Ciuman Pertama Aruna

IV-201. Meninggal Hari Ini



IV-201. Meninggal Hari Ini

0"aku tidak mengerti denganmu, yang kau lakukan seolah-olah berperan sebagai pelayanku. siap memenuhi segala permintaanku," lelaki yang detik ini berbicara sedang menenggelamkan seluruh bagian tubuhnya kecuali kepala hingga separuh dada bidang.     

Anggota tubuhnya yang lain masuk di sela-sela busa. Matanya terpejam bersandar pada tepian batu pualam bath tub. Rambutnya yang hitam sepekat tinta jatuh di telapak tangan syakila.     

Rambut itu baru saja dibasahi dan kini pijatan ringan disajikan telapak tangan sang Perempuan. sejalan dengan tindakan Syakila busa-busa kecil mulai tumbuh di sela-sela rambut menutup tinta hitam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir perempuan tersebut.     

"Aku sedang bertanya padamu, mengapa kamu diam saja?" tanda tanya itu dihantarkan bersama dengan gerakan tubuh naik sedikit ke atas kemudian kepalanya menoleh ke belakang.     

Matanya yang hitam pekat memburu jawaban.     

"Kamu tahu apa yang aku inginkan," hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Syakila.     

"Oh' aku lupa, kamu gadis keras kepala," kembali membalik kepalanya. Kemudian berbaring lagi di tepian bath up. Detik berikutnya pria itu memejamkan mata. Bibirnya bergumam lirih. "tapi aku punya syarat,"     

"aku sudah tunduk dan patuh padamu,"     

"Perusahaan Baskoro lebih mahal dari perilaku tunduk yang kau tunjukkan," gadis ini kembali dalam pelukan putra tertua keluarga diningrat dengan tujuan mendapatkan perusahaan keluarganya. Seluruh anggota keluarga Baskoro yang selama ini menjadikan kehidupannya layaknya sampah.     

Dijual pada laki-laki yang mampu mendorong perkembangkan bisnis keluarga. Bahkan pernyataan itu lebih baik daripada kenyataan yang ada di hadapannya saat ini. Dia harus menjadi calon istri setengah pelayan bagi keluarga diningrat demi menutupi hutang keluarga Baskoro.     

Tak peduli seberapa kerasnya Syakila menolak. Keluarganya akan tetap menjadikan dirinya tumbal dari kesalahan dalam berbisnis.     

"aku menginginkan sesuatu yang lain,"     

"Apa?" gerakan tangan pada sela-sela rambut Gibran terhenti.     

"Aku punya kamar baru untukmu, di lantai teratas, mulai malam ini kau tidur di sana,"     

"Bukankah kamar ini sama saja?" lelaki bersurai pekat tersenyum sesaat.     

"kamu akan mendapatkan perusahaan Baskoro dengan menuruti permintaanku, jadi jangan bertanya," tangan mungil itu kini meraih shower. Dia membersihkan busa yang menyelimuti rambut Gibran.     

"baik," patuh Syakila.     

"apakah rambutku sudah selesai?" Gibran tahu Syakila mengangguk walau pun dia tidak melihat gerakan kepala perempuan tersebut. Sejalan kemudian pria itu bangun menanggalkan air busa di dalam bath up.     

Tentu saja syakila lekas menoleh dan memejamkan matanya, saat Gibran dengan santai berjalan menuju ruang ber shower.     

Syakila tidak mengerti mengapa—laki-laki yang dulu dia panggil kakak atas kebijaksanaan yang sering ia tunjukkan—satu bulan terakhir selepas ia ditawan oleh keluarga Djoyodiningrat Dan kini dirinya terpaksa kembali. Gibran banyak berubah.     

Gibran yang ini lebih terbuka. kadang kala bertingkah sesuai kehendaknya walaupun itu di luar kebiasaannya. Menginginkan hal-hal yang cenderung rancu dan membingungkan.     

Sama seperti apa yang dilakukannya saat ini, meminta Syakila membantunya mengenakan baju : "berkas perusahaan keluarga Baskoro ada di atas ranjang tidur kita. Hari ini aku tidak mau lagi tidur di sofa. Kita harus berada di ranjang yang sama,"     

"kamu tidak benar-benar ingin berperilaku seperti suami istri, bukan?"     

pria ini menolehkan wajahnya dan merenggut dagu Syakila, "kita lihat saja nanti,"     

'jika anda ingin berhasil, buat dia berada di titik paling rendah. baik secara mental dan fisik. Mungkin dari mengurangi makan sampai membuatnya kelaparan, akan aku pastikan treatment ku berhasil,' Gibran mengingat sebuah kalimat yang menguar dari perempuan di ujung panggilan.     

'kalau kau berhasil, aku akan membayarmu dengan harga yang pantas,'     

'cukup bebaskan kakakku, itu lebih dari pantas,'     

***     

'dia tidak menerima pesanku? apa yang terjadi padanya?' pada notifikasi yang diterima oleh Thomas. Jelas bahwa pesan yang ia kirim telah dibaca.     

Mungkin gadis itu sengaja menghindarinya, mengingat bisa jadi memang kesempatannya sudah tidak ada.     

kepalanya sakit saat ia terbangun. Tidurnya terlalu larut malam.     

Menyeret langkah kakinya menuju kamar mandi. Sejauh dia menginginkan untuk kembali memejamkan mata, dia tak akan mungkin melakukannya. Tanggung jawab di meja kerja pasti sudah menanti.     

Air dari shower turun seperti hujan di tanah gersang. Bayangan cincin melingkar di pergelangan jemari sangat mengganggu. 'ini tidak benar,' lelaki dengan rambut platinum mendorong keyakinannya.     

"Thom," seseorang memanggil mengetuk pintu kamar mandinya.     

"Tunggulah, sebentar lagi aku keluar," Thomas menyadari suara barusan milik siapa.     

Tepat ketika ia usai membersihkan diri. Dan keluar dari pintu kamar dengan piama handuk yang melapisi tubuhnya: "sejak kapan kamu tahu kode pintu kamarku?" keluh Thomas pada perempuan yang saat ini duduk santai di tepian ranjang abu-abu.     

"Apa kamu lupa, aku bahkan tahu pin ATM mu?" dia terkekeh ringan mengayunkan salah satu kakinya yang menggantung di udara. Kaki kanan yang saat ini menumpang pada kaki kiri.     

"Kamu tipe manusia konstan. Malas mengubah beberapa kebiasaan," Thom melirik ringan perempuan di atas ranjangnya. Pria ini mengeluarkan baju dari dalam lemari dan menumpuknya di salah satu sudut sofa.     

Thomas menoleh, mengarahkan pandangannya pada perempuan tersebut. "tampaknya kamu sedang berbahagia?"     

Wajahnya berseri seri, sangat jelas terlukis di sana.     

"Sepertinya aku tidak akan meminta apa pun kepadamu. Aku ke sini untuk memberitahu, aku akan mewujudkan apa yang aku inginkan dengan caraku sendiri,"     

"Jadi, akhirnya kau berani menemui tetua?" Kalimat Thomas dibalas gelengan kepala.     

"nyaliku tidak sebesar itu," Thom mengangguk. Terlalu tidak tahu diri jika ia yang detik ini berdiri dari atas ranjang tidurnya datang pada tetua.     

"baguslah. Kamu bisa berpikir dengan benar akhirnya,"     

"Tidak, tidak ada yang berubah, aku sama denganmu, bedanya saat ini aku punya cara mengujudkan keinginan ku," ujarnya mantap. Mendekati keberadaan Thomas.     

"Berhenti bertindak seperti pesuruh," ia berbisik di balik punggung Thomas.     

"aku mengabdi bukan pesuruh! Keluarlah dari kamarku! Sekarang!!" sergah Thomas dia sedang kurang sehat pagi ini dan malas berdebat dengan siapa pun. Termasuk Leona.     

Perempuan yang seharusnya tidak lagi datang ke negeri dan kota ini. Harusnya dia masih di Milan. Bukannya Membuntuti kepulangan Thomas dan masih enggan kembali ke negara tempatnya berasal.     

Sejalan berikutnya benturan pintu terdengar. Leo marah di gertak Thomas.     

***     

"Apa yang terjadi ke mana para asisten rumah yang biasa membantuku?" Aruna menggerutu. Dia tak menemukan siapa pun kecuali suaminya. Yang entah mengapa berperilaku layaknya seorang yang siap memberinya pelayanan.     

"Pagi ini aku sendiri yang akan merawatmu, aku akan memastikan istriku bersih, harum dan kenyang sebelum berangkat dia ikut bersamaku,"     

"salah minum obat apa semalam?" Aruna membuat candaan ringan. Dia yang detik ini menata baju-baju yang sepertinya bakal dirinya kenakan, tertangkap terlalu serius.     

"Tidak ada," menggelengkan kepalanya, si mata biru menghentikan gerakan.     

Tangannya menggantung kaku di udara, memegang baju milik Aruna, "Rey meninggal hari ini, apakah kamu ingin melihat prosesi pemakamannya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.