Ciuman Pertama Aruna

IV-196. Kotak Beludru



IV-196. Kotak Beludru

0"Kihran, aku…", seorang lelaki menggenggam sesuatu di bawah meja. Jika detik ini nyalinya tak kunjung hadir, dia akan menemui kegagalan untuk kedua kalinya.     

Percobaan pertamanya ialah beberapa Minggu lalu, kala mentari perlahan-lahan hangatkan bumi.     

Vian sudah pernah memberanikan diri, selepas ia pada akhirnya berhasil membantu gadis tersebut menguasai keahlian menyetir mobil.     

Sayangnya pagi itu nyalinya tak kunjung datang, kotak beludru kembali di selipkan ke dalam saku celana.     

"Aku..,"     

"Di mana berkas nona?", gadis itu tak memperhatikan lawan bicaranya. Dia masih tertegun dengan sajian makanan cantik di atas meja. Menyentuhnya dan mencomotnya diam-diam.     

Ia jilat ujung jarinya, selepas memasukan buah ceri kecil ke dalam mulut, lalu menggigitnya.     

"Kapan kita bisa mulai makan?", sekali lagi tangan nakal itu mencoba mendekati sesuatu, sampai sang lelaki menggenggam punggung telapak tangannya.     

"Malam ini bukan sekedar mengambil berkas nona. Tolong! Lihatlah aku sejenak", Vian berkata. Mengharapkan dua bola mata hitam pekat mampir ke wajahnya.     

Wajah sang perempuan mendongak, mencoba menduga apa yang dipikirkan lelaki yang baru saja berkata dengan nada serius. Dia tahu Vian punya nada bicara yang berbeda kali ini.     

Mengingat pria itu lebih banyak bercanda dengan dirinya, alih-alih berbicara layaknya orang normal.     

"Lalu?", ia belum mengerti. Saat mata sendu itu menyapu seluruh permukaan meja berbentuk lingkaran di hadapan keduanya.     

"Apa kau tidak melihat perbedaan?"     

Dan Kihran terdiam, "Makan malam ini untukku? Atau kamu punya janji dengan orang lain?"     

"Tidak ada orang lain di sini," Vian meletakkan sesuatu di atas meja, benturannya terdengar, "Hanya ada kamu dan aku," kemudian lelaki itu meraih gelas berisi air lalu menenggaknya, "Lilin, bunga dan makan malam, bisakah kamu sedikit saja merasakan bahwa malam ini berbeda?"     

"Ya. Ini semua menarik," ucap ringan Kihrani.     

"Sekedar menarik?", mata itu menuntut.     

"Apakah ada definisi lain selain menarik?", keduanya mencoba beradu argumen. Sebab perempuan ini mulai menyadari sesuatu yang tidak dia inginkan tersaji di hadapannya.     

"Aku..", desis itu terdengar, menguar memberi pertanda.     

"Aku tahu kamu menyukaiku,"     

"Bukan suka," sang lelaki meralatnya. "Aku mencintaimu."     

Tangan yang tadinya bergerak bebas, hendak memungut sesuatu di antara susunan makanan indah yang tersaji, ditarik mundur. Gadis itu menyembunyikan jemari tangannya.     

Selain lilin, bunga dan hidangan yang belum pernah ia lihat, Kihrani mulai menyadari sebuah kotak beludru dibalik gelas kaca.     

"Aku bertemu bapak, tadi pagi", setiap kata yang keluar dari lelaki tersebut terasa asing baginya.     

Gadis ini tidak percaya ikatan diantara dua manusia, bahkan ia memilih menghapus hal-hal yang ada kaitannya dengan hubungan percintaan. Semenjak belia, sejak ibunya meninggalkan bapak dan kedua adiknya.     

Bahkan seorang perempuan yang memiliki tiga orang anak, mampu memilih jalan berbeda. Bisa jadi dirinya pun suatu saat akan mengalami hal yang sama.     

Jadi di mata Kihrani tidak ada yang spesial dari ikatan dua manusia.     

Sejak awal apapun yang Kihran rasakan, ia berusaha menelannya sendiri. Berupaya tidak mempercayainya dan berharap ia akan hidup dengan cara yang sama, sampai waktu yang tidak ditentukan.     

"Kau tidak ingin berkomentar?", spontan Kihrani menggeleng kepalanya. Segala sesuatu dalam pikirannya kosong. Bagaimana bisa dia berkomentar atas tindakan Vian. Dia tak punya gambaran indah sama sekali.     

"Bapakmu bilang semua tergantung pilihanmu," lalu pria itu mengangkat kotak beludru dan meletakkannya di tengah-tengah meja bundar.     

"Aku minta maaf, aku sadar kau menolakku berkali-kali, tapi..."     

"Tapi kau pria yang berambisi, bahkan melebihi teman-temanmu. Aku pernah mendengarnya," Kihrani memenggal kalimat Vian.     

Gadis ini enggan melihat kotak beludru di tengah-tengah meja bundar. Ia malah membalik piring di hadapannya. Kemudian mengisi piring saji dengan beberapa makanan. Tanpa permisi ia mulai memakannya.     

Vian tertegun atas tindakan Kihrani, tapi ia tidak bisa marah. Sama dengan dirinya yang memilih menyodorkan kotak beludru secara sepihak. Tindakan Kihrani padanya seperti menunjukkan hal yang sama, yang detik ini sedang Vian jalankan.     

"Aku tahu kamu akan marah, aku juga tahu kamu akan menolakku. Tapi aku harus mencobanya bukan? Karena aku lelaki. Lelaki yang berusaha meraih keinginannya. Aku harus mencoba sampai titik paling akhir. Sebelum aku menyadari segalanya hanya sia-sia."     

Gadis yang memasukkan makanan ke dalam mulutnya, kini menghentikan gerakan sendok di tangannya. Dia meletakkan benda aluminium tersebut.     

Sebelum mengucapkan dua kata: "Kau benar", hanya itu kalimat yang datang dari bibir perempuan tersebut. Sebelum menghirup nafas dalam-dalam dan kembali makan.     

"Hanya itu kata-kata yang kamu sampaikan padaku?", ada getaran di suara Vian, "Tidak adakah kalimat lain?", imbuh lelaki yang menatap sendu lawan bicaranya.     

"Kamu sudah tahu jawabanku, lalu kenapa aku harus memberikan penjelasan?", Kihrani mengangkat pandangan matanya.     

Dua manusia ini saling mengamati satu sama lain.     

"Supaya aku sadar atas penolakanmu, katakan alasannya padaku!", tuntut Vian.     

"Aku sudah katakan aku tidak ada waktu, lebih dari itu aku tak percaya seseorang memiliki keinginan yang sama sepanjang hidupnya sampai akhir. Termasuk pada ikatan apapun, bahkan pernikahan. Semua orang bakal berubah, manusia mudah sekali berubah. Jadi mengapa kita harus susah payah mengorbankan sesuatu? padahal kita tahu, tidak ada perasaan yang abadi?!", Kihran untuk pertama kalinya berbicara lebih banyak.     

"Jadi karena itu kamu menolakku? Artinya kamu akan menolak semua pria?", Vian mencoba mencari pemahaman.     

"Ya, Tentu! aku punya sudut pandang tidak umum. Aku sadar. Sayangnya aku memilih mempercayainya," jelas Kihran.     

"Baik. Bagaimana jika aku bisa meruntuhkan sudut pandangmu?",     

"Itu mustahil,"     

"Tidak ada yang mustahil di dunia ini, kecuali kamu menutup diri dan enggan memberi kesempatan pada dirimu sendiri," Vian memungut kotak beludru yang sempat di letakkan di tengah-tengah meja.     

"Mustahil berubah. Aku seseorang yang keras kepala, kau tahu itu."     

"Mari kita bertaruh!", tantang Vian.     

"Bertaruh?"     

"Ya! aku akan merubah pandangan hidupmu, tapi kau harus mau membuka hatimu terlebih dahulu", Vian terlihat lebih serius dari sebelumnya.     

"Kenapa diam?", tanya Vian.     

"Aku tidak tahu caranya dan aku tak berminat, sungguh!"     

"Jadi kamu ingin melajang seumur hidupmu?"     

"Aku punya adik dan saudara, mereka akan menemaniku,"     

"Suatu saat adikmu akan tumbuh, mereka bakal menjadi manusia dewasa. Apa kamu juga ingin mewariskan pemikiranmu pada mereka?", Kihrani salah memilih teman debat. Vian bukan tandingannya beradu argumen. Harusnya gadis ini menyadari siapa lawan bicaranya.     

"Kamu pasti menginginkan Lala dan Ricky menikah, -bukan?", ekspresi Kihran perlahan-lahan tergiring pada jurang dilema, "Mungkinkah mereka bisa menikah dan melanjutkan hidup dengan benar kalau kakaknya, perempuan yang menjadi panutan, bahkan tak menginginkan sebuah pernikahan?", Kihran terbungkam, "Adik-adikmu mustahil berpikir terbuka, tatkala seseorang yang seharusnya memberi mereka contoh tentang kehidupan berkeluarga yang benar, malah memilih melajang seumur hidup."     

Kata-kata Vian cukup kasar, akan tetapi benar adanya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.