Ciuman Pertama Aruna

IV-202. Peti Kayu



IV-202. Peti Kayu

0Tangannya menggantung kaku di udara, memegang baju milik Aruna, "Rey meninggal hari ini, apakah kamu ingin melihat prosesi pemakamannya?"      

Akhir-akhir ini dunia menjadi berat untuknya, bukan karena hamil besar. Melainkan keadaan yang kian rumit antara sebuah kehendak yang ia perjuangkan baik secara diam-diam maupun terang-terangan.      

Termasuk beban pekerjaan dan tanggung jawab suaminya yang semakin lama ia sadari yang tidak terkendali. Ikut serta mempengaruhi emosi pasangan suami istri.      

"Ya," mata coklat itu membulat lebar. Bertautan dengan si biru yang detik ini juga menatapnya. Tidak ada keraguan dan getaran berarti.      

Menyadari hal tersebut, menjadikan Mahendra tahu istrinya sedang menyusun tekatnya sendiri.      

"Bantu aku membersihkan diri, dan satu lagi Hendra," Aruna berusaha bangkit dari caranya membaringkan tubuh sejak semalam.      

"Aku ingin mengenakan pakaian berwarna putih, bukan hitam," ia tidak suka dengan baju yang detik ini dipegang Mahendra.      

Mahendra terlihat mengeratkan tangannya pada gaun yang ia bawa. Nampak berdiam diri sejenak. Sebelum lelaki bermata biru meringkas kembali baju-baju yang ia siapkan dan membawanya ke dalam kamar display outfit mereka.      

Keadaan kandungannya lebih bisa diajak berkompromi walaupun kapan saja dia harus waspada. Kelahiran bayinya tidak lama lagi.      

Hal pertama yang ia lakukan pagi ini selepas mendengar pernyataan dari suaminya ialah mendekati nakas di samping tempat tidurnya. Membuka laci paling bawah dan berusaha dengan susah payah meraih berkas yang terselip di sana.      

Hendra yang keluar dari ruang display—dengan baju berwarna putih di tangan—setengah berlari melihat apa yang dilakukan istrinya. Segera, perempuan tersebut direngkuh, dipeluk, dan dinaikkan ke atas ranjang. Matanya memburu tajam menyatakan ia tidak suka atas apa yang dikerjakan istrinya.      

"Hemm," berdehem rendah. Serupa dengan opa Wiryo ketika memprotes sesuatu dengan cara paling sederhana.      

Mengambil kumpulan kertas dengan gerakan gesit. Lelaki bermata biru membanting ringan di dekat keberadaan istrinya.      

"Tidak ada gunanya membaca ini, ia sudah tidak bernafas," Mahendra lupa pernyataannya ini sama halnya memberi tahu bahwa ia sudah membaca isi berkas tersebut sebelum Aruna. Kalau tidak, mana mungkin kalimat sarat makna terkait Rey keluar dari bibir sang suami.      

Lelaki bermata biru tampak marah, namun yang Aruna ketahui hanya permukaan nya saja. Perempuan bermata coklat hangat ini tidak menyadari ada segumpal udara yang memenuhi dada suaminya. Atau bahkan itu bukan udara melainkan sebongkah magma panas yang ia tekan kuat kuat supaya kemarahannya tidak menyembur layaknya lava panas yang meleleh.      

"Apakah kamu sudah selesai membacanya?" Aruna mendongak menatap Mahendra.      

Perempuan mungil dengan perut besar ini bukan wanita bodoh. Dan laki-laki yang berdiri kokoh di hadapan istrinya, siapa pun tahu ia pria yang memiliki IQ di atas rata-rata.      

Jadi yang terjadi saat ini adalah dua manusia yang saling menguatkan argumen Dan mencoba memecahkannya di dalam otak masing-masing.      

"Bagaimana Rey pada akhirnya meninggal?" aruna menuntut penjelasan.      

"Mengapa kau sangat penasaran? Atas apa yang terjadi pada korbanmu," Mahendra menatap dingin wajah istrinya. Tangan itu bergerak menyentuh dagu.      

"Apakah kamu sekedar ingin tahu? Dia masih hidup atau mati?" Ini bukan kalimat manis sepasang suami istri, konfrontasi riuh rendah ini sejalan dengan tersisa nafas diujung bibir lelaki, "Kalau kau ingin tahu hal itu. Mari kita bersihkan dirimu dan bersiap melihat pemakamannya,"      

Walaupun gerakan itu samar dan halus, Aruna menyadari Mahendra membuat penekanan dengan ujung-ujung jemarinya.      

Caranya menyembunyikan kemarahan. Tidak bisa ditutupi dari pengamatan istrinya. Jari-jari Mahendra sempat bersarang penuh penekanan di dagu Aruna.      

"Aku ingin makan terlebih dahulu, apakah kamu tidak lapar?" Aruna menggeser duduknya.     

"Tentu saja aku lapar, tapi makan setelah mandi aku rasa jauh lebih baik," dia bicara tertangkap keluar masuk dari kamar utama menuju ruangan sebelah, ruang display.      

Mahendra membawa tas di tangannya. Barang-barang yang menurutnya adalah bagian dari memastikan istrinya aman, ia masukkan satu persatu ke dalam tas tersebut.      

Orang lain tidak akan membayangkan, lelaki itu lebih detail daripada seorang ibu. Minyak angin, tisu basah, selimut bahkan bantal kecil ia selipkan di dalamnya.      

"Aku sangat lapar, aku ingin makan lebih dahulu," kalimat yang dibumbui ratapan pernah permohonan. Meminta telepon rumah dibawa kepadanya perempuan ini memesan menu khusus. Dopamin. ia perlu memastikan Hendra mendapatkan beberapa asupan makanan yang mendukung peningkatan kadar kandungan dopamin.      

Hidup bersama laki-laki seperti Mahendra membuatnya ikut larut ke dalam caranya jalani kehidupan sehari-hari, hidup disiplin dan memperhatikan hal-hal kecil secara mendetail. Salah satunya makanan.      

Pagi ini, perempuan bermata coklat mengunyah makanannya dengan baik. Beberapa kali dia menyarankan Mahendra untuk segera menghabiskan apa yang Aruna sodorkan.      

Hendra masih belum mengerti mengapa perempuannya tampak putar dan tanpa emosi. Entah itu emosi kalut, takut Rhoma sedih, dan resah. Semua itu tidak ada dalam raut wajah Aruna.      

Aruna terlihat tenang atas kabar kematian Rey, ini sedikit membingungkan.      

Percakapan mereka baru benar-benar dimulai. Ketika pria itu berhasil menanggalkan baju istrinya dan berusaha membantu sang perempuan membersihkan diri.      

"Apakah kamu yakin kamu bisa ikut bersamaku?" Mahendra memperhatikan dengan cermat mimik wajah istrinya.      

"Aku seseorang yang bertanggung jawab atas kematiannya, aku akan datang untuk mengantarnya," Mahendra tidak melihat perubahan apapun. Pria ini membalurkan sabun di seluruh tubuh istrinya. Perutnya benar-benar besar. Dan dia tampak kesusahan terhadap tubuhnya sendiri.      

'apakah ini benar-benar Aruna?'      

Sesuatu yang sangat membingungkan bagi Mahendra saat ia melapisi tubuh istrinya dengan baju putih, selepas itu menggendongnya masuk ke dalam mobil mereka. Tidak gentar sedikitpun di sana.      

Sampai Herry yang duduk di kursi pengemudi membawa sepasang suami istri menuju pemakaman perempuan bermata coklat itu menunjukkan sisi berbeda. Keberanian yang jarang Mahendra lihat.      

.     

Tempat ini sunyi dan kosong. Aruna dibawa menggunakan kursi roda oleh Juan. Menuju jalan setapak di antara jajaran batu nisan.      

Tanah yang sangat lapang. Udara mentari pagi pun menghasilkan sinar matahari yang intens. Sehingga perempuan hamil itu mendapati dirinya terlindungi payung besar untuk menangkal sorotan cahaya matahari.      

Mahendra berjalan lebih cepat. Dia menemui sekelompok ajudan yang paling dekat dengannya. Aruna yang datang dengan gerakan perlahan-lahan melalui cara cuan mendorong kursi roda nya. Menjadikannya seolah tengah disambut oleh kelima laki-laki yang kini menatap dirinya.     

 JAV, Rolland, Wisnu, Alvin. Ke empat pemuda itu berdiri tepat di sebelah peti mati yang terbuat dari kayu jati. Mereka menatap Aruna seperti cara lelaki bermata biru menatap istrinya.      

Aruna membuat pengamatan dengan seksama.      

Gerakan juan mendorong kursi roda Aruna terhenti oleh permintaan Tuannya. Keberadaan saat ini Aruna 100 meter dari liang lahat. aruna mendongakkan wajahnya pada Juan. Perempuan ini berharap dia bisa lebih dekat. Karangan bunga yang ada di tangannya ingin ia letakkan tempat di dekat batu nisan.      

Akan tetapi lelaki bermata biru itu menoleh menggelengkan kepala. Dan Juan menunduk minta maaf.      

Dengan perasaan kurang nyaman, Aruna bisa lihat. Peti kayu itu diturunkan secara perlahan. Lalu menghilang, tertelan kubangan tanah, sebelum akhirnya keempat pemuda memperlihatkan gerakan menutup lubang tanah berbentuk persegi panjang tersebut.      

"Biar saya yang meletakkan bunga anda," Aruna memperhatikan cara juan bicara. Menyodorkan tangannya, meminta buket bunga. Juan tampak lebih sopan dari dirinya yang dulu.      

"Aku ingin melakukannya sendiri, beritahu suamiku. Aku melihat lebih dekat,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.