Ciuman Pertama Aruna

IV-234. Pembual Ulung



IV-234. Pembual Ulung

0[Ayah Rio masuk rumah sakit, apa kamu tidak ingin menjenguknya?] pria yang baru saja memberi kabar kepada adik tirinya terdengar naif. Begitulah Juan mendefinisikan kakak tertuanya, Gibran.     

Bagaimana CEO Tarantula tersebut bahkan tidak tahu bahwa sang adik yang sedang berbicara di telepon adalah bagian dari pelaku yang mengakibatkan ayahnya sendiri terbaring di rumah sakit.     

[Aku yakin, ayah Rio tidak akan nyaman saat aku datang menjenguknya] ada ekspresi malas yang tak diketahui lawan bicara Juan. [Sampaikan salam prihatinku terhadap kejadian yang menimpa ayah. Aku akan kirimkan buket bunga terbaik yang dirangkai langsung oleh tangan ibuku] kemudian lelaki ini menutup panggilan telepon.     

***     

Pagi ini, Aruna bangun lebih awal. Matanya mengembara menatap Mahendra, hingga kemudian tangan kecilnya mengendap-ngendap mencoba mengintip sesuatu yang ada di bahu lelaki tersebut. Sayangnya, pria itu bergerak, merebahkan tubuhnya sehingga bahunya yang sempat diintip pun menjauh.     

Hembusan nafas hadir sebagai tanda lelah atas rasa penasaran terhadap apa yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Tubuhnya yang kian hari terasa semakin berat, dia upayakan untuk duduk.     

Telapak kakinya membengkak luar biasa, ketika perempuan hamil ini menurunkannya ke lantai. Mengamati dengan sesama, karena sadar punggung telapak kaki yang menggembung itu adalah akibat terlalu banyak berbaring.     

Aruna mencoba menggerak-gerakkan ujung jempol dan beberapa jari kaki ketika ia duduk di tepian ranjang. Sekali lagi, ia merasakan tubuhnya bakal sulit untuk berdiri dan berjalan dengan benar.     

"Hai sayang?" suara Mahendra menyapa ketika Aruna sudah berdiri. Perempuan ini berpegangan pada kursi yang berada di dekat ranjangnya, saat ia mengupayakan melangkah. "Panggil seseorang, untuk membantumu."     

Aruna menoleh ke sumber suara, dan mendapati mata biru dengan bibir yang ditekuk.     

"Jangan ambil resiko," pria tersebut menyingkap selimut yang menutupi kedua kakinya.     

"Aku hanya ingin berdiri dan menggerakkan kakiku," di telinga Mahendra, ungkapan Aruna sekedar alasan.     

Pria itu berjalan gesit memutari ranjang. Sejalan kemudian, ia mendekati tubuh Aruna lalu mengangkatnya ke dalam gendongan.     

 "Jangan macam-macam!" dia masih saja hobi mengutarakan kalimat intimidasi, bahkan kepada istrinya sendiri.     

"Jika kau jatuh dan terjadi sesuatu padamu, bukan hanya aku yang akan ketakutan," mata Mahendra menajam menatap perempuan yang berada di dalam dekapan, "Seluruh keluarga ini bakal didera rasa resah, mengerti!"     

"Kalian memang berlebihan!" sergah Aruna, menggerakkan bahunya berharap diturunkan.     

"Apa yang kamu inginkan sekarang, sayang?"     

Mendengar pertanyaan Mahendra, neuron di kepala Aruna memberitahu bahwa dia bisa melihat seluruh bagian tubuh suaminya kalau dirinya mengajukan permintaan ini, "aku ingin mandi bersamamu."     

Ada lesung pipi yang menggores wajah di atas rahang Mahendra. Pria tersebut melangkahkan kakinya mendekati lorong kamar mandi kemudian memutar handle pintu, sebelum memasuki walk-in closet yang menawarkan cermin memanjang.     

Aruna bisa melihat gambaran dirinya yang saat ini berada dalam dekapan suaminya. Perempuan itu tahu, ada sesuatu di bahu Mahendra. Di bawah sudut matanya, bisa jadi di sekujur tubuhnya. Aneh sekali, pria itu justru tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia kesulitan membopong tubuh istrinya dengan kedua lengannya.     

Sebuah kursi empuk memanjang yang terbuat dari bahan kedap air, menjadikan tempat Aruna didudukkan. Keduanya sudah berada di ruang utama bathroom.     

Lelaki bermata biru terlihat berjalan mendekati kran yang menyatu dengan bathtub, hingga beberapa detik berikutnya, gemericik air keluar dari benda tersebut. Kabut tipis yang menandakan adanya udara panas menyelimuti bagian dalam bathtub, itu artinya Mahendra mengatur suhu air yang keluar dari keran.     

Sejalan kemudian, terlihat pria itu kembali berdiri tegap lalu membalik tubuhnya menuju Aruna. Dia menekuk kaki tepat di hadapan istrinya, tersenyum mengamati perempuan yang saat ini juga menatapnya, kemudian jemarinya naik membuka sebuah kancing baju.     

"Aku bisa melakukannya," ucap Aruna yang kemudian merebut kerah bajunya. "Cuma begini," katanya sambil membuka kancing baju urutan kedua, mengamati dengan kesal perilaku suaminya yang masih berupaya membantunya membuka buah kancing dari urutan terbawah. "Aku tidak lumpuh, cuma hamil!" namun, keluhan-keluhan ini konsisten diabaikan.     

Lelaki bermata biru menaikkan sedikit pandangannya guna mengintip istrinya yang mengomel. Detik berikutnya, mata biru itu menyipit, selaras dengan gerakannya membantu Aruna meloloskan diri dari piyama tidur yang ia kenakan.     

"Huhh, benar-benar mengganggu imajinasiku," Mahendra menyentuhkan ujung-ujung jemari tangan kanannya pada benda sintal di dada sang istri, menyebabkan bulu kuduk Aruna berdiri.     

"Kamu sedang menghinaku, ya?" ada nada kesal di suara Aruna.     

"Menghina?" Mahendra memiringkan sedikit kepalanya, terlihat seperti sedang berpikir. "Bagaimana bisa aku menghina perempuan secantik Ken Dedes?" lesung pipi kembali tersaji darinya.     

"Hah! Pembual ulung beraksi" Aruna terkekeh, ocehan Mahendra menjadikan standar humornya hancur, "Aku yakin kalau kamu menjadi pejabat, bakal banyak yang mengelu-elukan mu," imbuhnya.     

Sepasang mata biru milik Mahendra berbinar, "Tentu saja, itu yang akan terjadi. Mudah diprediksi," sahutnya bangga, "selain tampan, aku juga cerdas dan bijaksana" sombong adalah jiwa yang melekat kuat pada dirinya.     

"Bukan karena cerdas atau bijaksana, tapi karena kau pandai membual," kulit di antara alis Mahendra menyajikan tiga ruas garis, dan dia yang tidak terima menarik tubuh istrinya hingga melekat kuat di tubuhnya.     

"Barusan, bicara apa? Aku hanya pandai membual?! Coba katakan sekali lagi!" cecarnya, mengintimidasi perempuan hamil yang saat ini mencoba melepaskan diri.     

"Hendra, lepas!," pinta Aruna sambil bergerak-gerak di dalam dekapan lelaki yang kini sedang mendesis.     

Tatapannya berkilat nakal, lalu dia berkata, "rasanya ingin kumakan saja dirimu sampai habis! Hrraaumm!" di akhir ucapannya, Mahendra menirukan suara singa tempat di wajah istrinya yang mengerut takut.     

Pada akhirnya, pria itu menanggalkan kain yang membungkus istrinya. Menarik segitiga yang menutupi bagian bawah perut perempuan hamil, lalu mendekapnya kembali ke dalam gendongan sebelum meletakkan tubuh sang istri ke dalam bathtub. Membiarkan potongan piyama lengan panjangnya basah oleh air.     

"Kenapa kamu tidak membuka bajumu?" ada kesan kesal hati pada raut wajah Aruna.     

Mahendra tidak memberinya jawaban. Duduk di tepian bathtub, pria tersebut meraih dagu istrinya. Mengusap bibir mungil dengan ujung jempol tangan kanannya. Sejalan kemudian, wajahnya mendekat lalu menyusupkan lidahnya di sana.     

"Aku tidak bisa menyentuhmu lebih dari ini, lalu bagaimana bisa aku mandi bersama?," ucapnya sesaat selepas bibirnya merenggangkan tautan. Sementara di sisi lain, Aruna tahu kalimat yang meluncur dari bibir suaminya, sekadar pemanis guna mempertahankan kacamata kuda yang dipasang lelaki tersebut pada dirinya.     

Bersama dengan alasan yang baru diucapkan, sejujurnya Mahendra tahu perempuan di dalam bak mandi berair hangat Ini, perlahan-lahan mendingin. Ia tidak berbicara bahkan menghindari tatapannya.     

Mahendra tidak bisa berbuat lebih dari mengambil sabun cair dan membuat busa di spons mandi, kemudian menyusuri punggung telapak tangan hingga ke arah bahu istrinya, bergantian antara tangan kanan lalu berpindah ke sebelah kiri.     

"Hanya karena aku tidak mau mandi bersamamu, kau sampai memalingkan wajah seperti ini?" pada akhirnya, Mahendra tidak tahan terhadap kebekuan yang disajikan Aruna. Perempuan ini paling pandai menyiksa ketika dia menbeku dan tak ada satupun kata yang keluar dari bibirnya.     

Aruna menanggalkan keengganan nya menatap Mahendra, menaikkan wajahnya untuk menangkap netra biru yang kini tengah menatapnya. "Aku tidak akan bertanya apapun. Aku akan menelan seluruh keingintahuanku dalam-dalam, asalkan aku diizinkan melihat bagian tubuh yang kamu sembunyikan di balik piyamamu."     

"Benarkah?" suara dingin ini sejalan dengan mata biru yang kini menajam, kontras dengan tindakannya yang hangat sepanjang pagi.     

Mata yang menajam itu, berpindah menatap kerah piyama miliknya. Tangannya naik dan sebuah gerakan melepas ... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.