Ciuman Pertama Aruna

IV-204. Pita Kecil



IV-204. Pita Kecil

0"jangan tutup matamu nona Aruna, perhatikan kanan jalan," mata Aruna lekas membuka lebar, naik sedikit dan melihat ke sisi kanan jalan. Seiring mobil dipacu dengan kecepatan rendah.      

"Kau tidak tertinggal dari siapa pun dan kau tak perlu menangisi apa pun yang terjadi di dalam hidupmu," ujar Juan. Mendorong Herry untuk lekas menoleh memperhatikan perilaku di luar batas yang dilakukan rekan kerjanya.     

Matanya melebar seolah memberitahukan sebuah pesan : 'apa yang kamu lakukan,' bahkan ajudan berbadan atletis tersebut hampir menjerat kerah baju Juan.     

"Aku bisa patuh sepertimu, sayangnya aku tak bisa mengabaikan perasaanku," Juan mengentak tangan Herry yang berada pada kerah bajunya.     

"Bisakah aku turun?" ini suara Aruna. Spontan dua orang yang lain menoleh kepadanya.     

Bisa dibayangkan bagaimana Juan tersenyum sedangkan Herry sebaliknya. Dia tak menginginkan sesuatu di luar prosedur. Lebih dari itu semua perempuan di kursi belakang tengah membuka mata lebar-lebar.     

'Hendra tak pernah melanggar janjinya,' berbisik pada dirinya sendiri. Bangunan yang dia intip melalui kaca jendela saat ini adalah tempat yang amat sangat spesial dalam perjalanan hidupnya.     

Surat Ajaib telah berada di sana dia hadapannya, namun bukan lagi ruko mungil dua lantai dengan kondisi seadanya yang mana di atas ruko tersebut terdapat sebuah rumah sederhana di atas rooftop nya. Detik ini yang dia dapati adalah gedung dengan lima lantai. Aruna masih mencoba menghitungnya. Menghitung lebih dari tiga kali untuk memastikan penglihatannya apakah yang berada di hadapannya adalah bangunan lima lantai sungguhan.     

Bahkan ruko di sebelah keberadaan Surat Ajaib menghilang. ikut melebur bersama bangunan lima lantai tersebut, walaupun kini yang tertulis pada gedung adalah 'Miracle Wave,' sebuah marketplace digital yang pernah di paparkan konsepnya di hadapan Aruna. (season II)     

Aruna pikir itu sesuatu yang masih butuh waktu lama untuk diwujudkan, nyatanya dia bisa melihat dengan sangat jelas keberadaan gedungnya.     

Aruna tidak begitu memperhatikan ketegangan dua orang ajudan suaminya. fokusnya terlalu tersita pada gedung di hadapannya. Dan begitu senang saat Juan menyiapkan kursi rodanya dan dia di dorong mendekati pintu lobi bangunan tersebut.     

Benar-benar perkantoran yang bahkan di luar ekspektasinya. Impian yang dia buat terkait Surat Ajaib sangat tinggi akan tetapi tak sepesat dan seformal ini kondisinya.     

Hal yang lebih menakjubkan lainnya, saat ia memasuki pintu otomatis, sebuah suara familiar menggantung di udara. 'selamat datang, mohon tunggu sebentar kami segera hadir melayani," seulas senyuman hadir di bibir Aruna. ini adalah suara dari alarm buatan Agus, sahabatnya. Seseorang yang saat ini telah menghilang dari lingkaran kehidupan Aruna.     

'Terlalu banyak uang menghilang,' menghela nafas panjang, menyadari pengaruh posesif suaminya benar-benar dapat dirasakan detik ini.     

Dia tak punya lingkaran kehidupan lain, hanya Hendra dan keluarga di rumah iduk, pada ajudan dan asisten rumah besar itu yang berada di sekitarnya.     

Masuk lebih dalam seorang berpakaian sopan dengan rok sekian inci di bawah lutut datang menyapa.     

"bisa saya bantu?" Herry yang menanganinya. Dia membisikan sesuatu pada petugas tersebut. Entah mengapa Herry pada akhirnya luluh dan memberi ruang nonanya untuk mengamati sekitar.     

Pada dinding di belakang lobi selain tulisan 'Miracle Wave' ada tulisan lain yang lebih kecil dan itu yang mengakibatkan perempuan hamil tersenyum cerah 'by Surat Ajaib,' walaupun tak begitu besar Surat Ajaibnya masih di sana.     

"Nona anda tidak ingin melihat ini?" Juan bertanya. Dia berdiri pada etalase di tepian ruangan yang menjulang tinggi dan lebar.     

Aruna mendekat, dia berupaya lebih dekat dengan menggerakkan kursinya sendiri dan Harry lekas membantunya.     

Perempuan ini meletakan kedua telapak tangannya pada kaca etalase, "bisakah aku mendapatkan tisu?" dia bertanya dan Herry lekas berlari mencarikan kebutuhan istri tuannya.     

Juan diam-diam memperhatikan gerak gerik perempuan muda tersebut, jelas dari sorot mata dan caranya menampilkan raut wajah, Aruna tengah terharu biru. Benda-benda di etalase tersebut adalah pernak-pernik sisa penggalan display surat ajaib sebelum dia benar-benar meninggalkannya dan ia pikir tempat ini telah usang.     

Display pernak pernik ini di tata sedemikian elegan bahkan sebuah jepit pita rambut buatannya dulu yang hanya di sematkan pada pembungkus kini ada pada sebuah kotak kaca yang menarik hati. Sehingga terkesan berkali-kali lipat lebih spesial dan dia tahu mungkin ini adalah bagian dari permintaan suaminya, Aruna sangat mengerti bagaimana lelaki bermata biru itu punya sensen yang tinggi dalam hal meningkat nilai barang.     

Tisu di tangan menghapus sudut pelupuk mata sejalan kemudian dia mengeluarkan handphone dan memotret apa yang dia lihat. Senyumnya lebar tiap kali memeriksa hasil bidikan.     

Juan menatap Harry tiap kali senyum itu diperlihatkan nonanya, dia mengejek rekan kerjanya dan herry mengerutkan keningnya sebab tak suka tatapan Juan.     

"bisakah aku mendapatkan pita ini?" dia menoleh pada dua ajudannya. Layar di handphone menyajikan pita mungil yang buru-buru dia renggut Herry dan dibawa pada petugas yang tadi hendak menyapa Aruna.     

"maaf kak, kami tidak menjualnya," jelas seorang yang bertugas pada front office.     

"bukan kah aku sudah mengatakan nona ini pemilik gedung," Herry tak suka mendengar penolakannya.     

Petugas tersenyum kecut, perempuan hamil besar di atas kursi roda ini tak pernah terlihat. Tentu saja ungkapan lelaki berseragam formal tersebut tak bisa ia yakini.     

"Herry??" perempuan muncul dari balik punggung ketiganya. Herry dan yang lain menoleh kecuali aruna yang masih setia menatap pita buatannya di dalam etalase.     

'Lilian,' batin herry menyuarakan nama perempuan yang detik ini mengenakan high heels dengan balutan blazer dan rok selutut. Lilian erat dengan herry setiap minggu mereka berada beribadah di tempat yang sama, atau lebih tepatnya dekat dengan tempat tinggal gadis yang saat ini tidak lagi mengenakan kacamata tetap pada matanya yang kecil. Melainkan mengenakan lensa yang menjadikan netar hitam matanya lebih besar dan indah.     

"Arunaaaa??" tadinya dia yang memanggil nama herry dengan nada lembut, tapi sekarang tampaknya lily menampilkan kepribadiannya yang asli.     

Aruna menoleh, dan perempuan itu lekas berlari memeluk sahabatnya. Dia memeluk sambil menepuk-nepuk punggung Aruna lalu menggosok perut aruna dengan takjub dan bersemangat namun itu tak bertahan lama. Herry sudut belakang blazernya dan lekas menyingkirkan lily layaknya menjinjing kucing yang baru berbuat nakal.     

"Tuhan.. apa-apaan sih ini!" menoleh pada herry memberi intimidasi selepas sebuah siku menghentikan perilaku protektif berlebih sang ajudan terhadap istri tuan yang harus di jaga.     

"Lily..." Aruna sama senangnya. Lily menurunkan kakinya menyejajarkan dengan tinggi aruna di atas kursi roda.     

"Kenapa tak mengatakan padaku kamu akan kemari," suara lily menuntut.     

Aruna hanya tersenyum, menoleh ke arah etalase, "tolong berikan pita itu," jarinya menunjuk sebuah jepit pita kecil, "padaku,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.