Ciuman Pertama Aruna

IV-210. Risiko Cucu Tunggal



IV-210. Risiko Cucu Tunggal

0"Cih! Sekarang aja baru ngomong begini," mata perempuan itu menyipit seiring caranya tertawa. Tapi keadaan ini tak berlangsung lama sebab pria itu menggerakkan tangan di belakang punggung. Mendorong sebuah tindakan, ditangkapnya bibir perempuan oleh bibir lelakinya.     

.     

.     

"Sudah capek?" Hendra bertanya dan perempuannya mengangguk. Sebuah Gerakan mengangkat tubuh perempuan di pertontonkan sang lelaki bermata biru. Berjalan membelah taman rumah induk, dia membawa istrinya masuk ke dalam.     

"hari ini, apa pun yang istriku inginkan, akan aku penuhi,"     

"Benarkah?" Aruna mengalungkan ke dua tangannya pada leher sang suami.     

"Apakah aku tipe orang yang suka bercanda?" ini pertanyaan dari Mahendra untuk menegaskan bahwa apa yang ia katakan benar adanya.     

Dia tinggi dan tegap, istrinya yang hamil besar tak terlihat menyulitkan untuk digendong dan didekap. Tersenyum sepanjang langkah bersama warna matanya yang mengilat.     

"Aku tidak mengerti, apa yang aku ingin kan, ya?" mengeluh lirih. Dengan alis yang menyatu.     

"Berperilakulah seperti ibu hamil manja, cobalah mengidamkan sesuatu?" Aruna malah menggeleng. Di dalam kepalanya tidak ada apa-apa. Kecuali ingin berada di dekat suaminya. Itu saja. Dan dia akan merasa aman.     

"Apa yang dulu sering kamu lakukan dan membuatmu senang, tapi jarang kamu lalukan bersamaku," perempuan dalam gendongan itu terlihat berpikir. Alisnya menyatu mencoba merenungi sesuatu.     

"bagaimana dengan bermain game?"     

"oh.. aku memang jarang memainkan game, enggak masalah aku yakin aku tetap yang terbaik?"     

"Ah' kamu ini! Congkak sekali," Aruna menghina tapi bibirnya tertawa. Diturunkan di atas ranjang.     

Pria tersebut melepas sepatu yang membalut kaki istrinya. Memperhatikan telapak kaki yang menggemuk. Sejalan kemudian ia memindahkan pandangannya sedikit ke atas. Sang lelaki menurunkan resleting di punggung mencoba membantu istrinya terlepas dari gaun mengembang yang membungkus tubuh sang perempuan mungil yang terlihat membengkak di beberapa sisi wajah, jemari tangan dan kaki.     

Paling sedikit dan membiarkan dirinya yang terbebas dari baju yang membalasnya: "Hendra.." perempuan ini mengeluh, "cepat ambilkan baju ganti," dia yang berdiri berhasil membawa gaun yang baru lolos dari tubuh sang istri tertawa puas.     

Aruna menarik selimut dan berusaha mengubur dirinya, wajahnya memerah karena malu, bahkan dia masih saja malu pada pria yang menanam benih di perutnya.     

Perempuan yang detik ini bahkan tidak mengenakan benda yang menyangga buah dadanya, berusaha keras menutupi dua gundukan yang membengkak tersebut. Sebelum melempar sebuah bantal ke arah lelaki yang sengaja mengganggu.     

"Ambilkan baju, ambil.. !!"     

Pria itu malah terbahak-bahak. Menyingkir tiap kali bantal dan guling terbang ke arahnya.     

Selepas apa yang bisa diraih Aruna jauh dari jangkauan. Lelaki itu melepaskan gaun di tangannya. Jatuh tersungkur di lantai. Sebab Mahendra melepas alas kakinya. Jas yang membalut tubuhnya. Lalu melompat ringan ke arah kasur berbalut sulur bunga lili.     

"Apa yang ingin kamu lalukan, jangan gila,"     

Ya, dia memang sedikit gila. Mendorong ringan istrinya dan membuat perempuan tersebut terkapar di bawah kendalinya.     

Naik, lalu memberanikan diri untuk mengapit kaki di bawah perut yang membesar, sang lelaki yang melepas tiap anak kancing bajunya. Dan detik ini ia menarik kedua pergelangan tangan dan mematikan gerakannya.     

Merunduk kian dalam, nafasnya telah berhasil memberi rasa hangat pada wajah Aruna. Suaranya, desisannya, dan cara bibirnya bergerak di tiap-tiap sudut pada pelipis, alis, turun ke mata, pangkal hidung, melumuri hidung dan berakhir menggigit bibir bawah sang perempuan.     

"Cukuup.." desah Aruna tatkala lelaki tersebut melepas sesapannya, membuka mata dan saling memandang dalam jarak yang sangat dekat. Aruna bisa meraba wajah pria yang tampak tengah frustrasi oleh sesuatu.     

"Jangan lupa, hormon progesteron dan estrogen ku meningkatkan cukup drastis," keluhan aruna mendorong senyum lebar.     

"ya, aku tahu.." giginya tersusun rapi saat ditampilkan pemiliknya. Matanya menyipit, bulu matanya membuat kerjap-an mata itu terasa lebih cantik daripada milik super model. Terlebih lesung pipinya.     

Aruna menaikkan jemarinya, perempuan tersebut berupaya menggapai wajah pria yang sering kali membuatnya tak yakin: bahwa lelaki yang disebut-sebut berparas malaikat adalah suaminya.     

"bagaimana kalau Putri kita seperti mu?" Aruna menggumam. Pria itu turun, ya, dia menuruni lehernya. Tersembunyi di ceruk leher sebelum menghisap sesuatu di sana.     

"apa salahnya jika baby sepertiku,"     

"kalian bakal terlalu menawan, lalu aku cocok menjadi asisten dari pada ibu," berbicara sambil mengelus-elus rambut coklat milik si nakal.     

"Tenang saja, kami akan menempel padamu seperti prangko,"     

"jangan menempel prangko terlalu banyak!" aruna mendorong kepala suaminya supaya menjauh sejenak.     

"Masih sedikit!"     

"Kau tahu kita tidak bisa melakukan itu.."     

"Iya aku tahu.."     

"Lalu.."     

"Memang aku tak boleh..??"     

.     

"Oh' maafkan aku!"     

"Bruak!!"     

pintu terbuka dan itu Oma, mata sepasang suami istri mengarah pada pintu yang secepat kilat di tutup kembali.     

"Ya.. Tuhaaan.." Hendra melempar dirinya dan jatuh ke ranjang di sisi Aruna. "kenapa kamar ini seolah milik umum saja! Semuanya bisa masuk!"     

"Hendra.. kau menduduki selimutku, menyingkir sejenak," bukannya mendengar keluhan sang suami, aruna kembali sibuk menutupi dirinya.     

Dibalik cara suaminya yang pada akhirnya memutuskan turun dari ranjang, mengais hem yang terjatuh berserakan. Lalu mengenakannya kembali.     

"Jangan mengeluh..." Aruna memperingatkan Hendra yang membuka pintu dengan gusar.     

Di balik pintu ada oma yang memasang senyum canggung, "cuma mau menawarkan makan, untuk calon ciciku,"     

"yaa... Ya.." membuka pintu dengan jengkel. Dua asisten membuntuti perempuan paruh baya. Mereka mendorong nampan berisi makanan dan menatanya di atas meja tidak jauh dari ranjang Aruna.     

Perempuan hamil mengubur dirinya sebisa mungkin di dalam selimut.     

"Aku rasa," ini suara Mahendra, mendekati sekelompok orang yang menata makanan untuk sepasang suami istri. "lebih baik kalian mengurangi sedikit kepedulian terhadap kami berdua,"     

"Itu risiko?" Oma membela diri. Perempuan ini menata lilin pengharum ruangan dan tentu saja bunga yang dia rangkai tiap sore.     

"Risiko menjadi cucu Tunggal,"     

"jadi karena aku satu-satunya penerus kalian, segala hal tentang kehidupanku adalah milik kalian semua??" jengkel Mahendra. Suara protesnya yang unik bahkan mampu membuat dua asisten oma Sukma berusaha menahan geligi tawa mereka.     

"Kecuali," perempuan paruh baya mendekati cucu mantunya. Seperti biasa perempuan anggun yang sudah berumur itu akan mengelus perut Aruna, "Aruna mau melahirkan lebih banyak lagi baby buat kami,"     

Terlihat begitu bersemangat, Sukma berucap sambil menyatukan kedua tangannya.     

"hehe..m" Aruna sekedar tersenyum mengimbangi.     

"Apakah kalian sudah selesai?" nada keberatan masih setia mewarnai suara keluar dari bibir Mahendra. "Kalau sudah, mohon dengan sangat," dia mendekati pintu dan membukanya lebar-lebar daun pintu kamarnya. Tangannya mengarah keluar, memberitahu supaya segera pergi jauh dari arena pribadinya.     

"iya... Aku akan keluar," Oma. Sukma berjalan melintasi cucunya. Tak ketinggalan perempuan itu memalingkan wajahnya. Tidak terima di usir oleh Mahendra.     

"sejak kapan para perempuan di rumah ini menjadi begitu berani??" Hendra mengerutkan dahinya.     

Aruna sekedar tersenyum, entah bagaimana, kalimat Mahendra sepertinya pernah didengar Aruna, akan tetapi berasal dari penghuni lain rumah ini. Yakni kakeknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.