Ciuman Pertama Aruna

IV-223. Bertahanlah



IV-223. Bertahanlah

0Lelaki bermata biru baru tiba di kamar istrinya. Seraya bertanya pada sang ibu, "bagaimana? Aruna?"      

Kompres tertempel pada dahi sang istri. ibu yang baru berdiri dari kursi menghentikan kehendaknya.      

"Nona sempat bangun tuan, tapi dia tidak mau minum obat, suster sebenarnya sudah menyiapkan obat dengan dosis rendah, sayangnya nona bersikeras menolaknya," Ratna, asisten rumah induk yang biasa menemani istrinya memberi penjelasan.      

"Hendra, biar mommy saja yang merawat Aruna, kalau kamu ingin istirahat, pergilah ke kamar lain. aku…" Gayatri tahu putranya baru saja menghabiskan waktu lebih dari tiga jam di ruang kerjanya.     

"tidak mommy," Ujar Mahendra memutus kalimat ibunya, "aku yang akan menjaga istriku, silahkan istirahat terima kasih sudah membantuku," sampai pintu ditutup pria itu masih berdiri di dekat ranjang memastikan mommy Gayatri meninggalkan ruangan. perempuan ayu itu tiada henti memasang ekspresi khawatir, ekspresi yang dia tunjukkan bukan sekedar untuk ibu hamil, dia lebih tak yakin Hendra bisa bertahan dengan baik di dalam kamar dengan tubuh istrinya yang menghangat.      

Hendra mengangguk lirih memberi tahu dia siap dengan ini. dengan begitu barulah mommy berkenan menutup pintu.      

kini mata bernetra terang itu merajai keberadaan istrinya. Ada duka yang dalam dari caranya memandang.      

sebuah pemandangan kontras tampak pada tindakannya beberapa menit sebelumnya. kala dia menerikkan kemarahan kepada Vian, meminta pria itu berangkat malam ini juga, akan tetapi pimpinan divisi penyidik tersebut konsisten menolaknya padahal Raka bersama timnya sudah berangkat meninggalkan wilayah timur demi menyambut tugas Mahendra.      

Menghela nafas panjang, dia memastikan debaran di dadanya normal. Baru lelaki bermata biru melepas alas kaki dan merenggangkan kancing baju, ia menyusup pada selimut yang sama dengan istrinya. Tubuh mungil yang menyajikan perut besar itu meringkuk ke sisi kanan, memunggungi keberadaanya.     

 Si mungil didekap dari sisi belakang. dadanya bergemuruh merasakan rasa hangat istrinya.      

'tidak.. dia baik-baik saja,' jiwa Mahendra berusaha menyakinkan dirinya. bisikan-bisikan negatif lekas di tepis secepatnya. ditariknya tubuh mungil tersebut semakin dalam bersama dihisapnya ubun-ubun Aruna. Segala gerakan yang ia suguhkan seirama dengan gerakan tangannya kompres dahi kemudian mengusap lembut pelipis.      

Mahendra akhirnya bangkit untuk mendinginkan kompres dan membuat dirinya bekerja sebaik mungkin demi merawat tubuh mungil yang enggan membuka mata.      

mengusap benda itu lirih, termasuk bagian belakang leher, ia menyisihkan rambut Aruna yang tergerai lembut secara hati-hati.      

selepas mengusapkan kain lembut di sisi belakang leher aruna, lelaki bermata biru ini tergelitik untuk melihat punggung istrinya. dia menyadari leher perempuan ini bersuhu tubuh diatas rata-rata dan itu membuat tangannya sempat bergetar.     

menyingkirkan kain kompres ke sisi nakas. Hendra kembali merebahkan tubuhnya di belakang istrinya. tampak kontras dengan si mungil. pria ini menyadari tubuhnya yang kaku ini merindukan sentuhan kelembutan istrinya.      

tapi bukan itu saja yang ada dalam benaknya saat ini, entah bagaimana dia ingin menghitung sesuatu di tubuh istrinya dan itu dimulai dari punggung.      

Hendra menarik lugas seutas tali piyama tidur yang dikenakan Aruna. dia membuka tubuh perempuannya. Kenyataannya Aruna tak menggunakan apa pun selain long dress longgar berbahan ringan yang menyelimuti tubuhnya.      

Sehingga bagian tubuh perempuan hamil tersebut terbuka.      

"Satu," ujarnya meraba punggung bersuhu hangat yang dia amati lekat-lekat.      

"Hendra?" Udara dingin AC menerpa tubuh terbuka milik Aruna, perempuan yang baru membuka mata menyadari siapa yang berani berperilaku seperti ini.      

Merebahkan punggung, Aruna menjadikan dirinya tidur terlentang, ia menarik selimut menutupi bagian perutnya.      

Seolah tidak mendengarkan panggilan dari Aruna, Mahendra memperhatikan dengan cara awas tiap jengkal kulit tubuh istrinya.      

"Apa yang kamu pikirkan?" Perempuan ini mencoba mengangkat telapak tangannya dan mengusapkannya pada dagu Mahendra. Telapak tangan tersebut lekas ditangkap lelaki bermata biru yang detik ini menyuguhkan raut wajah tak jenak. Dia terlihat sangat marah secara berangsur-angsur.     

Memungut telapak tangan, netra biru itu menajam sebelum kata, "dua," meluncurkan dari bibirnya, "Dan tiga," dia melihat perut istrinya di balik selimut sejalan dengan meluncurnya kata tiga.      

"Kamu menghitung apa?" Gejolak di kepalanya kembali ke bumi oleh pertanyaan istrinya.      

"Oh' tidak," matanya tidak bisa berbohong walau dia menggeleng ringan dan bibirnya Menyajikan seulas senyum sebelum meraih telapak tangan sang istri dan membuat kecupan di tempat tersebut.      

Aruna menarik tangannya, perhatiannya tertuju pada pria yang memberikan tatapan hangat selepas ekspresi marah.      

"Aku tahu kamu kadang kala memarahi banyak orang bahkan memarahi dirimu sendiri ketika aku sakit," tangan Aruna yang sempat dibebaskan dari bibir Mahendra digunakan untuk memeluk dada lelaki bermata biru tersebut.      

"Panas ini buka apa-apa," ujar Aruna meletakkan kepalanya di tepian dada Mahendra. Pria ini lekas mendekapnya. Tubuhnya benar-benar hangat dan itu mengacaukan kepalanya.      

"Kenapa tidak mau minum obat?"      

"Aku tidak menyukainya, dan aku juga tahu kamu tidak suka orang-orang yang kamu cintai memasukan bahan kimia di tubuhnya,"      

"Tidak untuk obat yang dibutuhkan tubuh, aku bisa terima," Hendra menyangkal pernyataan Aruna. Asal diketahui tubuh pria ini mulai berkeringat.      

"Walaupun dosisnya rendah, aku tidak mau mengambil resiko sekecil apapun, obat bisa mendorong kelahiran sebelum waktunya,"      

"Sayang, seharusnya kamu bisa melahirkan bayi kita sekarang, bahkan sejak plasenta mu dinyatakan turun,"      

Aruna menggelengkan kepala, "tidak, dia akan jadi salah satu ahli waris dan putri tertua keluarga Djoyodiningrat, putriku sebaiknya lahir di usia kandungan yang cukup sehingga tak terjadi kegagalan organ atau sejenisnya, putriku akan jadi perempuan unggul, baik fisik dan psikisnya, termasuk kecerdasannya. Aku akan berusaha mewujudkannya,"      

Mahendra terdiam mendengarkan susunan kata penuh penekanan yang di usung Aruna. Istrinya lebih keras kepala dari prediksinya.      

kadang kala Aruna memang terlihat berambisi, terutama akhir-akhir ini. Dengan kalimat yang baru dilontarkan Aruna, Hendra menangkap sebuah konklusi terkait ambisi istrinya, sebuah keinginan yang terkonfirmasi. Keinginan yang jarang keluar dari bibir sang perempuan bertubuh hangat bahkan cenderung panas, terlihat mungil, ringkih dan rentan.      

 suara nafasnya kadang kala berbunyi. Aruna kewalahan dengan kehamilan pertamanya yang bermasalah sejak awal sebab berbagi tragedi menghantam tubuhnya.     

"Tunggu di sini," Hendra melepaskan diri dari dekapan.      

"Maksudnya?"      

Pria itu tersenyum asimetris.      

"Kamu mau kemana?" Aruna kini mendapati Mahendra menuruni ranjang tidurnya.      

"Memastikan istriku bisa dengan mudah mewujudkan harapannya terhadap masa depan baby kita,"      

Aruna tidak paham pernyataan Hendra yang ini.      

[Juan, aku tahu kamu masih marah sebab aku melarangmu pergi dengan yang lain malam ini. Tapi sekarang kau akan mendapatkan kebaikan dariku. Siapkan mobil untukku!] Hendra meraih handphone, ia membuat permintaan bernada serius.     

Detik ini pun, Aruna masih kesulitan memahami makna di balik panggilan suaminya terhadap salah satu ajudannya, yang dia tahu lelaki itu berganti baju dan membungkus dirinya dengan Coat panjang.      

Datang mendekat kemudian memberinya salam perpisahan berupa sesapan yang dalam.      

Suara cecapannya menjadi-jadi sebelum dia melepasnya dan berkata : "perempuan di rumah ini akan hidup dengan cara berbeda, bertahanlah sedikit lagi,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.