Ciuman Pertama Aruna

IV-216. Saran



IV-216. Saran

0"jadi," ada keraguan di bibir seseorang yang saat ini berkeinginan membuka percakapan, "kakakmu akan menikah?" Menoleh pada pemuda yang duduk di sampingnya.     

Terdapat 4 orang di dalam sangkar bianglala yang hendak menuju titik tertinggi, "jujur, aku tidak tahu," Ricky mengangkat bahunya.     

Jawaban dari Ricky sangat jelas, sayangnya belum mampu meredam rasa penasaran Thomas. Mata Thomas masih setia memandangi adik Kihrani.     

"Huuh," pemuda tersebut membuang nafas, tahu bahwa dirinya perlu memberikan informasi lebih kepada Thomas, terlihat dari cara pria tersebut menatapnya.     

"Andai kak tom bisa mengulik isi kepalaku," jari telunjuk pemuda tersebut menyentuh dahinya sendiri, "jujur, aku belum bisa percaya, Ada seorang lelaki yang memiliki keinginan menikah dengan perempuan seperti kakakku? Seolah aku dapat menerawang masa depan suram yang akan dia alami," Thomas awalnya serius mendengarkan tiap-tiap untaian kata yang keluar dari bibir Ricky. Namun, pada akhirnya lelaki berambut platinum itu tertawa.     

Tawa yang mengundang penasaran Bianca, perempuan yang serta merta menjadi dekat dengan Lala sebab gadis kecil di sisi Bianca mengagumi tiap hal yang menempel pada sang Barbie. Terutama jari-jari kukunya yang cantik.     

"Jangan bicara sembarangan!" Thomas menegur Ricky, walaupun masih ada senyum yang menggantung di bibirnya.     

"aku bicara kenyataan.."     

"tapi kakak mau merawat kalian dengan baik,"     

"ya," wajah jengah pemuda seusia SMA tersebut berubah drastis, "kami bergantung hidup adanya," ada sendu di sana, sendu yang tertangkap dari cara pemuda tersebut mengatupkan bibirnya.     

"di dunia ini, tidak semua yang cantik terlihat menarik, atau yang peringainya lembut selalu menyenangkan, bahkan seorang perempuan yang cerdas bisa sangat berbahaya," Ricky menyatukan alisnya, menoleh kepada Thomas. Dia merasa tersabda sebagai adik yang sedang di beri petuah oleh kakak lelaki tertua.     

"yang terpenting hatinya, bukan?" Ricky mengangguk, pemuda tersebut sedang membayangkan gambaran kakaknya sendiri. Sejauh ini segalanya benar terkait kumpulan kata bervolume tinggi, atau rentetan sikap judes, galak, kasar, yang melekat pada pribadi kakaknya tidak ada apa-apanya jika di bandingkan hati perempuan tersebut. Gambaran sang kakak mewakili semua pernyataan Thomas ujarkan.     

Sayangnya, ada bagian yang tak disadari Thomas maupun Ricky, seseorang di hadapan mereka segera menyibukkan diri dengan memberitahu Lala keindahan panorama dari ketinggian mereka. Panorama yang tersaji di luar sangkar -benda yang detik ini berada di ujung tertinggi bianglala-     

Melalui tema indahnya ketinggian itulah bincang membangun percakapan antara keduanya, sehingga mampu menghentikan obrolan Thomas dengan pria muda di samping-nya.     

.     

.     

"Bianca, terima kasih membantuku menjaga anak-anak," Bianca menarik bibirnya, garis lurus tercipta pada wajah si Barbie cantik.     

Barbie tersebut tengah membuka pintu mobil merah menyalah miliknya, tapi aneh pintu tersebut ia ditutup kembali dan memilih berdiri tegap, mengarahkan tubuhnya tepat menghadap pada Thomas.     

"Boleh aku tahu siapa mereka? Em.. kalian terlihat sangat akrab,"     

"mereka keluargaku," Thomas sadar jawabnya serta-merta menjadikan lawan bicaranya bingung, "lebih tepatnya, aku pernah menumpang hidup di rumah mereka, di saat-saat tergelap dalam hidupku,"     

Bianca semakin bingung, akan tetapi gadis itu tak mau ambil pusing, jadi dia hanya mengangguk. Lalu pintu mobilnya kembali ia buka.     

"Jangan lupakan surel ku," dia yang bicara memperhatikan gerak-gerik Bianca memasuki mobilnya, "aku punya sedikit saran: sebaiknya kamu segera mendiskusikan, apa yang kamu baca dengan Intan, tapi tidak untuk Tiara,"     

"Bukankah," perempuan ini bicara di balik jendela mobil yang di turunkan, "surel itu harusnya menjadi surat penting? tidak boleh diketahui siapa pun?" sekali lagi pertanyaan Bianca mendapatkan senyuman Thomas, "mengapa kamu membaginya padaku?"     

"Buat apa disembunyikan darimu? Jangan lupa siapa pengirimnya, perlukah seorang pewaris Djoyodiningrat mengendap-ngendap di hadapan putri tarantula? Dia bahkan tak begitu peduli terhadap kekuasaan para dewan yang kalian junjung tinggi,"     

Ungkapan Thomas menjadikan Bianca kian bingung, "keluarga Salim, mendapatkan penawaran yang sama," jelas Thomas     

"Aaah," bibir Bianca masih terbuka sekian Inci, menghembuskan udara panas, menyadari betapa mengerikannya permainan pria berambut platinum di hadapannya. Sejak semula, bisa jadi sejak mereka bertemu dan makan bersama ke dua putri keluarga Salim, Thomas telah memulai perannya.     

Bianca masih termangu memegangi setir mobil, akhirnya menyadari lelaki rambut platinum itu berlalu tatkala mobil pria tersebut melaju meninggalkan keberadaan si merah menyala yang ia kendarai.     

***     

"aku lapar..."     

"brak brak brak!!"     

Shakila, si perempuan bertubuh kurus konsisten memukul pintu bahkan kakinya sempat menendang bagian bawah daun pintu, "Apakah tidak ada satu pun bisa mendengar ku??"     

"brak brak brak!!"     

"buka pintunya!!" nafasnya menderu lelah, yang terlihat berikutnya ialah gerakan Syakila membalik tubuhnya lalu perlahan-lahan merosot tepat dibalik daun pintu.     

Syakila masih belum mengerti kenapa dirinya diperlakukan seperti ini. Seingat Syakila, semenjak ia kembali pada pelukan Gibran, tindakan yang ia lakukan tak lain adalah menuruti setiap permintaan pria tersebut kecuali hal-hal yang terlalu berlebih baginya.     

CCTV yang mengintai pergerakan perempuan tersebut diamati dengan teliti oleh lelaki bernetra hitam pekat, "apakah aku sudah bisa datang ke sana?"     

"Tidak," suara ini berasal dari perempuan yang melipat kedua belah tangannya. Celana panjang berwarna hitam pekat berpadu dengan blazer sama pekatnya.     

Perempuan dengan tinggi hampir menyentuh 170 cm, menyajikan sebuah ikatan rambut sedikit naik ke atas.     

Bibirnya tersenyum samar, menatap pria yang terlihat tidak sanggup lagi mendapatkan keluhan perempuannya.     

"dia belum terlihat putus asa, kalau perlu perempuan itu sampai di titik di mana dia merasa ingin mati saja," suara bervolume rendah ini lekas mendapatkan tatapan tajam.     

Sejalan dengan ancaman yang terlihat dari mata hitam si tuan muda Diningrat, sang perempuan yang memperkenalkan diri atas nama Leona konsisten tersenyum samar. Senyum yang cukup sadis tatkala di deskripsikan. Terlihat menyukai apa yang dia amati, masalahnya yang teramati ialah perempuan merintih kelaparan di dalam sebuah ruangan. Meringkuk di balik pintu sambil memegangi perutnya lalu lama-lama tertidur pada selasar lantai. Entah dia sudah pingsan atau memang sekedar tertidur.     

"Kekasihmu sangat cerdas," Gibran tak mengerti kenapa Perempuan tersebut membuat pernyataan demikian.     

Yang teramati detik ini adalah langkah perlahan-lahan Leona mendekati layar monitor, benda yang menyajikan gambaran penyiksaan terhadap sesama kaumnya.     

Merundukkan kepala lalu memperhatikan dengan sesama gerak-gerik yang ditunjukkan tubuh tertidur di selasar dingin lantai, "Masuklah ke dalam sekarang,"     

Leona menoleh kepada Gibran, matanya berkedip di satu sisi, "bawa makanan yang paling dia sukai, hanya satu porsi, oh tidak," kepalanya kemudian menggeleng, "setengah lebih baik," lalu bangkit dari pengamatan, dan kini ia menatap Gibran secara serius, "katakan padanya: kamu tidak tahu apa yang terjadi, minta maaf, memeluknya, lalu beri harapan.."     

"Apakah itu akan berhasil?"     

Leona tidak menjawab pertanyaan Gibran, "tergantung," Leo mengangkat bahunya, "seberapa patuhnya kau bertindak sesuai instruksi ku,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.