silver mereka.      

Berjalan hati-hati mendekati salah satu rumah dari jejeran cluster mewah.      

"Beberapa rumah di cluster ini adalah milik para pekerja dengan strata tertentu di Djoyo Makmur Group." Pay kembali memeriksa layar handphone-nya. "Kita sudah menyelidikinya Sedetail mungkin. Tidak salah lagi, Leona tinggal di sini. Dituliskan dia punya kakak bernama.." Kalimat Pay terhenti, "Tidak ada keterangan kakaknya bernama siapa? Tapi dia pernah tinggal di sini selama Leona sempat kembali ke Milan." Pay tersentak tatkala lelaki yang dia antar sudah memencet bel rumah. Sebelum sang ajudan yang diberi mandat mengiringi lelaki bersurai hitam tersebut memastikan keamanan tuannya.      

"Belum saatnya bertamu," Pay sigap menarik siku tuan muda.      

"Kenapa belum?" tuan muda itu marah. Melepaskan jerat tangan Pay dan dia kembali memencet tombol di samping pintu gerbang.      

"Tuan, semua orang yang berhubungan dengan Djoyo Makmur Group, terlebih mantan seseorang yang pernah bekerja di lantai D, merupakan anak-anak angkat 'Dia yang tidak kita sebut namanya'."      

"Anak angkat Wiryo," tukas pria yang masih enggan beranjak dari depan pintu gerbang rumah Leona.      

"Iya.. mereka sangat patuh.."      

[Siapa di luar??] Suara terdengar dari sebuah alat di atas bel pintu.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.