Ciuman Pertama Aruna

IV-195. Masihkah Ada Kesempatan?



IV-195. Masihkah Ada Kesempatan?

0[Jika malam ini beruntung, mungkin aku yang akan menikah paling awal dari pada kalian,] tawa dan permintaan doa mengiringi kalimat yang pada akhirnya berhasil menghantui benaknya.     

[Aku ada kesibukan, Maaf.] lalu dia menutup sambungan Virtual di antara rekan-rekannya. Atau mungkin bisa dibilang saudara tanpa ikatan darah. Tiga saudara yang tumbuh bersama dan menjadi pemimpin paling di sukai sang Tetua.     

Kamar hotel mewah tak memberinya kenyamanan sama sekali. Dia bangkit selepas meminum obat tidur yang nyatanya tak bisa memberinya efek rasa kantuk. Mungkin dosisnya terlalu rendah.     

Kembali membuka laci meja, hendak memungut kembali botol tabung berisikan kumpulan obat Estazolam. Dia meninggalkannya. Sekali lagi ia tanpa sadar telah memindahkan jam tangan yang seharusnya telah dia buang dari satu laci ke laci lain. Dan berakhir di laci meja kamar tidurnya.     

Memungut jam tangan tersebut. Sang pria dengan baju piyama putih menyeret sebuah kursi kayu, mengarah pada sebuah tirai. Sebelum duduk pada kursi kayu, pria tersebut sempat mengambil remote dan memencetnya.     

Dia duduk di belakang tirai yang bergerak perlahan-lahan dan tersingkap menampakkan punggung kota metropolitan di malam hari.     

Matanya menerawang kosong. Jemari tangan kanannya menggenggam gelang jam yang sesekali dia lirik. Gelang jam yang lebih tepat melingkar di pergelangan tangan perempuan alih-alih tangan lelaki.     

"Huuuh...", desah nafas panjang sesekali terdengar.     

'Ya, pilihan menemui Empang kuala atau memilih jalan hidup lain, seperti dongeng putri cantik, mungkin,' kalimatnya terdengar di telinganya sendiri. "Bodoh..!", desisnya untuk diri sendiri, menyesali kenapa dia mengatakan ini. Akankah ada yang bisa di rubah andai dia mengubah kalimatnya.     

.     

Terbangun dari rasa menekan yang dulu begitu ia akui sampai-sampai menghancurkan hidupnya dan hidup banyak orang. Lalu berbagai kejadian buruk di masa lalu mendorong tindakannya sekarang. Ia berusaha keras menutup dan menghilangkan sekuat tenaga sampai tak bersisa.     

Dering telepon mengunggahnya : [Thom.. hallo]      

[Iya]     

[Aku sudah sampai] suara perempuan di ujung sana menyapa dengan suara khasnya.     

[Kamu sudah bertemu dengannya?]     

[Iya... dia ada disampingku] pemberi jawaban terdengar menjeda kalimatnya. Entah bagaimana ada keraguan dalam suaranya.     

[Oke] dan Thomas mematikan handphone-nya.     

[Hallo.. kenapa kamu matikan?] perempuan itu menelpon lagi.     

[Aku pikir tak ada lagi yang ingin kamu katakan,]     

[Kamu tak ingin bicara dengannya? Dia jauh lebih baik sekarang] tawar dia yang di ujung sana.     

[Tidak,] sebelum hening merajai keduanya, [Tapi aku senang mendengarnya jauh lebih baik] Thom membuat pernyataan.     

[Terima kasih Thom. Tanpa kamu aku tak akan sampai di sini dan berjumpa kakakku]     

[Kau harus berterima kasih pada Presdir. Dia yang memberimu kesempatan, bukan aku]     

[Tapi kau yang membujuknya]     

[Aku hanya menyampaikan harapanmu padanya]     

[Bisakah aku mengharapkan sesuatu yang lain?]     

[Cukup. Kita sudah bicarakan semuanya. Tidak lebih dari ini Leo]     

[Kakakku tidak mengingat apa pun sampai hari dimana Madam Graziella bercerai]     

[Segalanya sudah diatur. Itu sempurna untuknya. Namun tidak dengan harapan lain. Berhentilah menuntut sesuatu secara berlebihan. Aku akan mematikan panggilannya] beberapa kata di tekan oleh sang pemberi pesan.     

[Maksudku tak seburuk bayanganmu Thom. Cobalah bicara pada presdir sekali saja]     

[Sudah cukup banyak aku meminta sesuatu padanya, bahkan aku belum memberi balasan apa pun. Mengertilah!] handphone di matikan dan dia kembali melempar dirinya ke atas ranjang.     

Mengubur diri di dalam selimut, sesaat dia meraih handphone dan membuat pesan untuk seseorang.     

[Hai, bisakah aku meminta sesuatu...] di hapus.     

[Aku dengar taman bermain sedang dalam tahap renovasi dan para pemain teater tengah sibuk menyiapkan pentas baru, mungkinkah masih ada kesempatan untuk...] dia tidak melanjutkan pesannya. Telepon genggamnya ditanggalkan dan ia kehilangan kesadaran. Terlalu mengantuk, tak sanggup lagi melawan Estazolam.     

***     

Seorang lelaki membiarkan televisi menyala, dia lebih mengantuk daripada seseorang yang detik ini bersandar di bahunya. Selembar kain piyama dia biarkan mengalir indah di tubuhnya tanpa ikatan, dia suka merasakan bisa tersentuh oleh permukaan kulit sang perempuan.     

Ibu hamil itu baru saja dia bebaskan dari kain pembungkus tubuhnya. Dia menikmati nafas dan bau tubuh perempuan yang bahkan detik ini tak dapat dia sentuh dalam artian sesungguhnya.     

"Haah...", hampir ikut hilang terbawa kantuk. Sang pria mendapati perempuannya membuka mata lebar dan meringik lirih.     

"Apa ada yang sakit?", dia mendapati kepala perempuan yang sempat menggeleng.     

"Baby bergerak, dia tak mau tidur,"     

Mahendra lekas menyingkap selimut dan memperhatikan sesuatu yang menakjubkan itu. Bayi sedang bergerak hebat di dalam perut.     

"Tenanglah sayang," tangan berukuran besar meraba permukaan kulit perut istrinya. Kornea mata birunya membesar. Sesekali mengamati mata perempuan yang mengeluh lirih.     

"Apa kamu kesakitan?", Mahendra menatapnya tiada henti. Menatap mata coklat yang sesekali menyipit, dia tersenyum walaupun alisnya mengerut sesekali.     

"Tidak.. tidak ada yang sakit..", tapi wajah sang pria tak mampu menutupi rasa khawatirnya.     

"Aku ingin menggantikannya, andai bisa", Hendra selalu sama dia tak bisa menyembunyikan ketakutannya. Dia masih seperti dirinya yang dulu, dia tak memiliki kemampuan menatap gerakan yang menakjubkan itu.     

Bayi bergerak tanpa kendali, dia mengosongkan sisi perut dan menjadikan sisi lainnya lebih menonjol seperti gundukan. Bersama desis lirih perempuan yang merintih, namun wajahnya tak terlihat kesakitan.     

"Pegang baby, Hendra.. mari kita tenangkan dia", Aruna menarik tangan yang hampir meninggalkan perutnya. Tangan tersebut dibimbingnya untuk memberi elusan ringan. "Beri tahu baby, minta dia tenang, kau pasti tahu dia sudah mendengar suara kita," Aruna meyakinkan.     

Ada saliva yang tertelan, sembari mencuri lihat sekali lagi mata istrinya. Dia mencari keyakinan. Dia menyadari dirinya seringkali diam-diam meninggalkan istrinya di malam hari, demi menemui sekelompok bawahannya.     

'Mungkinkah Aruna seringkali menghadapi ini sendiri saat dia tak ada?' Itu pertanyaan yang menyakitkan untuk dicari tahu jawabannya.     

"Tak apa Hendra, tidak ada yang menyakitkan, ini menakjubkan," Aruna mengelus kepala pria yang detik ini membungkuk di atas perutnya. Dia memberi kecupan lalu membisikan sesuatu. Bisikan rahasia yang bahkan Aruna tak dapat mendengarnya.     

"Dia tak bisa mendengarmu, kalau kamu berbisik,"     

"Tidak, dia mendengarku, gerakannya melemah," mata berbinar warna biru melirik perempuan hamil.     

"Daddy menyayangimu, daddy tahu kamu ingin menyapa kami," ada udara yang berhembus di sepanjang permukaan perut, sesapan Hendra jatuh disana, "Lihatlah, daddy memegangmu sayang, sekarang istirahatlah," pria itu berbicara dengan manusia di dalam perut. Sembari mengelusi ringan tiap-tiap gerakan yang ditunjukan manusia kecilnya.     

"Baby menurutimu,"     

"Aku tak bisa percaya ini," mata biru menyeringai, "Makhluk kecil ini benar-benar nyata,"     

"Sebentar lagi dia akan datang diantara kita," imbuh Aruna menangkap wajah lelaki yang mendekat ke arahnya.     

"Terima kasih, sayang," Mahendra meredupkan pandangan, sebelum menyusupkan kecupannya dan menyesap lidah istrinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.