Ciuman Pertama Aruna

IV-203. Insting



IV-203. Insting

0"Biar saya yang meletakkan bunga Anda," Aruna memperhatikan cara Juan bicara. Menyodorkan tangannya, meminta buket bunga. Juan tampak lebih sopan dari dirinya yang dulu.      

"Aku ingin melakukannya sendiri, beritahu suamiku. Aku ingin melihatnya lebih dekat," teguh Aruna. Dia tahu suaminya melarangnya dan itulah yang mendorong Aruna untuk mendekat.      

Dunia di seputarnya kian tak menentu, insting menuntut sang pemilik untuk waspada terhadap segala hal.      

"Tunggu sebentar," bahkan sopannya Juan tidak begitu membuatnya suka. Tapi Aruna seolah tak memiliki kendali apa pun, dia hanya bisa menamati bagai mana Juan datang pada suaminya dan terlihat dua lelaki yang berdiri tegap itu saling berbicara. Sejalan kemudian mata biru menyoroti keberadaannya.      

'Hendra tengah menilai,' memberi tahu diri sendiri Aruna lekas menarik bibir. dia ingin terlihat biasa, untuk itu ia menyajikan senyum mengantung. Sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam hatinya.      

Dan  selepas menamati dirinya- Aruna-, Hendra kembali bicara dengan Juan. Wajahnya tak semeringah, bertolak belakang dengan Juan yang terlihat langsung berubah ekspresi. Dia datang dengan senang dan raut itu menjadikan Aruna tahu Hendra mengizinkannya.      

Mendorong hati-hati kursi roda, Juan membawa Aruna mendekati nisan bertuliskan Rey Akiyama Barga. Mata Aruna mengamati sekian detik sebelum buket bunga di tangannya bahkan tak bisa dia dekatkan pada batu nisan.      

Perutnya yang besar menjadikannya tak bisa merunduk ke depan. Yang lain hanya melihatnya. Bahkan beberapa sekedar memilih untuk menunduk saja.      

Untuk itu Aruna bahkan tak bisa meletakan dengan benar. Dia menjatuhkan bunga di dekat nisan Rey. Tanpa doa, tanpa kata-kata. Tak ada ungkapan lain yang terdengar selain hembusan panjang sang perempuan.      

Membeku beberapa saat, semua lelaki di sekitarnya tak juga bicara, hanya diam saja sampai dia sendiri menginginkan untuk kembali.      

Aruna sampai ke mobil yang semula membawanya, dan kini ia kembali menoleh ke belakang melihat terakhir kali sebuah tempat yang dingin dan kelam dalam artian sesungguhnya. Makam senantiasa memberi kesan tersendiri.      

"Sayang, aku tak bisa ikut kembali ke rumah bersamamu," Hendra baru saja menurunkan kursi untuk Aruna. Kursi yang di buat merebahkan punggung. Dia menjadikannya 45 drajat lebih rendah dan itu sangat membantu.      

Perempuan hamil itu meletakan punggungnya menoleh ke arah suaminya. Dan lelaki bermata biru seperti kebiasaannya ketika dia hendak meninggalkan istrinya. Ia bakal memberi sesapan di bibir sang Perempuan.      

"Apakah lama?" ia yang hendak keluar dari mobil memilih untuk menahan kehendaknya. Menoleh ke belakang sekali lagi, sebuah gerakan mengusap perut di tunjukkan sang lelaki.      

"jangan khawatir, aku akan datang sebelum kalian merindukanku," matanya menatapnya memberi keyakinan. Tapi tidak dengan hati perempuan dia tahu lelakinya akan pulang larut atau mungkin akan mengirimkan bunga dan sejenisnya untuk mendamaikan hati.      

"Aku membutuhkanmu, saat ini," pria di hadapan Aruna telah turun dari mobil dan hendak menutup pintu. Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan.      

"akan aku pastikan aku pulang lebih cepat,"      

'dia hanya membuat kalimat harapan,' pikiran Aruna tak mampu di kendalikan oleh pemiliknya. Dia memilih memalingkan wajah ke arah jendela kaca saat lelakinya mengarahkan tatapan ke padanya sebelum menutup pintu.      

Sejalan kemudian Herry dan Juan memasuki kursi sisi depan : "jangan menjalankan mobilnya," dia meminta. Dua orang ajudan itu saling menoleh tapi dia mengikuti kehendak tanpa bertanya. Selepas mobil melaju lebih cepat dari mobil yang membawanya yang artinya sang suami telah pergi meninggalkan pelataran makam sunyi ini perempuan tersebut kembali mengujarkan kehendaknya : " keluarlah kalian!"      

Kembali saling memandang kini salah satu menoleh padanya dan itu adalah Herry. Aruna lekas menegaskan keinginannya: "aku butuh waktu sejenak," ungkapannya jelas dan nyata. Dan tampaknya tak akan bisa di abaikan.      

Juan menyentuh lengan Herry memintanya untuk ikut keluar seperti cara Juan menuruni mobilnya. Mereka berdiri tenang di depan mobil yang terparkir dan seketika seseorang yang dia dalam memejamkan matanya. Air mata tumpah di sana, awalnya tak seberapa lama-lama kian banyak hingga tak terkendali.      

Aruna menangis , mengisak , dan merintih dalam keadaan yang di buatnya setenang mungkin. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan menoleh ke arah jendela untuk mencari sumber yang bisa menguatkannya. Nyatanya yang ada di luar sekedar kumpulan batu nisan dan sisi lainya adalah jalan lenggang.      

Sesenggukannya di tahan kuat-kuat sampai detik berganti menit hingga sesuatu di dalam perutnya menendang dan memberi tahu bahwa dia ada dan mungkin saja dia ikut resah seperti keresahan yang di suguhkan sang tubuh inang alias ibunya.      

Aruna mengusap lembut perutnya. Sejujurnya dia tak yakin tangisan ini atas rasa bersalah terhadap kematian Rey, atau atas cara suaminya yang pergi bersama kesibukannya saat dia butuh seseorang untuk menguatkan.      

Dia masih belum percaya sudah membunuh seseorang?      

Detik ini jiwa perempuan muda bergejolak. Redam dalam kemelut yang tak menentu, perlukah ia kalah dengan keadaan ataukah? menurunkan hajat besarnya sang perempuan yang terkurung dalam sangkar emas.      

Di luar mobil ini Herry dan Juan saling memandang untuk ke sekian kali, mereka tahu ada yang salah tapi mengan melontarkan pertanyaan satu sama lain.      

Dalam ke-terdiam-an mata mereka memberi tahu bahwa salah satu perlu memeriksa. Juan membalik separuh tubuhnya dan mengintip ke dalam kaca mobil.      

"Nona hanya diam," bisik Juan.      

"Itu mustahil," sergah Herry buru-buru menoleh ke belakang. "dia menangis,"      

"Dari mana kamu bisa tahu?" Juan bingung Herry seolah sangat yakin atas kalimatnya.      

"Gestur tangan di mata, ia suka menyembunyikan perasaannya dan begitulah caranya," ungkap Herry.      

"Aku akan masuk ke dalam dan aku akan mengemudi, jangan menghalangiku," pemuda yang berucap saat ini adalah Juan. Dia berjalan sangat cepat hingga Herry tak sempat meraih lengan bajunya. Dan benar saja dia masuk ke dalam dan langsung menoleh pada Aruna.      

"Anda ingin ke mana?" Aruna buru-buru merapikan dirinya dan menoleh ke sisi lain menyembunyikan warna merah matanya.      

"Aku harus pulang, aku tak punya kesempatan lebih dari ini untuk pergi ke tempat lain," sadar dengan keadaannya dia yang memberi jawaban tidak banyak bicara.      

"tapi kamu masih boleh berkeliling dengan merebahkan diri di mobil kan?" Juan menggunakan kata kamu dan itu mengingatkan Aruna terkait bagaimana pemuda itu dulu suka sekali berbuat memperlakukannya dengan cara berbeda di banding ajudan-ajudan lain.      

Aruna hanya mengangguk, tak ada kalimat lain yang mengiringi jawabannya.      

"oke mari kita bersenang-senang," celetuknya seolah dia punya misi lain, kalimat ini seiring dengan keberanian Herry masuk ke dalam mobil tanpa di minta oleh nonanya.      

.      

.      

Mobil melaju, melintasi jalanan dan mendapatkan protes seorang rekan kerja, yang tak lain adalah Herry ketika Juan mengemudikan mobil tersebut ke arah berbeda dari jalur menuju rumah induk.      

"jangan tutup matamu nona Aruna, perhatikan kanan jalan," mata Aruna lekas membuka lebar, naik sedikit dan melihat ke sisi kanan jalan. Seiring mobil di pacu dengan kecepatan rendah.      

"Kau tidak tertinggal dari siapa pun dan kau ... ... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.