Ciuman Pertama Aruna

IV-230. Api Melahap Segalanya Sampai Habis



IV-230. Api Melahap Segalanya Sampai Habis

0"lalu kenapa kamu memilih Menutup mata?" tanya Aruna.     

"Saya ingin malam ini Anda lah yang beruntung, keberuntungan penuh," jawab Mia. Spontan seluruh wajah Aruna menoleh kepada ibu Juan. Tak ada tanda-tanda dia sebang bercanda. Wajahnya terlihat serius.     

Sejenak keduanya bertautan mata dan Mia memahami rasa penasaran Aruna.     

"Keberuntungan Anda malam ini adalah lambang kemenangan mutlak mutlak bagi saya," Mia menegaskan, nyatanya tatkala sinar rembulan telah menyentuh Wijaya Kusuma dan kuncup-kuncup tersebut terbuka secara magis. Mia benar-benar menutup matanya.     

Aruna menatap takjub bunga tersebut, bukan karena mitos yang melekat pada Wijaya kusuma melainkan keindahannya dan tentu saja bau harum yang melekat pada bunga tersebut.     

Sangat-sangat harum, sayangnya hal mekarnya bunga yang di dominasi warna putih tersebut tak seberapa lama. Sejalan dengan gerakan menutup Aruna mengamati Mia yang masih enggan membuka mata.     

"Sungguh aku tak mengarti dengan Anda," tegur aruna, "bunga ini akan meredup aku yakin Anda sangat ingin melihatnya," sekali lagi Aruna mencoba menggoyahkan tindakan aneh Mia.     

"Tidak, aku ingin orang itu menerima seluruh balasan dosa-dosanya malam ini. Salah satu caranya adalah membuat Anda beruntung malam ini," kelopak mata Mia kian di lekatkan satu sama lain.     

"Kamu sungguh tidak masuk akal," Aruna memanggil Susi meminta Ajudan perempuan rumah induk membawanya pergi dari taman. Lebih tepatnya perempuan bermata coklat hangat itu masih belum bisa menalar apa pun yang di ucapkan Mia dan itu membuatnya kesal.     

"Andaikan Anda tahu apa yang terjadi malam ini di luar sana, ku yakin Anda memilih berdoa, tak sempat kesal pada saya," kalimat Mia mendorong sebuah gerakan langkah kaki. Detik ini yang Aruna amati adalah gerakan tangkas Susi menggertak ibu Juan dengan nyala matanya dan bahasa tubuhnya.     

Aruna terkejut dengan tindakan Susi, ini tak biasa, "apa yang terjadi di luar sana?" suara Aruna menuntut bukan pada Mia tapi pada ajudan senior di rumah induk.     

"Tidak ada apa pun nona," wajah Susi berubah total saat ajudan itu berbalik mengarahkan tubuhnya pada Aruna. dia memasang wajah tenang, datar.     

"Kamu pikir aku bodoh!" Aruna menjalankan kursi rodanya sendiri. Dia benci dengan keadaan ini. untuk sekian kali di perlakukan dengan cara yang sama. Di minta menutup mata dan telinga tanpa di beri tahu alasannya.     

***     

Merah itu telah menjalar, naik ke angkasa berkobar tanpa kendali. Kibaran-kibarannya kian menjadi-jadi tatkala helikopter mendekat. Seperti kipas besar yang sedang bergerak gesit di atas bara dia memicu kobarannya.     

Batuk Mahendra tak bisa di kendalikan jarak pandangnya menipis. Herry beberapa kali bertanya apakah tuannya baik-baik saja dan lelaki bermata biru itu menggeleng mereka hanya butuh berlari tak ada cara lain untuk meloloskan diri.     

Sayangnya yang di pikirkan si ahli strategi tak sesederhana kelihatannya. Dia tidak menyangka orang-orang tarantula mampu menggapai lantai tertinggi. Tempat di mana tangga berada, mereka berjaga menghalau Ajudan dengan Tuannya.     

Mata biru itu menaksir kemungkinan yang terjadi, "mustahil!" bisiknya untuk Herry. Keduanya mengendap, dalam pengamatan melihat beberapa mencoba naik ke atap.     

"beri tahu pengendali heli kita untuk.." Ucapan Mahendra belum usai ketika Herry berkata: "Mereka sudah terbang lagi tuan, kelompok Tarantula menyerang,"     

"herry ikuti aku," Hendra berbalik arah, " Beri tahu supaya mereka menurunkan tali evakuasi untuk kita,"     

"Kita akan melompat tuan?" Herry mengikuti larinya sang tuan muda.     

"tidak ada pilihan lain, gedung ini akan habis di bakar!" asap meninggi api mendidihkan udara, dalam keadaan se rentan ini sang tuan memaksakan kembali ke sebuah tempat, ruangan yang daun pintunya membara.     

"titik yang sama dengan evakuasi Thomas. Sekarang!" perintah Hendra meminta Herry untuk memberi tahu rencana berikutnya.     

Dalam kemustahilan yang hampir di rasakan keduanya sebuah tali panjang menjulur membawa Seat harnes -tali yang digunakan untuk pengaman tubuh dan dipasang di bagian paha dan pinggang- , Karabiner -alat pengait berbahan aluminium-, termasuk beberapa item peralatan yang familier dalam prosedur rescue.     

Hal semacam ini cukup asing untuk orang awam tapi tidak dengan Mahendra dan orang-orangnya. Hendra bahkan sudah mengenalnya sejak belia. Pendidikan tetua menjadikannya tahu banyak hal. Segala rupa cara menyelamatkan diri.     

Mahendra bahkan harus berburu dengan waktu untuk mengenalkan sebuah benda yang bisa membebaskannya dari gedung yang membara.     

Giliran dia dan ajudannya Herry berhasil mengaitkan karabiner terdapat pada tali rescue, sebuah jendela pecah di hantam tubuh mereka. Keduanya terbang melintasi langit-langit malam menggantung di bawah helikopter yang dikendalikan Alvin, mengudara tanda berhasil meloloskan diri.     

"Boom!!" api menyembur tidak terkendali melahap segalanya sampai habis apa-apa yang berada dalam gedung baru perusahaan penyedia jasa keamanan milik tarantula.     

***     

"Aku butuh disiapkan bak mandi penuh dengan air hangat di kamar tidur lamaku," Mahendra berbicara dengan salah satu kepala pelayan rumah induk.     

Lelaki yang menyandang status kepala pelayan melangkah sembari berlari kecil menuju lantai dua. Menyambut permintaan Mahendra.     

Lelaki bermata biru tersebut masih berada lantai dasar, ia hendak duduk di salah satu kursi kulit Itali yang tersaji di ruang tengah lantai dasar rumah induk.     

terlihat Herry dan Juan mundur dari hadapan tuan muda Djoyodiningrat, saat laki-laki tersebut terpaksa berdiri tatkala sebuah kursi roda datang mendekat padanya.     

Lelaki paruh baya dengan tatapan mata hitam legam. Membuat Mahendra mengerutkan keningnya.     

Dan entah bagaimana, sang tetua berdiri dari kursi rodanya. Penyangga berupa Batang besi hitam yang mencengkeram sebagian tangan di bawah siku kanan diangkat naik kemudian bergerak gesit membentur lantai.     

Benturan tersebut terdengar bersama bara kemarahan yang terlihat di wajah tetua.     

"Apakah ada yang salah?" tindakan Wiryo mendorong Mahendra berdiri. Dia tahu dengan detail, bahkan sejak dirinya muda, seperti apa cara kakeknya menunjukkan murka.     

"Pernahkah aku mengajari membakar gedung orang!!" suara teriakannya membumbung memenuhi ruang tengah rumah induk. Membangunkan sebagian orang yang tertidur dan terlelap di malam ini.     

"aku bisa mendengar suara Anda! Tidak perlu berteriak," Mahendra dan kakeknya memiliki karakter yang sama, bahkan keduanya bisa menunjukkan emosi yang sama. Walaupun detik ini Mahendra terlihat berupaya mengendalikan diri.     

"beritahu aku! Kapan aku pernah mengajarimu bertindak di luar batas!" Suara Wiryo sejalan dengan jemarinya menunjuk-nunjuk Mahendra.     

Dan hal ini mendorong rasa sakit di dada lelaki bermata biru. Ia belum beristirahat, di tubuhnya masih melekat bekas-bekas perjuangan membebaskan diri dari keadaan pelik yang hampir berhasil membelenggu dirinya di dalam bara api yang sama. Api yang melahap gedung tarantula.     

"aku tidak pernah bertindak dari luar batas! Mereka berani terang-terangan menyentuh orang-orang ku. Apakah salah seorang yang berusaha mempertahankan diri?! Apakah salah jika aku membebaskan milikku yang mereka tahan?! Maaf, jika tindakanku tidak elegan. Maaf, aku bukan kamu ... ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.