Ciuman Pertama Aruna

IV-194. Pilihan



IV-194. Pilihan

0 Dua orang berada di tempat yang sama, salah satu dari mereka sibuk menggerakkan lingkaran hitam pengendali kuda besi, sedangkan yang lainnya memainkan handphone pada kursi penumpang. Keduanya hening tersita oleh kesibukan masing-masing, sesekali saling mencoba melihat akan tetapi belum sempat saling bertautan pandang.     

"Apa yang kamu kerjakan di Djoyo Ritz Hotel?", si pria memutar kemudi ke arah kanan, mobil berbelok menuju arah yang mereka tuju sebelum kembali melesat menembus kota yang perlahan kehilangan cahaya mentari.     

"Oh' mengambil titipan nona",     

"Hanya itu?",     

"Iya," Kihran memasukkan handphone-nya ke dalam tas selempang yang menggantung pada bahunya.     

Lelaki yang tengah mengemudi mengangguk, memberi balasan atas kata yang diutarakan gadis di sampingnya.     

"Aku tahu dari adikku, kamu datang beberapa kali ke rumah kami,"     

"Iya, dua kali. Dan kita tak juga bertemu," pria berambut platinum ini menoleh. "Tapi aku masih bisa merasakan sarapan pagi di rumah itu."     

Gadis ini tersenyum samar, "Kau pasti kesulitan memakannya," terlalu sederhana.     

"Aku datang karena merindukan suasana sarapannya," Suara ini terdengar seperti gumaman.     

"Bagaimana.."      

"Bagaimana.."      

Kalimat dua orang datang secara serempak, "Silakan lebih dahulu,"     

"Kau saja," si lelaki mempersilahkan.     

"Entah mengapa kata-kataku hilang," ujar Kihrani yang menjadikan pengemudi di sampingnya kehilangan minat menatap jalanan di depan dan memilih mencuri lihat.     

"Apa kamu suka kembali ke rumah induk?"     

"Tentu saja," Kalimat ini menyambar pertanyaan yang baru saja lengkap di utarakan.     

Desir itu entah milik siapa, tapi mereka mencoba disembunyikan serapat-rapatnya.     

"Baguslah," kemudian ada senyum yang tersungging di ujung bibir. Senyum misterius yang tak dapat dicerna dari mana dan mengapa ditunjukkan oleh pemiliknya.     

"Aku tak yakin, untuk bertanya," sang lelaki yang baru tersenyum kembali berujar, "Bagaimana hubunganmu dengan Vian? Aku dengar kamu dan dia banyak menghabiskan waktu bersama?"     

"Baik, dia memberiku pekerjaan, kami adalah hehe," ada tawa dalam ucapan si perempuan.     

"Pasangan kekasih?", duga sang lelaki.     

"Itu terlalu berlebih, aku bukan orang yang memiliki keistimewaan dengan menghabiskan waktuku untuk memiliki pasangan. Kamu pasti tahu maksudku," perempuan ini melempar pandangan kosong ke arah jendela. Jalanan menuju gelap perlahan menawarkan nyala lampu kota metropolitan.     

"Kalian terlihat..."     

"Aku tidak mengerti kenapa semua orang berpikir aku dan Vian memiliki hubungan spesial," dia yang menatap lampu jalanan memotong kalimat seseorang yang diam-diam meliriknya.     

"Putri Mayang Sari sudah di beri harapan hidup dan terbebas dari gua yang gelap. Haruskah dia menemui pangeran Empang Kuala dan memberitahu bahwa dia masih hidup? lalu kisahnya akan berakhir seperti cerita Cinderella?", ini kalimat sang perempuan yang enggan memindahkan tatapannya dari jalanan. Hal lain yang dia lakukan adalah membuka jendela kaca dan menikmati desiran udara yang menari menerpa wajahnya.     

"Kisah di dunia nyata kadang tak setragis hikayat lama, akan tetapi juga tak seindah cerita dongeng anak-anak," lelaki itu berujar. Sembari memelankan laju kuda besinya berharap waktu akan sedikit lebih panjang dari perkiraan.     

"Andai bersama Vian bisa mewujudkan dongeng menjadi nyata, aku pikir kamu.. em... mencobanya," kembali si dia yang berambut platinum berujar.     

"Aku tidak pernah dibacakan dongeng, masa kecilku tak seindah itu walau aku punya orang tua.. harusnya lengkap," sempat mengambil nafas dalam, "jadi sepertinya aku tak memiliki gambaran apa pun tentang kisah putri cantik yang hidup bahagia selamanya," dia menoleh pada sang pengemudi. Pria yang sedang bertukar pikiran tanpa arah dengannya. Pria yang detik ini tersenyum samar tanpa bisa di nilai apa maksudnya. "apakah bisa lebih cepat?"      

"Jalanan sedang padat, cepat atau lambat hasilnya akan sama," dan keduanya sempat hening lama.     

Sampai sang pria memecah kebekuan di antara mereka : "Apapun pilihanmu aku akan selalu mendukungmu."     

"Pilihan??"     

"Ya, pilihan menemui Empang Kuala atau memilih jalan hidup lain, seperti dongeng putri cantik, mungkin," mobil telah terhenti di depan lobi. Gadis itu turun dari mobil, gerakan menutup pintu sangat lambat. Selambat dia yang hendak berucap namun tertahan di tenggorokan.      

"Terima kasih atas tumpangannya,"     

"Hanya itu?", pemuda itu memiringkan wajahnya dan memaksa tatapan yang enggan jatuh padanya kini mau tak mau terangkat. Saling bertautan mata, sesaat sebelum kalimat lain datang.     

"Dan untuk semuanya. Semua bantuanmu," dia yang mendapati ungkapan terima kasih samar dan hampir tak terdengar kembali tersenyum. Senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.     

Hingga pintu tertutup dan raut muka itu berubah seketika. Sejalan dengan roda berputar cepat dan langkah kaki lambat berubah lari kecil untuk melarikan diri.     

***     

"Aku menunggumu! Kamu lama sekali! Apakah motormu mogok?"     

Alih-alih mendengarkan kalimat Vian, Kihran yang baru memasuki ruang makan VVIP lebih banyak mendongakan wajahnya mengamati interior ruangan.     

"Hai!"     

"He he," dia tersenyum malu menyadari tindakannya. Vian sudah duduk nyaman di sana dengan penampilannya yang lebih rapi dan 'mengapa dia?'     

"Ada apa dengan dasimu?"     

"Dasiku?", pria ini menyentuh dasi kupu-kupu di lehernya, "Aku pikir aku terlihat lebih manis dengan benda ini," dan pria itu lekas menariknya lalu memasukannya ke dalam saku jas-nya.     

"Aku tidak bilang itu buruk," Kihrani bingung dengan tindakan spontan yang ditunjukkan oleh Vian.     

"Aku yang merasa aneh, jadi ku lepas," mata sendu itu menyipit, "Duduklah."     

Dan perempuan yang diminta duduk menggeser kursi. Benda berkaki empat tersebut mundur kebelakang, sejalan kemudian dengan gerakan lambat gadis ini duduk.     

Bukan tanpa alasan dia memperlambat duduknya. Ia menatap meja makan yang sangat indah. Dirinya sering kali mengolah makanan. Ah' bukan sering, melainkan hampir setiap pagi di sepanjang harinya dia menjalani rutinitas memasak. Akan tetapi dia tak pernah sekalipun berpikir, dirinya akan menghias meja makan secantik ini.     

Bunga, lilin dan udara yang menguar seperti sesuatu yang familiar. Alih-alih sekedar mengambil berkas yang diinginkan nona Aruna.     

"Aku yakin ini yang disebut teknik carving[1]," ujar Kihran memecahkan kebekuan. Dia tak mengerti mengapa Vian menjadi tak banyak bicara seperti biasanya. Vian lebih banyak menatap meja dan sesekali membenarkan dirinya.     

"Ya, sepertinya begitu," dia yang menjawab terdengar gagap. Kihran menaikkan pandangan mencoba mengamati pria yang detik ini melebarkan matanya, menatap dirinya.     

"Ada apa denganmu?", gadis berambut panjang, sepanjang tulang ekornya detik ini mencoba melonggarkan ikatan rambutnya. Dia tahu Vian dan dirinya lebih dekat dari siapapun. Ia merasa tak masalah jika gaya rapi dari rambut ajudan keluarga Djoyodiningrat di tinggalkan sejenak. "Apa bekas tembakan di dadamu masih sakit?", rambut hitam itu terurai dan di goyangkan pemiliknya sebelum menghembuskan nafas lega. Dan meletakkan pengikat surai warna hitam pekat di atas meja, lalu tanpa basa-basi meraih cangkir berisikan air putih dan menenggaknya.     

"Ada apa denganmu? Kenapa diam saja?", bingung dengan sikap Vian.     

"Kihran, aku…."     

 .     

.     

 [1] carving yaitu seni mengukir dan menghias buah serta sayuran menjadi lebih cantik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.