Ciuman Pertama Aruna

IV-224. Aku Pegang Kata-katamu



IV-224. Aku Pegang Kata-katamu

0Suara cecapannya menjadi-jadi sebelum dia melepasnya dan berkata : "perempuan di rumah ini akan hidup dengan cara berbeda, bertahanlah sedikit lagi,"      

Hendra menutup pintu kamarnya, ia berjalan tergesa-gesa tak menyadari bahwa seseorang nyatanya menunggu di ruang tamu utama keluarga Djoyodiningrat.      

Pria itu adalah Vian, lekas berdiri selepas melihat kedatangan presdir Djoyodiningrat, dan lelaki bermata biru ini tersentak.      

"memangnya apa yang ingin kamu katakan," mata biru menajam dan menjadi pekat. Dia berhenti untuk menghadapai si pembangkang Vian. menolehkan tubuhnya penuh pada lelaki dengan sorot mata sayu.      

"Aku minta maaf," dia berkata dengan nada rendah, tradisi yang dijunjung tinggi pada lingkungan mereka adalah mengikuti setiap perintah atasan bagaimanapun sulitnya dihadapi.      

Tak pernah sekalipun putra-putra tetua dengan sengaja menunjukan sikap penolakan, untuk itu tatkala mahendra melangkahkan kaki barang sejangkah yang terjadi berikutnya adalah ekspresi tegang Vian.      

"kau harus memiliki alasan yang jelas dan masuk akal ketika kamu memilih untuk membuat penolakan atas kehendakku," bisa dibayangkan bagaimana dua lelaki keras kepala saling bertautan mata.      

Amarah telah memuncak di dada Mahendra, hilangnya Thomas dan ajudan istrinya bukan perkara mudah terlebih satu jam lalu tatkala dengan berani Juan mengetuk pintu ruang kerjanya putra gelap Rio mengabarkan bahwa Thomas kemungkinan di sekap pada salah satu ruang dalam gedung perusahaan penyedia jasa keamanan yang dipimpin Key Braga.      

Hendra terburu-buru hendak memimpin misi ini sendiri bukan lagi di serahkan pada pradita atau para ajudan di bawah kendalinya. kedatangan Vian memotong kecepatannya bertindak.      

"Mungkin saya tak sehebat Raka dan Pradita dalam menangani misi dalam bentuk serangan fisik, tapi anda tak boleh lupa saya memiliki satu kelebihan yang tak bisa dipatahkan,"     

"jangan berbelit, aku butuh penjelasan yang nyata dan to the point,"     

"Hanya saya yang bisa memainkan cek penyuapan pada Riswan oleh wakil walikotanya (season II), termasuk siapa siapa yang melatarbelakangi lumpuhnya kaki tetua (season III), hanya saya yang bisa menghancurkan reputasi perusahaan Tarantula melalui jalur hukum. sekali anda katakan aku harus membuka semua kartu As, saya akan menjalankannya dengan sempurna," nampaknya Vian telah berhasil, mata menjam Mahendra mereda.      

Tuan muda Djoyodiningrat menghitung keberuntungannya, hal tersebut yang terlukis di wajahnya.      

Juan sudah membuka pintu utama, guna memberi tahu mobil telah siap. Nyatanya dia yang di tatap Juan terlihat mengangkat tangannya dan meraih kerah baju Vian. Hal ini menjadikan dua orang lelaki yang lain selain Mahendra menegang.      

"A-apa yang ingin anda.," terbata Vian mencoba memahami tindakan tuan muda Mahendra.      

"Aku pegang kata-katamu! kalau sekali saja kau gagal mewujudkan ucapanmu jangan pernah muncul di hadapanku," Hendra mendorong kasar tubuh Vian, untung saja perawakan pria ini serupa dengan lelaki bermata biru hingga dia bisa menahannya.      

Mengambil dua langkah untuk menyambut keberadaan Juan, tiba-tiba Mahendra berbalik dan kembali mendekati Vian, "Jangan kamu pikir gelagatmu memainkan siasat tidak pernah tercium olehku, aku sangat tahu kau cerdas, tapi bukan berarti kamu berhak memberikan informasi rahasia pada istriku! aku sungguh tak terima atas tindakanmu!" kalimat ini memiliki patahan tajam dalam tiap-tiap kata yang diujarkan.      

Juan, yang menjadi pihak ketiga dari komunikasi yang mengarah pada intimidasi ini hanya bisa terbungkam. Bahkan saat tangan Mahendra kembali naik dan menekan kasar telunjuknya pada Vian.      

"Istriku! adalah bagian terpenting dalam hidupku! hanya aku yang boleh mengendalikan apa yang bisa dia lihat dan dia dengar. jika aku menginginkan telinganya ditutup rapat makan tak ada yang diijinkan memberinya bisikan. Kau mengerti!!" pedas dan menindas. dia membalik tubuhnya dalam kemarahan meninggalkan rumah induk dengan wajah memerah dan mata menyala-nyala.      

"jalan!" pinta Mahendra pada Juan. sang pengemudi menekan pedal gasnya lebih dalam dari sebelumnya.      

malam pekat mengiringi nuansa perjalanan mereka.      

***     

"Mau lagi?" Perempuan itu mengangguk. Thomas mengusap pelipisnya lalu bangkit.      

"Kaki.. kakiku," dia bicara lirih untuk memberi tahu kakinya masih terikat dan itu menyakitkan.      

Mendengar keluhan kihrani dengan segera Thomas memanfaatkan pecahan kaca di tangan untuk menggores nylon cable tie. gadis berambut hitam panjang itu mengisak dia menjatuhkan air mata yang terasa mustahil mengalir dari matanya.      

"jangan menangis, biarkan aku fokus membebaskan kakimu," Thomas mencoba menenangkan. lelaki yang sedang berusaha sekeras ia bisa tahu ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari kaki yang terikat. itu adalah rasa putus asa dan rasa takut yang dalam yang tak lagi bisa di sembunyikan.      

"Thomas apakah adik-adikku baik-baik saja?" entah bagaimana si perempuan dengan bibir robek ini masih sempat mengingat keluarganya. "kalau aku tak ada bagaimana dengan mereka?" suaranya lirih, dan tersengal. Hidupnya berat namun secara mental Kihrani belum pernah berada dalam situasi semengerikan ini.      

dia lahir dan hidup dari keluarga biasa di perkampungan kumuh pinggiran sungai. sejauh kejamnya hidup dalam keadaan kekurangan belum tentu mereka tahu kekejaman kehidupan kelas tertentu yang tiap saat mampu menghancurkan mental.      

"jangan berpikir aneh-aneh," Thomas mengingatkan menatap mata meredup, "jangan tutup matamu!!" saking kuatnya Thomas menggesek pecahan kaca dengan tali berbahan nylon, lelaki berambut platinum ini mengabaikan kucuran darah di tangannya.      

"Ah' akhirnya!" dia mengangkat wajah yang sebelumnya fokus menunduk menatap pergelangan tangan kihrani.      

"Buka matamu Khirani!! buka!!" Thomas meraih wajahnya dan menepuk-nepuk ringan sejalan kemudian berlari semampunya untuk menghisap air dan memberi minum perempuan tersebut. Thomas tidak tahu gadis ini mendapatkan siksaan macam apa sampai dia benar-benar berada dalam keputus asaan dan hendak membiarkan dirinya menghilang dari kesadaran.      

"Adik-adikmu akan menangis sejadi-jadinya, andai kamu menyerah dan tak kembali dengan selamat jadi bertahanlah," mata hitam itu berusaha kembali menyala.      

"apa kamu bisa," permintaan kihrani sejalan dengan tangannya yang bergerak lambat menyentuh pahanya.      

'apakah seseorang menyiksanya di bagian itu?' batin Thomas tak terkendali, segala pikiran negatif melayang-layang tanpa batas.      

pria ini buru buru menarik bagian bawah gaun gadis tersebut.      

"ah!" segalanya gelap. belum sempat memeriksa kihrani, tiba-tiba seluruh benda tak terlihat.      

"Thomas.."      

"jangan takut, ini bagus untuk kita, aku dan kamu akan baik-baik saja," Thomas memandang sekitar , kelihatannya bukan hanya ruangan ini yang padam, celah cahaya dari ventilasi udara juga menghitam artinya ruangan lain di tempat ini juga padam.      

'sepertinya akan ada kesempatan untuk kabur, bisakah kihrani mengandalkan tubuhnya sendiri?' Thomas menyadari bahkan dirinya kesulitan untuk mengatasi rasa remuk di tubuhnya.      

"bisakah kamu duduk?"      

dia yang di tanya menggeleng.      

"jawab dengan kalimat, aku tak tahu kamu.."      

"aku.." belum sempat menjawab.      

"tap tap tap," terdengar suara langkah kaki menuju pintu mereka.      

"karena kita tak bisa berjalan cepat, mari kita merangkak," Thomas menarik tubuh kihrani untuk bersembunyi bersama di bawah ranjang.      

seseorang dengan senter di tangan menyorot ke atas ranjang. selanjutnya ke segala arah. dan dua tahanan di bawah ranjang berguling menghindari sorot cahaya senter yang di rasa akan mengenai tubuh mereka.      

"tahanan hilang!! mereka kabur!!" dia yang berada di ujung pintu berteriak lantang.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.