Ciuman Pertama Aruna

IV-205. Kursi Didekat Jendela Kaca



IV-205. Kursi Didekat Jendela Kaca

0"Kenapa tak mengatakan padaku kamu akan kemari," suara lily menuntut.     

Aruna hanya tersenyum, menoleh ke arah etalase, "tolong berikan pita itu," jarinya menunjuk sebuah jepit pita kecil, "padaku,"     

Lily lekas menoleh pada seorang front office yang sempat menolak permintaan Aruna. Dan dengan segera perempuan tersebut lekas memenuhi permintaan Aruna. kini jepit pita telah sampai pada telapak tangan perempuan yang wajah, kaki dan hampir seluruh tubuhnya membengkak besar akibat kehamilan yang mulai dekat dengan hari persalinan.      

Dia yang mendapatkan apa yang ia mau lekas menyematkannya pada sudut rambut. mungil dan cantik, pita kecil tersebut bersarang di sana, dia sela-sela rambut aruna.      

"Aruna ayo kita.." Lily meminta waktu lebih aruna sadar itu, tapi perempuan hamil ini juga menyadari bagaimana gundahnya ajudan suaminya menunggu dirinya terutama Herry. Untuk itu aruna menggeleng ringan.      

"maafkan aku lily, lain kali kita ngobrol lebih banyak," dia yang bicara merenggut telapak tangan sahabatnya lalu mengelusnya. "aku harus pulang, tadi hanya spontan mampir," lalu seutas senyum di tunjukan Aruna, berkebalikan dengan lawan bicaranya yang spontan tak menginginkan apa yang dia putuskan.      

"kamu bahkan tak ingin menemui kakakmu?" tanya lily.      

"kak anantha?" konfirmasi aruna.      

"beliu pimpinan kami di sini," Aruna hanya tersenyum dan mengangguk ringan.     

"sampaikan salamku saja," ujar Aruna.      

Kursi roda itu meluncur ringan meninggalkan bangunan yang berdiri di lokasi surat ajaib. Seperti obat rindu baru saja dia masukkan ke dalam mulutnya dan di telan, sebuah gumpalan di dada telah sirna secara berangsur-angsur.      

Dalam kepergian mobil yang membawanya, Aruna mendapati lambaian tangan lily yang berubah total menjadi sosok perempuan berbeda, berkali-kali lipat terkesan lebih dewasa.      

.     

.     

"juan terima kasih," perempuan bermata coklat telah sampai pada teras utama rumah induk. Kursinya siap didorong masuk ke dalam, seiring dengan itu para ajudan menyerahkan keberadaannya pada asisten rumah induk. Dan hendak melangkah pergi.      

Mendengarkan ucapan terima kasih dari istri tuannya. Juan menghentikan langkah kaki.      

"Andaikan kamu mau," juan belum mengatakan apa-apa, Akan tetapi perempuan bermata coklat tersebut lekas mengangguk. Hanya karena dia tidak dipanggil dengan sebutan 'anda' melainkan 'kamu' sesuatu yang terkesan bersahabat daripada status nona dan bawahannya.      

Juan secara implisit menatap orang-orang di sekitar Aruna. Serta merta perempuan ini paham. Meminta yang lain menyingkir sejenak sebelum mereka menjalankan tugasnya. Membawa Aruna kembali memasuki kamar.      

Detik ketika beberapa orang tak lagi berada di dekat keduanya. Juan merunduk dan Berbisik.      

"Apakah kamu mau melihat jauh ke bawah," sungguh Aruna tidak mengerti ungkapan lelaki ini, "berkenalan dengan seorang perempuan yang terkurung bertahun-tahun, demi putranya," sejenak ada ekspresi tertegun yang di suguhkan Aruna.      

Menoleh dan menatap Juan, ".." Aruna kehilangan kata. Pria itu mengangguk ringan seolah mendorong sebuah keyakinan: kamu harus melihat sesuatu yang lebih buruk dari apa yang kamu hadapi detik ini.      

Wajah pria itu berbicara demikian. Walaupun dari mulutnya tak terdengar kata-kata.      

"bawa perempuan itu padaku, menemuiku," otomatis juan lekas mengangguk. Gummy smile-nya tertangkap Aruna. Entah bagaimana Aruna menyukai ekspresi yang baru saja di suguhkan seorang ajudan yang sebenarnya memiliki ikatan saudara dengan suaminya.      

"Kembalilah ke kamar, aku akan membawanya pada mu," pria itu lalu berjalan meninggalkan Aruna. Sebelum benar-benar pergi Aruna melontarkan kalimatnya sekali lagi.      

"aku suka kau menghilangkan panggilan 'anda'," sekali lagi gummy smile itu terlihat.      

***     

Di atas ranjang tidur dengan selimut merah yang membungkus busa empuk, tergeletak sebuah berkas. Sekumpulan kertas dengan materai dan tanda tangan basah di atasnya.      

Tanda tangan basah itu atas nama Baskoro sebagai pihak pertama. Dan tanda tangan lain masih kosong yang pada sisi di bawahnya terdapat sebuah nama, tak lain adalah Syakilla.      

Perempuan berperawakan kurus itu baru saja menyelesaikan permintaan lelaki bersurai pekat untuk membersihkan rambut hitam bak tinta.      

Seperti apa yang Pria tersebut katakan bahwa segala yang dia inginkan ada di atas ranjang, alias kepemilikan atas seluruh aset ayahnya, Baskoro.      

Masih mencoba memahami Dengan membacanya secara teliti, lelaki bersurai pekat yang baru saja selesai mandi melempar dirinya ke atas ranjang.      

Dia duduk di atas selimut berwarna merah. Tangannya membawa sebuah pena dan lekas disodorkan pada Shakila.      

"Sesuai permintaanmu, setelah kamu menandatanganinya kamu akan mendapatkan semua aset keluargamu. Bahkan rumah mereka," suaranya dingin. Akan tetapi ada penekanan penuh makna di sana. "Semua itu mas kawin dariku, jadi tak ada yang perlu kau khawatirkan, seperti mengembalikannya ulang atau lainnya, cukup mematuhiku,"      

Shakila merengut pena dengan hati-hati. SeHati-hati caranya menggores tiap lembar kesepakatan serah terima kepemilikan aset dan perusahaan antara dirinya dengan ayah yang telah menjualnya pada lelaki ini.      

Gibran tersenyum samar melihat apa yang dilakukan Shakila. Senang menyadari gadis itu serta merta akan menyerahkan seluruh dirinya berdasarkan goresan pena yang ada di atas tiap lembar kertas.      

Tepat ketika seluruh lembar kertas tersebut ditandatangani tinta basah dari gerakan tangan perempuan bertubuh kurus. Gibran menarik tubuh itu dan menjatuhkannya di ranjang.      

Shakila serta merta terdiam membeku.      

"Apa kamu takut aku melakukan sesuatu padamu?" gadis yang tubuhnya jatuh di atas ranjang berselimut merah tak bergerak. Tidak menggeleng atau mengangguk. Dia mengamati dengan sungguh-sungguh tiap gerakan lelaki yang detik ini masih memakai piyama handuk.      

"Kau harus terbiasa syakila, kita akan menjadi suami istri, aku sudah membayar maharmu," mendekat dan hampir menyentuhkan bibirnya pada bibir shakila. Sayangnya perempuan itu secara spontan meletakkan tangannya di dada Gibran dan menahan.      

Pria yang menggelap, di mana netra hitamnya tertelan pelupuk mata. Kini terbuka lebar dan seolah menampakkan jilatan api pada mata hitam pekat nya.      

"Maaf, beri aku waktu," suara lirih shakila hilang tertelan cara pria itu menghentak lengan kurus bak ranting.     

Menariknya kuat-kuat, dan memintanya mengikuti setiap langkah yang diusung Gibran. Mereka menyusuri ruangan tengah kemudian menaiki anak tangga demi anak tangga. Sang pria sempat meminta sesuatu pada asisten pribadinya.      

Dan dengan langkah gesit asisten itu berlari, sekejap kemudian datang menyerahkan sebuah kunci. Yang dijadikan lelaki bersurai pekat untuk membuka ruangan di lantai tertinggi.      

Memutar handle kunci, lalu mendorong pintunya dengan kasar, syakilla di lempar ke dalam.      

"maafkan aku.." ujar Gibran, sebelum siluetnya menghilang.      

Dan sebuah suara darinya sela-sela cara asistennya mengunci pintu di hadapan syakila. "Berikan satu botol minum untuknya, tapi tidak dengan makanan," suara ini beradu dengan langkah kaki menuruni tangga.      

Sempat terdengar kata "Ya tuan," sejalan dengan handle pintu ditarik kemudian dimatikan fungsinya, kunci berputar dan tak memberi Kesempatan untuk siapa pun membukanya.      

Dibalik itu semua, shakila hanya berdiri termangu, sebelum perempuan itu berputar mengamati sebuah ruangan yang cukup besar untuk dihuni satu orang saja. Ruangan berwarna putih, dilengkapi berbagai fasilitas.      

Tapi yang paling menarik di sini adalah sebuah kursi yang berada di dekat jendela kaca besar. Kursi yang tampaknya sering digunakan seseorang, entah siapa, duduk di sana untuk memandang langit.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.