Ciuman Pertama Aruna

IV-217. Memberi Makan



IV-217. Memberi Makan

0Seorang lelaki berdiri di depan pintu terkunci. Matanya mengerjap beberapa kali, mengumpulkan seutas keberanian. Menghirup oksigen di seputar keberadaannya, sang lelaki mengangkat telapak tangannya menyentuh handle pintu.      

'setengah porsi?' menatap piring yang berada dalam genggaman telapak tangannya. ia mengangguk mendorong keteguhan hati yang detik ini sesungguhnya hendak goyah.      

"bawa piring ku dan letakkan di dekat ranjang," Gibran memerintah Neni, perempuan yang sehari-hari membantu Gibran merawat calon istrinya. Gadis yang sulit dilayani.      

Memperhatikan langkah pergi Neni, Gibran buru-buru menutup pintu lalu ia bawa tubuh yang terjatuh di selasar lantai dingin dalam dekapannya.      

'maafkan aku,' tubuh Syakila di baringkan di ranjang. Sebelum pria itu mencoba mengelusi wajah sang perempuan dan memintanya bangun.      

Di ruangan CCTV mata Leona tak henti mengamati, "Cih! Dia benar-benar di butakan cinta!," cicit Leo, membuat orang Gibran lekas memalingkan wajah dan memberi perempuan tersebut tatapan tidak menyenangkan.      

"kalau perempuan bodoh itu tak sadar juga, dia bakal merugi," Leo mengubah pernyataannya. 'Ya, sangat rugi,' gumamnya menyadari dulu dia pernah dicintai dengan cara sama gilanya oleh seseorang.      

"Syakila.. bangunlah.." Awalnya Gibran sekedar membelai wajahnya, sebab si dia tak juga bangun pria ini merengkuhnya dan memeluknya, "maafkan aku, aku baru pulang, aku tidak tahu kalau kamu-," mata terbuka Syakila Serta Merta menghentikan susunan kata yang hendak Gibran ucapkan.      

.     

"Ah! Dia bukan perempuan bodoh," Leona melipat tangannya, matanya berputar jengah menyadari tiap-tiap adegan yang dia amati.      

.     

"Mengapa kamu tega padaku, kenapa kamu tak meminta orangmu membuka pintu?" dia yang bicara menyajikan rintihan menyayat hati.      

Si lelaki bersurai pekat lekas melompat, mengambil gelas berisi Air yang dibawa Neni dan membantu perempuan bernama Syakila untuk sesegera mungkin menegak penyuplai cairan tubuh.     

Sejalan kemudian dia menyuguhkan sendok berisi makanan dan perempuan di hadapan Gibran lekas merebutnya, spontan Gibran menjauhkannya.      

Leona -perempuan yang memiliki kemampuan mengerikan dalam hal mencuci otak- memberi batasan terhadap Gibran bahwa sang klien-lah yang harus memberi si korban makan dalam artian sesungguhnya.      

Begitu cara menjinakkan perempuan dengan cara paling anti mainstream.      

"Buka mulutmu, biar aku membantumu,"      

"Tidak.. aku ingin memakannya sendiri, kumohon berikan padaku,"      

"kamu," mata Gibran menatap tajam, memberi penekanan, "buka mulutmu, ikuti kehendakku atau kau kehilangan jatah makan hari ini,"      

Tentu saja perempuan yang menjadi lawan bicara Gibran membuka mulutnya lebar-lebar, pikirannya sedikit kacau, mengapa dia harus mematuhi tindakan tidak wajar ini.     

Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perutnya melilit sakit, jadi dia mengikuti setiap keinginan putra tertua Rio. Termasuk cara pria itu menarik dagunya dan melumat bibirnya tiap dia usai memberi tiga suap makanan ke dalam mulut Syakila.      

"aku masih lapar," Syakila mengeluh matanya menawarkan tatapan permohonan kepada pria bernetra pekat di hadapannya. Nyatanya hanya telapak tangan mengusap pelipis dan separuh wajah yang ia dapati. Dan pada akhirnya pria tersebut beranjak pergi.      

Syakila sempoyongan bangkit dari duduknya, berjalan dan merebut punggung Gibran, mendekap dan memeluknya erat-erat.      

"Jangan tinggalkan aku, aku ingin ikut," untuk kesekian kali rintihan tersebut sesungguhnya mampu mengakibatkan keringat dingin sang pria menetes. Matanya mengerjap beberapa kali. Sebelum membalik tubuhnya dan mengubah ekspresi wajah sedingin es.      

"aku akan kembali, tunggu lah di sini sebentar saja,"      

"Tidak! Aku tahu kamu berbohong!!" Shakila ketakutan.     

'maaf..' gumaman ini hanya ada di hati, Sebab Kenyataannya yang terlihat detik ini ialah seorang laki-laki meremas telapak tangan rentan, menjauhkan dari tubuhnya dan sekejap berikutnya ia menghempas tubuh ringkih sang perempuan sampai terpuruk di lantai.      

Syakila masih menangis, mencoba merayap meraih lelaki yang langkah kakinya terdengar menyiksa di telinganya.     

"Tolong.. tolong, jangan kunci aku, kak.. kak Gibran,"      

Gibran mengumpulkan segenap keyakinannya, membuka pintu secepat ia bisa dan lekas menghentaknya, menutup pintu rapat-rapat. Berusaha keras meyakinkan diri sendiri bahwa ia harus mengunci syakila untuk kesekian kali.      

'oh.. maaf..' yang tidak diketahui syakila, bahkan tak terlihat pada CCTV Leona adalah tindakan lelaki bersurai pekat membenturkan dahinya ringan di daun pintu.     

.     

Di ujung sana, pada sebuah ruangan CCTV. Perempuan yang memberi instruksi setiap tindakan tersenyum menikmati adegan yang tersaji.      

Ia berbalik hendak beristirahat, merasa misinya telah menuju tahap yang tepat sesuai alur.      

Namun gerakan tidak terduga kembali tertangkap CCTV, siluet perempuan yang tersungkur di selasar lantai dalam ruang tahanan di lantai tertinggi rumah Diningrat -bangkit.      

"sial!!" Kembali mendekati layar monitor, bahkan sempat mendorong petugas yang duduk di meja pengamatan. Leona memperhatikan dengan cermat. Bagaimana perempuan ringkih itu berjalan gontai menuju sebuah kursi di dekat jendela. Lalu duduk santai di sana. Ia bahkan sempat membuat goyangan pada kursi goyang tersebut.      

Andai CCTV bisa mendengarkan suara bernada rendah, bisa jadi nada lirih terdengar dari bibir perempuan itu.      

Dugaan Leona benar, hadapi bukan seseorang yang mudah dikendalikan. Dari caranya yang terlihat sengaja membuka mata ketika Gibran baru usai meminta maaf, jelas sekali ia cukup baik mengenali karakter Gibran.      

'Dia tidak bodoh dan selemah yang terlihat!'     

'sial! Aku tidak punya waktu lagi!' Leona berkejaran dengan waktu, ia harus membawa seseorang pergi jauh dari negara ini secepatnya. Sayang sekali kasus kliennya kali ini membutuhkan penanganan ekstra. Leona perlu memutar otaknya.      

"Bagaimana? Apakah tindakanku sudah sesuai?" suara pria yang baru datang mengubah arah pandang Leona.      

Perempuan tersebut sempat kembali melirik seseorang yang memainkan kursi goyang, lalu berpindah menelisik lelaki bernetra hitam.      

"Cukup," ucapannya berbeda dari apa yang ada di hatinya.     

***     

"Wooo," suara ini berasal dari 2 orang pemuda. Mata mereka mengembara menatap langit sebelum menyapu seluruh panorama yang tersaji di bawah keberadaan keduanya.     

"ini baru Amazing!" seseorang menawarkan senyum khasnya. Gummy smile itu tertangkap mata.      

Tapi sesaat kemudian ia berjingkat, tangannya mencengkeram kuat pegangan, dia hampir memejamkan mata kalau saja seseorang di sampingnya tidak tertawa terkekeh-kekeh mengamati ekspresi ketakutannya, untuk itu si pemilik gummy smile memastikan matanya terbuka lebar-lebar.      

"Haha.. Juan! Jangan sampai kau muntah," suara Alvin yang berada di samping tempat duduk Juan tak hentinya melontarkan ejekan.      

Serupa dengan tindakan pilot dan co pilot yang duduk pada sisi depan, Jav dan Wisnu kembali menjadikan pesawat yang mereka tumpangi meliuk dan membuat putaran.      

Sudah cukup bersenang-senang, alat transportasi udara berbahan bakar avtur tersebut kini terbang dengan tenang menuju ke arah Selatan kota metropolitan.      

Juan masih berusaha memastikan nyawanya terkumpul, tatkala Alvin mengeluarkan Teropong terestrial atau lebih dikenal dengan sebutan teropong bumi, alat optik yang digunakan untuk melihat objek yang jauh di permukaan bumi. Teridentifikasi sebagai Teropong Binocular Outdoor Magnification, digunakannya benda itu untuk mengamati sesuatu.      

Bukan hanya membuat pengamatan, Juan perlahan menyadari pesawat ini secara simultan mengitari wilayah yang sama.      

"Tolong bantu kami. Di mana titik lokasi tinggal keluarga Diningrat?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.