Ciuman Pertama Aruna

IV-200. Meremas Kertas Putih



IV-200. Meremas Kertas Putih

0"Kamu salah! Aku sedang bertindak sebagai partner yang sesungguhnya. Partner yang harus diakui keberadaannya. Bayi yang akan aku lahirkan perempuan. Jika pada akhirnya, aku hanya bisa melahirkan bayi-bayi perempuan, bagaimana kau bisa meneruskan estafet kepemimpinanmu pada putri-putri kita? Andai saat ini saja ibunya tidak diizinkan melihat apa-apa. Yang artinya putri kita tidak akan bisa mengajari apa pun?", sesuatu yang tidak bisa diprediksi tengah menyergap Mahendra. Menjadikannya tak bisa berkata-kata.     

Pria ini masih terdiam. Dia belum menjawab ungkapan konfrontasi yang disuarakan istrinya. Tapi matanya fokus di sana, mengamati laci Nakas.     

"baik, istirahat lah?" gumamnya lirih.     

Dia membalik tubuhnya, lelaki bermata biru menginginkan istrinya merebahkan diri, kembali di atas ranjang.     

Berusaha sabar, Membimbing dan mengarahkan.     

Mahendra dengan sengaja menekan segala kehendaknya. Memanfaatkan logika terbaiknya. Bahwa bertengkar dan marah detik ini tak ada gunanya.     

Terlihat konyol bagi seorang lelaki yang Seharusnya bersyukur perempuannya telah mengorbankan banyak hal, salah satunya potensi besar sang remaja berbakat demi mengandung dan melahirkan bayi.     

Sejalan dengan Aruna yang perlahan-lahan menutup matanya. Lelaki yang terbaring tepat di samping sang istri kini duduk kembali.     

Menurunkan kakinya. Ia menapaki lantai, sebelum meraih alas kaki. Alas kaki berwarna putih itu mengiringinya kembali mendekati nakas. Membungkuk lalu membukanya perlahan-lahan. Sesamar mungkin.     

Dia butuh tahu, apa yang ingin diketahui perempuan yang sejujurnya ia harapkan untuk terus menutup matanya dari hal-hal yang tak layak dilihat.     

Berkas tersebut ia dekap. Di bawanya benda Tersebut menuju ke arah pintu. Dan dia meninggalkan perempuannya tertidur di kamar sendirian.     

Hingga berakhir pada teras samping, hendak membaca lembar demi lembar yang dibawa ajudan perempuan untuk ditujukan kepada istrinya.     

'Kondisi perkembangan kesehatan Rey barga,' judul bab yang tertulis sistematis. Alisnya mengerut dan hampir menyatu. Bagaimana bisa seseorang membawa berkas ini untuk diketahui bahkan di baca Aruna?     

Untung saja dia berada di luar ruangan. Hawa dingin, angin malam dan rasa gelap di sela-sela lampu-lampu taman yang tersembunyi mengurangi dorongan kemarahan yang meletup di dadanya.     

Rey Barga sedang kritis. segala upaya medis belum bisa membuatnya pulih. Semua keadaan ini dikarenakan tangan mungil itu. Lalu sang pelaku, ibu hamil yang sebentar lagi melahirkan. Mungkin kah dia bisa menanggung beban rasa bersalah?     

Tangannya bergetar meremas kertas putih di ujung jemarinya. Di berkas ini bahkan dituliskan dengan detail bagaimana supir taksi yang mengiringi Aruna sore itu, telah menghilang.     

Dan diduga hilangnya sang sopir taksi ada kaitan dengan sayembara serta penyelidikan Key Barga.     

[Hallo] selepas lembar terakhir ia baca. Lelaki bermata biru memutuskan untuk menelepon seseorang. Poin-poin dalam berkas ini bahkan lebih detail dari penjelasan yang ia terima.     

[Tuan? Bisa saya bantu?] Suara di ujung sana tampak bingung. Tidak biasanya tuan muda Djoyodiningrat menelepon di malam hari. Kecuali ada sesuatu yang sangat penting.     

[Bisakah kau temui aku besok pagi??     

[Tentu]     

[Aku akan datang di lantai D. Aku ingin kau mendampingiku..]     

[Mendampingi?] Kata-kata diakhiri tanya menyiratkan seseorang di ujung sana terkejut dengan permintaan yang tidak biasa.     

[Ya]     

[Oh' baik] panggilan terputus.     

***     

"Kamu tidak ingin bertanya padamu kenapa aku pulang malam?" gadis kurus itu menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tidak melirik pria yang baru datang dan duduk di sampingnya.     

Masih dengan setelan jas lengkap, termasuk alas kaki. Tampak jelas dia kelelahan.     

"Tolong siapkan mandiku," lelaki bersurai pekat penarik dasinya lalu menyerahkan pada perempuan yang detik ini mengamati televisi.     

"Kamu melihat siaran ulang?" selepas dasi warna merah diterima oleh perempuan yang enggan menanggalkan tatapannya dari layar televisi. Gadis tersebut juga menerima jas yang baru dilepas sang pria.     

Sang perempuan mengangguk. Lelaki yang Saat ini kembali menanggalkan barang-barang di tubuhnya —melepas sepatu serta kaos kaki— menyadari perempuan ini tidak menonton Channel yang di sajikan program televisi, calon istrinya sedang menikmati salah satu Dari tayangan di akun YouT*be.     

Awalnya ia tidak sadar bahwa yang dilihat perempuannya adalah pasangan familier.     

"kamu sengaja menontonnya?"     

"Aku mengenal mereka, dan aku penasaran?" akhirnya gadisnya bicara. Syakila punya minat untuk menoleh kepada Gibran.     

"Matamu memberitahuku. Apa yang kamu lakukan saat ini, terlihat jelas lebih dari penasaran," tebak Gibran.     

"Ya. Bisa jadi apa yang kamu katakan tidak salah," kemudian ia kembali larut mengamati talk show di mana seorang perempuan hamil tengah menyuarakan pendapatnya.     

Ada senyum samar di bibir Syakila.     

"jika pernikahan kita dilangsungkan lebih cepat. Mungkin kau akan segera menyusul istri Mahendra," gumam Gibran.     

Syakila spontan membuat lirikan untuk lawan bicaranya, "belum tentu,"     

"Kita lihat saja nanti," Gibran kini berdiri.     

"bukankah sekarang kita sudah mirip suami istri?" lelaki tersebut berujar sembari ikut mengamati apa yang tertera pada layar televisi.     

Seorang laki-laki mencoba meluruskan pertanyaan yang membingungkan perempuan hamil di atas ranjang. Itu adalah Mahendra dan Aruna. Kamar mereka dan segala sesuatu yang menarik di kamar itu sedang dibahas.     

"Menjadi mirip suami istri sangat mudah. Sayangnya tidak dengan menjalani status asli," Kalimat Gibran dibalas oleh Syakila. Dengan nada datar khas perempuan yang tengah pesimis terhadap kehidupannya.     

"apakah dia sakit?"     

"ia mengalami plasenta previa," jelas Syakila. Suaranya terdengar lebih bersemangat. Detik ini yang ada di layar televisi ialah etalase yang membentang menawarkan pernak-pernik yang di siapkan untuk kelahiran bayi. Benda-benda yang menurut penjelasan lelaki bermata biru ialah buatan tangan istrinya sendiri.     

"benarkah?" Gibran seolah mengkonfirmasi sesuatu. "apakah itu mungkin?" kalimatnya adalah ekspresi tidak yakin bahwa istri Mahendra terbaring, tak bisa menjalankan banyak aktivitas.     

"kehamilan pertama, segalanya bisa terjadi,"     

"hemm.." lelaki bersurai pekat menunjukkan gumaman, 'jika dia sakit, lalu siapa pelakunya?'     

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Syakila.     

"Kapan kebutuhan mandiku di siapkan?" akhir-akhir ini Gibran mengabaikan keberadaan asisten rumah tangga.     

Dia suka menyuruh Syakila, semenjak perempuan itu berkeinginan melipat baju-baju Gibran Bahkan menyetrika nya hingga siap di pakai.     

"Bisakah kamu menunggu sampai talk show ini selesai?"     

"ya, asal kamu mau mencuci rambut ku sekalian," dan entah bagaimana syakila mengangguk.     

***     

"sial!" bagiamana bisa pesannya terkirim. "ah' bodoh," di sebuah kamar hotel VVIP seseorang yang menyandang status CEO PLT, pelaksana Tugas sementara. Bangun dari tidurnya dan meraih handphone yang sejalan kemudian dia lempar di atas ranjang empuk.     

[Hai.. maaf kan aku, aku pasti membuatmu bingung] Namun perempuan di ujung sana tidak memberikan jawaban apa pun atas pernyataan yang ia lontarkan.     

[Em.. kamu kenapa?] Nada suaranya jelas memberitahukan bahwa Kihran tengah meraba-raba pemahaman.     

[Kamu tidak menerima pesanku semalam?]     

[Pesan? Tidak ada pesan di handphone ku]     

[Benarkah??]     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.