Ciuman Pertama Aruna

IV-209. Kenangan Pertama



IV-209. Kenangan Pertama

0"Tolong anda ke luar," pinta Hendra menahan diri.     

Mia mengangguk dan mundur meninggalkan perempuan hamil yang belum berhenti menangis. Yang mana, di detik ini si mata coklat sembab tersebut tengah mendapatkan pelukan suaminya.     

Punggungnya diusap-usap, tak lama kemudian pelukan itu meregang. Dan sang Lelaki bermata biru lekas menghapus air mata istrinya. Menggunakan ujung-ujung jari, lelaki tersebut menapaki pipi sang istri.      

Dia mencoba menghilangkan butiran air yang merembes di pipi perempuan hamil.      

"Jangan menangis, kamu membuatku terluka ketika aku melihat tangisanmu," ujar Mahendra mengecup pelipis istrinya. Sekejap kemudian pelukan ia tunjukkan.      

Mendekap lebih erat, dan menyembunyikan kepala sang Istri ke dalam dagunya. Sambil mengucapkan mantra untuk menenangkan perempuan yang masih sesenggukan : "menangis tidak menyelesaikan masalah, katakan apa yang kamu inginkan, atau kalau tangisanmu bagian dari pelipur lara, kamu boleh menangis tapi kamu harus menceritakan apa alasannya supaya sesuatu di dadamu ini bisa luruh dan terasa lega,"      

Hendra tidak sadar apa yang dia ucapkan bukannya membuat Aruna lebih lega. Perempuan hamil yang hormonnya tidak menentu tersebut kian menjadi.      

Aruna menggeleng tanpa kata.      

Hal tersebut membuat lelaki bermata biru kesulitan untuk sekedar menatapnya, terlebih memahaminya.     

Mengelus rambut sang istri, tatapannya merajai setiap detail wajah. Dan berhenti untuk meraih tangan Aruna.      

Mendekap erat tangan perempuan, berharap cara tersebut bisa memberikan dorongan kekuatan.      

Dalam dunia yang tidak menentu ini setiap orang memiliki ketakutan sendiri-sendiri. Mungkin ketakutan tertinggi Aruna ialah patahnya sayap-sayap seekor burung cikalang sehingga ia tak dapat terbang bebas.      

Aruna bukan seorang perempuan yang benar-benar kosong pikirannya. Dia tahu siapa Juan, dan dia mengerti seperti apa kedudukan perempuan yang mengatakan bahwa ia ibu Juan. Kedudukan Mia dalam lingkaran yang membelenggunya.      

"aku.." setelah beberapa lama Mahendra membiarkan perempuannya larut dalam gejolak emosinya sendiri. Pria tersebut mendengarkan satu kata yang diiringi cara perempuan yang menghisap udara lalu dikeluarkan secara tersengal-sengal, "bayiku.." bibirnya bergetar. Seolah satu kata merupakan sesuatu yang butuh perjuangan untuk diucapkan.      

Kenyataannya memang sangat tidak mudah sekedar untuk mengatakan : "oma.. mommy..," menjeda sesaat untuk mengambil nafas, "apakah seumur hidup mereka.. dan seumur hidup kami, hanya akan berada di dalam rumah ini.. bayiku.. aku mau dia hidup bahagia.. normal hiks.. pergi ke berbagai tempat yang dia inginkan tanpa rasa takut,"      

Mahendra belum mengangkat wajahnya untuk menatap Aruna, namun lelaki bermata biru ini memasang telinganya baik-baik untuk memahami setiap kalimat yang dilontarkan istrinya.      

Jika seorang Mia, perempuan yang berasal dari lawan keluarga adidaya Djoyodiningrat. Hidup dengan cara seperti itu. Seperti halnya Shakila yang dilihat Aruna sebagai alat, bulan-bulanan dua keluarga untuk meraih tujuan mereka masing-masing dalam persaingan sengit dan permusuhan yang tak berkesudahan ini.      

Lalu bagaimana dengan dirinya dan bayinya? Akankah berakhir sama atau lebih buruk lagi?.      

Bagi Aruna melihat cara hidup mommy Gayatri dan Oma Sukma barang tentu itu sudah cukup menyiksa. Bagaimana kalau dia nanti akan menua seperti cara hidup Oma Sukma. Dan putrinya akan menjadi seperti mami Gayatri. Menghabiskan seluruh hari di sangkar emas ini dan pura-pura tidak ada dunia lain di luar sana.      

Mata Mahendra mengerjap lebih cepat mendengar tuntutan istrinya, sebelum ia memberanikan diri menatap mata coklat sembab.      

 terdiam beberapa detik, lelaki ini seolah tengah mengumpulkan segala energi di sekitarnya lalu berkata : "jika aku tidak bisa memberikan kehidupan yang diliputi kebahagiaan untuk anak dan istriku, untuk dua orang yang menjadi tujuan hidupku, jangan anggap aku seorang suami, dan terlarang bagi putriku memanggilku Daddy,"      

Dia yang bicara meraba pipi istrinya. Sekejap kemudian ia mendapati anggukan dari sang istri.      

Perempuan yang tahu bahwa setiap janji pria yang di hadapannya pasti bakal ditepati.      

Seperti Surat ajaib yang detik ini telah menjadi perkantoran 5 lantai. Melebihi impiannya di masa lalu. Di atas segala mimpi dan visi misi yang dibuat oleh startup kecil tersebut.      

Seperti itu pula aruna yakin suaminya akan mewujudkan apa yang ia mau dengan seluruh daya dan upaya.      

Gumpalan di dada yang menekan dan naik ke tenggorokan, kini berangsur-angsur hanyut. Si perempuan hamil tersebut berbalik memeluk suaminya kuat-kuat.      

Di sisi lain, dada lelaki bermata biru lah yang kini dipenuhi segumpal rasa yang menekan. Mayat yang dibuang di hadapannya. Adalah simbol tabuhnya Genderang perang terbuka.      

Untuk itu dalam waktu dekat apapun bisa terjadi kepadanya. Entah akan berakhir bagaimana? Akankah masih bernyawa seperti detik ini ataukah diam dalam kebekuan seperti tubuh tak bernyawa di dalam kantong hitam.      

"sayang, ada satu hal yang belum aku lakukan selama kamu hamil," mata Aruna berbinar. Terbuka lebih lebar.     

"Apa itu?"      

"Kau lupa, kamu pernah meminta ku menemani mu foto bersama perut besar yang menggemaskan ini," tangannya merajai perut istrinya dan membuat usapan, "aku belum melakukannya sama sekali,"      

"Kamu terlalu sibuk,"     

"Ya. Itu kesalahan ku, dan aku benar-benar menyesal,"      

Tindakan Mahendra selanjutnya jauh dari rencana. Lelaki bermata biru lekas meminta salah satu anak buahnya untuk mendatangkan fotografer.      

Aruna diangkat di kamar mandi, dibantu membersihkan diri. Dan kumpulan kotak baju datang di atas ranjangnya. Mahendra sendiri yang membantunya mengenakan gaun-gaun tersebut. Kecuali riasan di wajah. Mahendra duduk di ranjang di samping cara asisten Aruna merias wajah nonanya.      

"Aku baru tahu sekarang, ternyata suamiku bisa spontanitas juga," Mahendra hanya terkekeh mendengar ungkapan Aruna.      

Siapapun orang di rumah ini, di kantor, di lingkungan sosial Mahendra yang tidak begitu luas. Tahu dengan pasti bahwa lagi bermata biru adalah pria yang segala hal dalam hidupnya terperinci, terencana dan terjadwal.      

Tindakannya detik ini di luar kebiasaan, namun Aruna suka. Sangat suka.      

Menikmati ketika ia dibawa ke taman. Lalu menuju danau. Dan begitu terkejut saat menyadari konsep foto kali ini serupa dengan foto prewedding yang diambil di danau yang sama. Tepat beberapa hari sebelum pernikahan mereka dilaksanakan dan sebelum pesta besar blue ocean dijalankan.      

Bedanya, kalau dulu sampan dan bunga-bunga itu hanya menghadirkan Aruna seorang diri, kali ini Mahendra naik bersama dengan dirinya.     

 Duduk di belakang tubuh Aruna, Mahendra Memeluk, berpose sesuai arahan tim fotografer, termasuk mengecup bayi yang masih tersembunyi di perut sang ibu.      

aruna tentu saja belum percaya, Mahendra bisa menurunkan gengsinya, dan berperilaku semanis hari ini.      

"Apa yang terjadi? Apakah mungkin tangisanku beberapa jam tadi berpengaruh?" Dua buah kursi di bawah pohon menjadi teman sepasang suami istri saling bertukar cemooh ringan.      

Mahendra hanya terkekeh, "masak' aku tidak boleh membuat istriku senang?" lirikan matanya sejalan dengan lesung pipi menggores separuh wajahnya. "Suatu saat ketika putriku lahir dan dia tumbuh dewasa, aku ingin ia bisa melihat dan mengomentari kenangan pertama kita bersamanya," menyodorkan telapak tangannya di belakang punggung sang istri. Sekali lagi, Mahendra membuat elusan di sana sambil berkata: "Dan hal tersebut bisa dilakukan ketika kita mengabadikannya,"      

"Cih! Sekarang aja baru ngomong begini," mata perempuan itu menyipit seiring caranya tertawa. Tapi keadaan ini tak berlangsung lama sebab pria itu menggerakkan tangan di belakang punggung. Mendorong sebuah tindakan, ditangkapnya bibir perempuan oleh bibir lelakinya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.