Ciuman Pertama Aruna

IV-215. Berpamitan



IV-215. Berpamitan

0Berpamitan. Langkah sederhana yang mengawali setiap aktivitas seorang pria yang sebentar lagi menyandang status ayah. Melihat istrinya berjuang membawa beban bayi di kandungan. Hendra menyadari salah satu penghargaan yang perlu ia suguhkan kepada perempuan yang berkenan mengisi kehampaan hidupnya adalah ucap pamit, kala ia diharuskan menyajikan jarak akibat tuntutan tugasnya.      

Mencium lembut pelipis sang istri, "kupastikan, secepatnya kembali,"       

'Hemm??' sebuah ungkapan tanpa suara terlukis di wajah Aruna, "kamu bilang meeting-nya di rumah induk," ekspresi tanda tanya tak ketinggalan turut menghiasi raut muka Aruna.      

Salah satu kebiasaan yang sering ditunjukkan Mahendra ialah merapikan bajunya, detik ini kebiasaan itu terlihat, "tapi kita kan, tak bisa saling menatap,"       

"Kalau kamu seaneh ini," mata Aruna menelisik, "kau.." mengamati dengan sesama tampilan suaminya, "membuatku bingung," Mahendra pekerja holic. Tidak ada yang bisa mematahkan deskripsi tersebut.      

Uniknya, lelaki tersebut mengatakan bahwa: 'tidak melihat istrinya akan menghadirkan rasa kurang nyaman,' Cukup kontradiktif dibanding kebiasaan Hendra, padahal pria tersebut seringkali lalai dengan istrinya tatkala terjerembab ke dalam lingkungan kerja.       

"Apa aku tidak boleh khawatir? Sebentar lagi istriku melahirkan, aku ingin berada di dekatnya tiap saat," telapak tangan berukuran kontras dengan wajah mungil Aruna sedang membelai pipi sang perempuan sebelum naik ke atas, mengusap pada tiap-tiap untaian rambut dan membuat dorongan ringan sehingga perempuan mungil ini menyambut kecupan yang ia suguhkan.      

.      

.      

"Dia sudah datang?"      

"Ya tuan," Herry sudah berdiri di dekat pintu kamar Mahendra. Dan lekas membuntuti langkah kaki tuanya tatkala pria itu meninggalkan pintu.      

Tidak ada orang yang menyadari bahwa Mahendra menyajikan ekspresi berbeda saat berada di ruangan yang sama dengan istrinya, ia banyak tersenyum.      

Sedangkan detik di mana lelaki bermata biru tersebut berjalan menuju sekelompok orang yang sedang menunggu kedatangannya, menanti keputusan besar yang sedang dia usung ekspresinya dingin.      

Kelompok itu tidak lain adalah para ajudan yang bekerja di bawah naungannya. Kian dekat dengan jarak dirinya dengan tempat yang dituju, sang ajudan yang berada di belakang langkah tuannya dengan segera mendorong pintu.      

Ternyata di dalam ruangan terdapat sosok lain, seorang lelaki berusia 27 tahun, berperawakan kurus dan kulit pucat pasi. Pemuda tersebut lekas berdiri, menunduk sesaat berharap mampu memberi kesan patuh pada sang tuan.      

Kantung mata hitamnya terlihat saat pemuda ini berupaya menatap Mahendra. Kesan ragu-ragu tak dapat terelakkan sampai sang pemilik mata biru menarik bibirnya, dan si pemuda itu yakin bahwa dia mendapati senyum tuannya. Walaupun, tidak benar-benar terlihat.      

Mahendra duduk sebelum yang lain memberanikan diri untuk duduk, ia mengamati dengan detail keberadaan si asing dalam lingkaran ajudan.      

Sekejap, pria yang matanya paling terang dari yang lain terlihat mengetukkan jemari tangannya, membuat titik pada punggung sandaran tangan menggunakan ujung telunjuk. Spontan sosok canggung di hadapannya memahami Mahendra menginginkan laporan terbaru.      

"saya berhasil membujuk Geraldine," Geraldine adalah Putri bungsu dari keluarga Diningrat, "kami akan berangkat malam ini," lelaki yang bicara adalah dia yang di beri kesempatan sekali lagi.      

"sejauh apa rencanamu?" suara Hendra rendah, akan tetapi ada penekanan di sana.      

"Kami akan terbang ke pulau Batam, menginap semalam di kota itu, sebelum menggunakan Ferry menuju Singapura," matanya tak henti mengerjap tatkala membuat penjelasan, "saya sudah memikirkan segalanya secara detail," dia yang bicara menawarkan anggukan ringan, "harus ada cara untuk mengelabui, jadi perjalanan darat harus ditempuh, saya yakin bisa mengecoh,"      

"lalu?" kepala Mahendra miring ke kanan, dipegangnya pelipis menggunakan ujung telunjuk, menunjukkan bahwa ia begitu penasaran.      

"Kami terbang ke Tokyo sebelum menuju ke Bandar Udara Kopenhagen, dan berakhir di Helsinki-Vantaa," runut lelaki yang biasa dipanggil Timi oleh istri Mahendra, nama sesungguhnya Tyan Mizan Timur.      

"Akhirnya kamu memilih Finlandia?" celetuk Mahendra spontan.      

"ya, saya mempelajari seperti apa kota tersebut, dan benar seperti penjelasan Anda, Helsinki paling bisa meluluhkan keteguhan hati Geraldine," tentu, tidak ada yang mampu menolak tawaran untuk tinggal di sebuah kota yang selalu menjadi deretan paling atas pada nominasi tempat ternyaman dan terindah di dunia. kota kebahagiaan dan kenyamanan telah melekat sebagai identitas.      

Hendra berdiri, gerakannya menuju meja kayu jati yang masih mempertahankan pola alami pada permukaannya diamati tiap mata yang hadir dalam ruangan ini.      

Ketika kembali, lelaki bermata biru meletakan sebuah kotak di atas meja. Tyan menyentuh kotak tersebut, ada keraguan di sana, "buka saja, itu untukmu,"      

Tyan segera meraihnya, pupil matanya melebar tatkala dia dapati apa yang tersaji di dalam sana, identitas barunya dan kekasihnya, nama yang sama yang dia gunakan untuk memesan seluruh maskapai perjalanan termasuk kartu hitam pekat yang dihiasi tinta emas. Benda yang mampu menjamin hidup Tyan dan Geraldine di negeri asing.      

"Terima kasih Tuan," ungkapan terima kasih ini bukan sekedar rasa yang dihadirkan isi dari kotak yang di pegang Tyan. Melainkan kesempatan hidup terbebas dan kesempatan kedua yang sebelumnya dirasa mustahil untuk diraih.      

'Harusnya, aku dulu minta tolong pada..' gumaman ini milik Juan menatap punggung sang lelaki bermata biru.      

"Siapa dari kalian selain Juan, yang berkenan memastikan mereka bisa keluar dari negara ini?" Hendra mengedarkan tatapannya kepada yang lain.      

"Biar saya saja," Rolland mengajukan diri,      

"ada lagi?" tanya Hendra sekali lagi, terlihat Alvin hendak mengangkat tangannya, akan tetapi Rolland menghentikan telapak tangan yang terangkat.      

"Anda tahu saya tidak punya banyak kesempatan terlibat dalam misi," Mata Rolland mengamati cacat di tangannya, "pilih saya," dia yang bicara bergerak satu langkah ke depan.      

"Baiklah," dia yang bermata biru sempat mengiringi kepergian Tyan, pada langkah yang diam-diam diikuti oleh Juan -kakak tiri Geraldine- mendengar samar-samar sebuah kalimat yang membuat Juan tak lagi membuntuti langkah Mahendra.      

"Jika kalian berdua memutuskan menikah, beri tahu aku atau Aruna, aku siap menjadi saksi kalian, semoga saat itu putriku sudah cukup umur untuk menempuh perjalanan,"      

Juan yang menghentikan langkah dapat melihat bagaimana Tyan menundukkan kepalanya untuk terakhir kalinya pada Mahendra. Tapi lelaki bermata biru itu malah menepuknya lalu memberi pelukan ringan khas para lelaki.      

'Itu baru namanya kakak, harusnya aku...'      

"Hai, Juan, ayo..." panggilan dari yang lain mengalihkan konsentrasi Juan. Sekelompok ajudan yang tengah memanggilnya berjalan setengah berlari memeluk separuh tubuhnya.      

"hari ini kita mendapatkan-," Wisnu menunjukkan sesuatu ditangannya.      

"apa itu?" dia yang bicara segera merampas benda di tangan Wisnu.      

"Kau tak ingin merasakan sensasi naik helikopter?" Alvin memeluk dari belakang kedua temannya.      

"Gila! Kalian bisa menikmati fasilitas semacam ini," Juan menghentikan langkah menatap lekat Wisnu, "Siapa yang bisa menerbangkannya?"      

"Aku," Jav membalik tubuhnya, memamerkan kemampuannya pada tiga pemuda yang berjalan di belakang keberadaannya.      

"dan aku bisa jadi co pilot," Wisnu berujar lantang.      

"Oh, aku baru tahu kalian se-ahli ini," Juan melihat senyum mereka, senyum yang jarang tertangkap mata, menjadi sedikit aneh.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.