Ciuman Pertama Aruna

IV-197. Mengalir Saja



IV-197. Mengalir Saja

0Gadis ini menjadi bingung atas susunan kalimat yang diucapkan Vian. Pernyataan lelaki bermata sendu tersebut membuat kepalanya pening.     

Denyutan itu nyata dan dia tak bisa mengelaknya. Adiknya adalah hartanya, dia menjadi gila bekerja dengan dalih menyelamatkan masa depan adiknya. Kihrani tidak pernah memandang kesenangan untuk dirinya sendiri.     

Dia kacau. Dan kini dia mengharap pertolongan dari pria yang baru saja berhasil meruntuhkan segala tembok besi yang dia bangun, hanya dari permainan katanya.     

"Aku pening! Berikan berkasnya, aku ingin menyelesaikan tugasku," gadis ini mencoba bertahan dari kemelut jiwa dan pikiran yang berantakan.     

"Kau tak bisa melarikan diri terhadap tanggung jawab memperbaiki sudut pandangmu tentang ikatan pernikahan, hanya dengan menghindariku," dia yang duduk di ujung meja masih bicara. Kata-kata sebelumnya sudah berhasil menghantuinya. Kini Vian kembali bicara dan hal itu seolah kian memojokan dirinya.     

"Bisakah kamu diam?!", kalimat ini terdengar seperti permintaan, wujud dari keputus-asaan. Ekspresi itu sangat jelas dan nyata pada diri Kihrani. Gadis ini sempat bangkit dari duduknya dan hendak merampas berkas, yang dia tahu, berada di dalam tas yang terletak pada sisi belakang tempat duduk Vian.     

"Apakah diamku bisa membuatmu jenak? Kalau iya, aku akan diam," selepas sempat hening, pria bermata sendu itu mengeluarkan berkas dan menyerahkannya pada Kihrani. Dia berdiri dan melangkah sebanyak dua langkah, sehingga pria ini bisa meletakkan berkas tepat di hadapan gadis yang memegangi kepalanya.     

"Aku akan pergi dulu," Vian meninggalkan Kihrani sendirian di ruang makan VIP.     

Tak lagi mendengarkan suara langkah kaki sang pria, Kihrani pikir Vian tak akan kembali. Kihrani yang kacau, mencoba melepaskan emosinya. Dia menangis, akhirnya gadis ini runtuh juga. Kelemahan yang pandai dia tutup rapat-rapat tak bisa lagi dipertahankan.     

Dibalik kerasnya dia menolak pemuda potensial, lelaki yang bisa mewujudkan dongeng Cinderella menjadi nyata. Dia tahu dalam keadaan semacam ini, dirinya-lah yang menuju ambang kekalahan.     

Konfrontasi lelaki bermata sendu itu jelas membekas dan menghancurkan jiwa perempuan-nya. Siapa yang tak ingin memiliki pasangan dalam hidup. Kakak mana yang ingin memberikan contoh yang buruk, walaupun hidup melajang bukan hal negatif, tapi dia tak ingin terlihat seperti itu di hadapan adik-adiknya.     

"Apa kau bisa berkendara dengan benar?", tiba-tiba suara Vian hadir kembali.     

Vian pikir gadis ini datang dengan motor dan lelaki itu mengkhawatirkan kemampuan konsentrasi Kihran saat memacu kendaraan roda duanya.     

Lebih dari itu, dia malah mendapati gadis ini menangis.     

'Akhirnya kamu menangis juga', sesuatu di gumamkan sang lelaki.     

"Aku tidak membawa motor, aku akan kembali dengan taxi," menghapus air matanya. Kihrani bangkit.     

"Apa aku boleh mengantarmu ke rumah induk? Aku tahu berkas ini tidak diizinkan berkeliaran bersamamu lama-lama," tawar Vian.     

"Aku ingin menolaknya, tapi aku tidak punya pilihan," ucap Kihrani selepas mengamati map di tangannya. Ucapan Vian selalu terkategorikan benar.     

"Ayo, ini sudah malam," dan sang pria memimpin langkah.     

Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak terbungkam. Mereka hanyut dalam imajinasi mereka masing-masing.     

"Apakah kamu tahu ibuku masih hidup? Dan adik-adikku berfikir dia sudah meninggal?", mobil yang membawa keduanya mulai menaiki lereng bukit.     

"Kamu lupa ya?! Apa profesiku selain mengganggu hidupmu?", maksud Vian; dia menegaskan bahwa dirinya pimpinan divisi penyelidik. Mata Vian melirik berkas di tangan Kihrani. Dan gadis itu spontan juga mengamati berkas dalam pelukannya. Dia menemukan kesadaran, mustahil si pria berambisi ini belum menelusuri kehidupannya.     

"Karena kamu kecewa pada ibumu, lalu kamu melampiaskannya dengan membentengi dirimu. Kemarahanmu membuahkan sudut pandang bahwa pernikahan dan semacamnya mustahil berhasil. Harusnya sebelum berpikir seperti itu, kau sebaiknya menghitung dahulu rasio pernikahan gagal dan berhasil di negara ini, berapa banding berapa," pria itu menoleh pada Kihrani dan gadis ini hanya terdiam.     

"Bukankah kepalamu itu sudah di sekolahkan? Mahasiswa macam apa kau ini?! tak bisa berpikir logis!", bukan Vian kalau dia berbicara manis pada Bomb.     

"Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi kamu berkali-kali menghinaku. Pria macam apa kau ini, tidak konsisten!", keluh Kihrani. Setelah menyadari sepanjang perjalanan menuju rumah megah di lereng bukit, dirinya mendapatkan hinaan bertubi-tubi secara lugas.     

"Hahaha," Vian tertawa renyah mendengar keluhan Kihrani, "Aku sangat konsisten, karena aku menyukaimu, makanya aku peduli terhadap pikiran konyol yang ada di dalam otakmu," lagi-lagi dia berkata kurang menyenangkan dan parahnya kalimat itu tersampaikan secara terang-terangan.     

"Tuan Hendra tidak begitu. Setiap permintaan nona Aruna dituruti, dan dia mendukung semua impian istrinya," sangkal Kihrani. Keduanya mulai mencair, mereka memang terlihat seperti musuh. Di balik itu, mereka partner yang cocok, walaupun sering kali cekcok.     

"Kamu hanya belum melihat mereka berdua berdebat," sangkal Vian, "Semakin besar cinta seseorang pada pasangannya, semakin kuat cara mereka memastikan kekasihnya berada di jalur yang benar dan aman," Vian memungut berkas di tangan Kihrani, "Jangan lupa! benda ini adalah simbol ada beberapa hal yang diinginkan nona tidak dituruti tuan muda."     

'Benar,' walaupun ucapan ini tak bersuara, bahkan raut wajahnya terlihat nyata, Kihran menyetujuinya.     

Mobil melambat, tak lama seorang petugas keamanan rumah induk mendekat dan memeriksa keduanya. Merasa mengenal mereka dan telah dinyatakan aman. Mobil biru metalik ini berjalan masuk dan berputar melintasi air mancur yang menari-nari di tengah halaman.     

Menuju garasi umum dan bersanding dengan barisan mobil lainnya. Basement sepi di malam hari. Tampaknya hanya mereka berdua yang ada di sini. Tatkala sang perempuan hendak turun dari mobil, tangan pria menahannya.     

Ia kembali menarik handle pintu. Melintasi tubuh perempuan berambut panjang yang detik ini telah terurai.     

Rambut yang selalu menjadi alasan menaruh minat pada Kihrani. Gadis yang mirip ibunya yang malang bahkan hingga akhir hayatnya.     

Hingga pada akhirnya lelaki ini meyakini semua perasaan ini bukan iba, melainkan cinta. Tinggal bersamanya dan hidup sebagai tuan dan asisten rumah selama hampir sebulan, sungguh membuatnya kecanduan.     

Sesak dan kosong, menuntut rasa yang menyiksa saat gadis ini meninggalkan Vian di rumahnya sendirian. Walaupun dirinya sudah kembali bekerja seperti biasa, rasanya ini sangat menyiksa.     

"Aku ulangi penawaranku," ujar Vian, "Apakah kamu tak ingin mencoba memberi kesempatan pada dirimu?", dia mengatakan kesempatan terkait pribadi Kihrani sendiri. Pria ini pandai memainkan asumsi.     

Tentu saja dia yang ditanya akan tergiring untuk mengatakan 'mau'. Mengingat dalam kasus semacam ini, seolah gadis ini mengidap penyakit dan perlu ditangani.     

"Tidak ada cincin!", ujar Kihrani pada akhirnya.     

"Setuju!", ucap Vian.     

"Dan bukan taruhan!", tambah gadis itu.     

"Lalu apa?", Vian butuh kepastian.     

Sempat terdiam dan menggenggam erat jemarinya sendiri, "Tidak ada namanya. Kita mengalir saja,"     

"Bagaimana jika pacar? Aku tahu ini status anak-anak belia, tapi kenapa tidak kita coba dari yang paling dasar seperti mereka?", Vian memburu kehendaknya.     

Dan gadis ini mengangguk. Anggukan lirih yang mampu mendorong senyum lebar seseorang.     

"Aku tak boleh terlihat di hadapan tuan Hendra," ujar Vian, "Lekas berikan berkasnya pada nona Aruna, aku akan menunggumu di sini,"     

"Kenapa?"     

"Kenapa apa?", ini pertanyaan dari si pemilik mata sendu.     

"Kenapa menungguku? Aku ada motor, aku akan pulang menggunakan..."     

"Karena aku pacarmu, kamu sudah mengangguk, kan?", dia yang berucap mengerlingkan sebelah matanya. Menjadikan gadis yang berbicara melalui celah pintu mobil, berbalik dan meninggalkannya setengah berlari.     

'Huuh..' Melarikan diri yang manis,' gumam Vian.     

Sebelum matanya membuka lebar, saat dia menemukan handphone Kihran tertinggal dan mendapatkan pesan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.