Ciuman Pertama Aruna

VI-231. Cinta Kesatria



VI-231. Cinta Kesatria

0"aku tidak pernah bertindak di luar batas! Mereka berani terang-terangan menyentuh orang-orangku. Apakah salah? seorang yang berusaha mempertahankan diri?! Apakah salah jika aku membebaskan milikku yang mereka tahan?! Maaf, jika tindakanku tidak elegan. Maaf, aku bukan kamu! Kau yang mengajarkan padaku bagaimana menjadi lebah. Aku sudah menjalankannya dengan benar!" Suara Hendra membentur tiap lapisan dinding rumah induk. Beberapa dari mereka memilih untuk tetap bersembunyi di dalam kamar masing-masing. Sedangkan sebagian lainnya berharap dapat memastikan apa yang sebenarnya terjadi dan itu adalah Sukma serta Gayatri.      

"Itu mustahil," lelaki paruh baya yang sebelumnya berdiri kini kembali duduk pada kursi rodanya.      

"hmm.." ada seringai di bibir Mahendra, "Mustahil menyerang dengan terang-terangan? Apakah itu yang ada di kepala Anda??" netra hitam Wiryo naik menatap cucunya.      

Detik ini hawa dingin menyergap, tekanan udara di atmosfer bumi perbukitan serasa meningkat tajam. Perempuan hamil di kursi roda menghentikan gerakannya dia menjadikan roda kursinya mundur ke belakang. Memilih mengendap daripada menampakkan diri.      

"nona anda...?" Susi mencoba bertanya. Kenyataannya perempuan tersebut menggelengkan kepala. Dia ingin Susi diam, terlihat dari cara Aruna meletakkan telunjuk di atas bibir.      

"Setahuku Mereka tidak akan pernah menggunakan tangan sendiri. Apalagi terang-terangan," ini suara tetua Wiryo, terasa lebih rendah dibanding intonasi sebelumnya.      

"apa bedanya menggunakan tangan sendiri dan orang lain? Ujungnya sama bukan?! Sama-sama menjadikan kita sasaran!" yang tidak diketahui Aruna detik ini adalah gerakan suaminya berjalan mendekat keberadaan tetua Wiryo, "sudah cukup untuk Surya, Rolland, kehilangan rambut, bahkan jari mereka!" Mahendra hendak membisikkan sesuatu. Kalimat kejam untuk kakeknya. Tapi lelaki bermata biru ini mengurungkan niatnya setelah matanya menemukan dua perempuan yang sedang berjalan perlahan ke arah keberadaan dirinya dan lelaki paruh baya di atas kursi roda.      

Mahendra akhirnya mundur kembali, dia tidak ingin memberi kesan yang tidak nyaman demi neneknya dan mommy-nya. Sekesal apa pun hatinya pada sang kakek, "aku melakukan ini karena aku peduli dan menyayangi orang-orangku," segala jenis emosi di dalam hati Mahendra di tekan kuat-kuat.      

"bagiku, siapa pun yang berani menyentuh orang-orang di lingkunganku sama saja dengan melawanku. aku akan menghancurkan mereka tanpa kecuali. Aku merasa terhormat seperti ini, daripada harus mempertahankan prinsip hidup bertahan hanya untuk kedamaian semu!" Mahendra membalik tubuhnya, kalimat ini tidak bervolume rendah, sehingga hanya dirinya dan tetua yang dapat mendengarnya.      

"mungkin saat ini kamu belum sadar Hendra. Cucuku," sejalan dengan Hendra yang membalik tubuhnya, mengarahkan pandang ke tangga -hendak meninggalkan Wiryo- Lelaki paruh baya tersebut mengarahkan kursi rodanya tepat ke punggung cucunya.      

"kemenangan abadi, saat kita bertindak tanpa melampaui batas, kemenangan abadi ada untuk orang-orang yang tidak pernah berbuat keburukan terhadap orang lain, dari situlah seorang manusia menemukan rasa.."      

"rasa bangga?? bangga kita tidak pernah berbuat buruk? Padahal orang lain memukul kita bertubi-tubi?? Aku bukan kamu! Sekali lagi aku ulangi, aku bukan anda!! Dan.. sayangnya aku tidak memiliki kesabaran seperti anda. bagiku masalah harus diselesaikan sampai akar-akarnya. Barulah kita bisa memikirkan masa depan!!" Mahendra kembali membalik arah tubuhnya, "bullshits untuk kemenangan atau apa pun itu! Jiwaku sudah rusak sejak awal!! Aku tidak mau mewariskan kerusakan ini pada anak cucuku nanti. Terlebih aku akan punya bayi perempuan. Sudah cukup melihat ibu dan nenek hidup dalam tekanan konyol ini!!"      

"kamu harus mempertimbangkan kata-kataku dengan baik, sebab kau adalah pemimpin sekarang," Wiryo memberi pesan, dari nada bicaranya lelaki paruh baya ini hendak menghentikan percakapan dengan cucunya. Dia mulai menyadari Mahendra mustahil dikendalikan.      

"karena aku pemimpin. Aku harus memperjuangkan kenyamanan hidup semua orang yang berada di bawah kepemimpinan ku," entah mengapa ada kesan bahwa asas yang dipegang oleh orang yang saling berkomunikasi tersebut bertolak belakang. Walaupun tiap-tiap pendengar menyadari keduanya mungkin ada benarnya.      

Dua pasang mata bernetra biru dan hitam pekat bertautan. Mata mereka yang berkilat memberitahu tidak ada satu pun yang ingin meninggalkan apa yang dipegang oleh sudut pandang masing-masing, untuk itu yang tersisa detik ini adalah nuansa saling berseberangan. Komunikasi tanpa titik temu.      

Hendra meninggalkan lelaki di atas kursi roda, ia menaiki tangga menuju lantai kedua. Dibalik semua kejadian ini Wiryo mencoba untuk kembali ke kamarnya. Ternyata tidak jauh dari keberadaannya dua orang perempuan hadir.      

Gayatri mundur lebih dahulu menyusun langkah kaki meninggalkan ibunya, seorang perempuan yang pada akhirnya memberanikan diri mendekati suaminya. Pria yang sengaja dia hindari beberapa pekan terakhir, "berhentilah ikut campur, terlebih pada tindakan cucumu! Bukan hanya kau yang memiliki otak di dalam kepalamu!" kalimat ini sungguh kasar. Sukma tidak pernah mengatakan hal semacam itu kepada suaminya.      

Saat Sukma terbalik, dia mendengarkan ucapan suaminya, suara Wiryo bernada rendah mempengaruhi tiap-tiap pendengarnya, "Knightly love is blent with reverence as heavenly air is blent with heavenly blue,"      

(Cinta kesatria bercampur dengan rasa hormat Seperti udara surgawi bercampur dengan biru surgawi —George Eliot)      

"Aku sedang mengajarkan cucuku tentang itu," pada ungkapan Wiryo tidak ada kemarahan di dalamnya. Suaranya datar, berat dan penuh makna seperti biasanya.      

"Gagal dalam sebuah pertempuran akan lebih kesatria, daripada gagal sebelum sempat menarik pedang. Julius Caesar," berbalik sesaat menatap suaminya, "dan aku bangga cucuku memegang prinsip yang ini!" Sukma kembali berbalik dan berjalan meninggalkan suaminya. Demikian tindakan yang dipilih Sukma, yang diam-diam diamati Aruna.      

Sejalan dengan kalimat-kalimat yang dia dengar, Aruna tak tahu apa yang harus ia lakukan selepas ini. Dirinya tidak mengerti apa yang terjadi. Dia juga tidak tahu apa yang diributkan. Menerka-nerka seperti burung kecil di dalam sangkar emas, gerakannya terbatas, kemampuannya mengamati sekeliling tak bebas. Hanya bisa mencuri dengar, sepotong-sepotong saja.      

"Anda mau kembali sekarang nona?" Aruna menggelengkan kepalanya.      

"aku akan bersembunyi di sini, sampai jalan menuju kamarku sepi, baru bawa aku ke sana," permintaan Aruna dipenuhi Susi.      

***      

Pikiran Aruna melayang ke mana-mana ketika ia sudah kembali di kamar, Susi pergi meninggalkannya seorang diri.      

Harap-harap cemas, perempuan dengan netra coklat tiada henti menatap daun pintu. Ia menunggu Mahendra. Walaupun pada akhirnya buru-buru menutup mata dan pura-pura tidur ketika handle pintu berputar menyadari Mahendra telah datang.      

Bau sabun menguar dari tubuh seseorang yang baru menampakkan diri di kamar pribadi sepasang suami istri tersebut. Bau khas Mahendra merasuk dan terhirup Aruna.      

Aruna menikmatinya, sedikit lega rasanya, menyadari Mahendra telah berada di sekitarnya. Menggoyangkan sisi kiri ranjang, Aruna yang menghadap ke kanan mendapatkan tangan kokoh Mahendra merengkuhnya tak lama kemudian tangan itu membuat dekapan erat-erat.      

Aruna tidak mengerti kenapa detik ini seolah dirinya kembali ke masa itu, masa ia belum bisa menerima pernikahannya dengan lelaki yang menyandang status pewaris tunggal Djoyodiningrat.      

Pura-pura tidur adalah senjatanya kalau itu, dan hari ini dia mengulanginya lagi. Seorang perempuan pecundang tersembunyi di balik pelukan lelakinya. Lelaki yang menghisap rambutnya. Mengelus-ngelus seluruh permukaan epidermisnya.      

Lalu membisikkan kalimat yang mewakili perasaannya: "selamat istirahat Hartaku.. mimpi yang indah kalian berdua.. Lega rasanya, hari ini aku masih ada untuk mencintai kalian,"      

Aruna spontan membuka matanya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.