Ciuman Pertama Aruna

IV-208. Kantong Hitam



IV-208. Kantong Hitam

0"Apa yang terjadi," Hendra merasakan mobil yang dikendarai Rolland melaju di atas kecepatan yang biasa para ajudannya suguhkan.     

Alvin menoleh ke belakang menyajikan ekspresi kurang jenak. Mobil bentley yang membawa tuannya sudah menembus pusat kota dan kini kuda besi itu sebentar lagi bakal menuju sebuah jalanan menanjak yang dimiliki secara pribadi oleh keluarga Djoyodiningrat.     

Hendra mengikuti arah pandang sang ajudan dan dia menyadari ada sebuah mobil di belakang yang sedang memburu laju mereka.     

Belum sempat membuat keputusan untuk tindakan selanjutnya. Tiba-tiba saja bunyi decitan dari ban mobil memekikkan telinga. Rolland menancapkan kakinya pada pedal rem sekuat dia bisa, menjadikan Mahendra tersentak ke depan hampir membentur kursi pengemudi dari arah belakang.     

Sebuah mobil berhenti tiba-tiba tepat sebelum berbelok ke arah jalan pribadi milik keluarga adi daya Djoyodiningrat.     

Mobil hitam melempar kantong besar seukuran manusia. Menjadikan siapa pun yang memandang sempat terhenyak sesaat. Sejalan dengan hal tersebut, mobil yang mengikuti dari arah belakang memencet klakson keras-keras dan sebuah jari tengah keluar dari kaca jendela. Makian tanpa kata yang sangat tak sopan untuk di pertontonkan terlebih sepertinya dua mobil tersebut tahu siapa pemilik bently.     

Melihat kejadian yang janggal tersebut Alvin dengan sigap mengeluarkan kamera dia memotret nomor polisi, sebelum Handphone tersebut digunakan sang ajudan untuk membuat panggilan. Alvin menghubungi tim yang lain. Sedangkan Rolland segera memundurkan Bentley yang tengah ia kemudikan.     

Merasa posisi mobil dapat dikategorikan aman. Rolland mengeluarkan senjata api. Dia membuka pintu di samping kursi kemudi dan turun lebih dahulu.     

Ajudan tersebut memeriksa kantong besar yang di bunga oleh mobil Van hitam.     

"sial," desisnya, menyadari sesuatu yang berada di dalam kantung hitam tersebut.     

Di sisi lain Alvin sudah mendapatkan informasi terkait siapa pemilik nomor polisi dari mobil van. Dan itu tidak lain adalah kantor penyedia jasa keamanan pribadi milik salah satu anak perusahaan tarantula. Atau lebih tepatnya perusahaan yang saat ini dipimpin oleh putra tertua Barga.     

"tuan benda itu di kirim Tarantula, sebaiknya anda segera menuju rumah induk, kami akan.." kalimat Alvin terhenti sejenak. Rolland baru saja datang dan membuka pintu.     

"ketua gangster, huuh," dia yang bicara menggeleng dan mendesah seolah tak percaya apa yang baru ia dapati, "itu mayatnya. Pria yang kita jadikan umpan," jelas Rolland.     

Di balik ekspresi resah rolland, Mahendra turun begitu saja. Dia dingin tak bersuara. Mendekati kantong hitam dan menarik pengait yang tersaji pada kantong tersebut. Menekuk kakinya, sang tuan muda Djoyodiningrat mengamati dengan seksama Wajah pucat pasi -tidur dalam diam dan kebekuan-     

Dan Hendra menyentuhnya. Menyentuh darah yang mengering di kepala.     

"dia baru saja meninggal," ungkap Mahendra, "Kuburkan dengan benar," perintah lelaki bermata biru pada dua ajudannya yang memasang posisi awas. dalam keadaan terbuka semacam ini segala hal bisa saja terjadi dan tak bisa di pungkiri sesuatu yang mereka temukan detik ini yang kian memicu kehati-hatian Rolland dan Alvin dalam mengawal.     

"Jangan lupa beritahu kerabat dekat dan anak buahnya," hendra bangkit. Pria ini menegakkan kakinya.     

"sebaiknya anda segera menuju rumah induk tuan," pinta Rolland.     

"itu membuat kami lebih jenak," dengan sopan Alvin menyerahkan kunci mobil pada lelaki bermata biru.     

"bekerja lah serapi mungkin," harap Mahendra, mata ketiganya melihat kedatangan mobil lain yang mereka tahu itu adalah mobil tim black pardus. Siluet Harry dan Juan tertangkap selepas kaca mobil diturunkan dan dengan keberadaan mobil lain yang siap menyingkirkan kantung hitam, hendra rela meninggalkan orang-orangnya untuk bekerja dengan cara terbaik mereka.     

"Juan, ikut denganku," pemuda yang masih memiliki ikatan saudara dengan sang tuan lekas memasuki kursi pengemudi dan mahendra duduk di sampingnya.     

Bently kembali melaju, kali ini kuda besi tersebut menapaki jalan menanjak membawa dua orang menuju rumah induk.     

"sepertinya kamu serta ibumu," sempat saling melirik satu sama lain, gerbang di depan terbuka, "tidak melintasi gerbang ini, jika kalian berdua ingin selamat," saran mahendra.     

"saya mengerti," pemuda tersebut mengangguk dalam, sebelum membuka pintu dan segera berlari untuk membukakan pintu tuannya.     

Hendra tersenyum mendapati tindakan sepupunya, sebelum melangkah masuk ke dalam sekali lagi hendra menoleh dan menatap dengan serius Juan, "semoga ibumu bisa mengerti, aku bisa mengirim kalian keluar negeri, tapi aku tak yakin bisa menjamin keselamatan kalian,"     

"Aku sangat mengerti, aku pastikan ibuku paham,"     

"baguslah,"     

***     

"Mia, panggil saja dengan nama, aku lebih suka dipanggil seperti itu nona," ujar perempuan yang duduk di dekat ranjang Aruna.     

"kalau gitu aku juga harus dipanggil dengan Aruna saja," tutur Aruna. sama dengan lawan bicaranya, dia sedang menegaskan.     

Perempuan yang duduk di kursi tersenyum menampilkan giginya, "sudah berapa lama anda menikah?" Mia bertanya.     

"dua tahun lewat, yah... aku bahkan lupa merayakan hari pernikahan kami, Hendra sangat sibuk," keluh perempuan hamil.     

"Tapi, siapa pun bisa melihat cinta suami anda sangat besar, andai aku terlahir kembali, aku akan minta pada Tuhan untuk mengizinkan malaikat pencatat takdirku menuliskan kehidupan seindah anda," tutur Mia.     

"kehidupanku tak seindah yang anda bayangkan," Aruna menggeleng.     

"tidak ada kesempurnaan dalam hidup siapapun, tapi untukku hidup anda berkali-kali lebih sempurna," ujar Mia. Kembali aruna menoleh mengamati perempuan yang cara tersenyumnya mirip Juan, "terlahir sebagai putri dari seorang pembantu, dan mau tak mau melanjutkan pengabdian di rumah yang serasa neraka. Berharap suatu saat ketika dewasa bisa pergi dan menjalani kehidupan bebas, nyatanya hanya berakhir di dalam kamar," monolog yang terdengar mengerikan di telinga aruna.     

"benarkah anda ditawan selama puluhan tahun?"     

"lebih dari dua puluh tahu," tegas mia.     

"apa?" mata coklat aruna terbuka lebar.     

"aku tak pernah melihat, pantai, tumbuhan yang tumbuh, bahkan semut yang berbaris adalah hiburan yang menyenangkan bagiku," mendengar pernyataan Mia kedua tangan Aruna naik menangkap mulutnya.     

"Bagaimana anda bisa bertahan?" suara Aruna bergetar.     

"aku punya putra di rumah itu, dan pria itu akan berbuat baik padanya kalau aku tak melanggar segala aturan yang dia buat, aku tak bisa berbuat apapun selain mematuhinya, anda hamil, anda pasti sangat mencintai janin di kandungan anda, itu juga yang saya rasakan, aku mencintai dengan sangat putraku. Akan aku lakukan apapun asal dia tak diperlakukan dengan buruk," penjelasan panjang mia menjadikan dada aruna sesak.     

Dia mengisak, walau berusaha ditekan sekuat tenaga, "maaf aku sangat cengeng semenjak hamil," dia sela-sela jatuhnya bulir air dari pelupuk mata, aruna mencoba menjelaskan betapa mudahnya hatinya luruh, tersedu-sedu.     

"tak apa no.." keduanya melihat ke arah pintu, seorang lelaki bermata biru berdiri di sana, alisnya menyatu dan buru-buru berjalan cepat ke arah istrinya.     

"Apa yang kau lakukan? Kenapa istriku menangis!" hendra tersulut melihat wajah duka istrinya. Ibu Juan tetaplah perempuan kesayangan Rio dan lelaki bermata biru menjadi kacau melihat situasi yang tersaji di hadapannya.     

"tidak.. hendra.. aku saja yang cengeng," Aruna lekas menarik lengan suaminya.     

"Tolong anda ke luar," pinta hendra menahan diri.     

Mia mengangguk dan mundur meninggalkan perempuan hamil yang belum berhenti menangis. Yang mana, di detik ini si mata coklat sembab tersebut tengah mendapatkan pelukan suaminya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.