Ciuman Pertama Aruna

IV-236. Tidak Ada Pertanyaan



IV-236. Tidak Ada Pertanyaan

0Mata yang menajam itu, berpindah menatap kerah piyama miliknya. Tangannya naik dan sebuah gerakan melepas anak kancing pertama di tunjukan Mahendra. Satu persatu bulatan kecil tersebut lolos dari pengaitnya.      

Mata se-cokelat daun Maple di musim gugur membuat pengamatan tanpa jeda. Ketika selembar piyama lengan panjang berwarna Silver dilempar suaminya ke lantai dia menundukkan wajahnya.      

Matanya memerah, selaput di bawah bibir di tekan dengan gigi atasnya guna menahan resah yang membuncah di dada. Pria tersebut masuk ke bathtub. Dan seketika Aruna merasakan tubuhnya ditarik dari arah belakang masuk dekapannya. Di antara dua kaki yang terbuka.      

"apakah aku terlihat seperti Villain?" ini pertanyaan yang hampir serupa dengan semalam.      

Aruna membuka mulutnya, sayangnya udara kering yang tersisa di sana.      

"jangan bilang kamu-,"      

"a-aku," gagap Aruna mengeluarkan suara. Dia menarik nafasnya sekali lagi. "Aku, boleh aku merebahkan diri di dadamu?"      

Tidak ada jawaban dari bibir Mahendra, sebab jawaban itu detik ini dihadirkan oleh telapak tangan yang menarik bagian tubuh Aruna di antara dada dan perut untuk merapat padanya.      

Aruna meletakkan kepalanya di sana di badan yang terlihat memerah pada beberapa bagian. Aruna bahkan bisa melihat bekas kaca menggores bahu suaminya. Mirip yang didapatkan pada telapak tangan.      

"aku mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu, aku tak bisa melihat hal lain selain bahwa kamu Hendra," tangan mungil Aruna hadir menelungkupi lengan kokoh yang ukurannya kontras dengan lengannya. Dia yang bicara melelehkan air mata.      

"kamu berjanji tidak akan bertanya, bukan berarti diizinkan menangis?" jempol tangan lelaki bermata biru naik membasuh bulir air di pipi perempuannya. Wajahnya mendekati kepala sang perempuan. Dia menyesap rambut setengah basah yang tergerai.      

"kita akan mengakhiri ini, bertahanlah sebentar lagi," bibirnya berbisik di telinga. Perempuan yang masih enggan menghentikan air matanya mengangguk. Walaupun Aruna tidak memahami makna secara nyata kalimat yang diucapkan suaminya.      

***      

Pagi menuju siang, lelaki bermata biru makan di meja makan sendirian, dia ketinggalan jadwal sarapan rumah Induk. Terlihat garpu dan sendok bermain di atas piring saji. Tatkala lelaki setinggi dirinya datang dengan ransel hitam.      

Berdiri kaku tepat di hadapan Mahendra. Hendra mendongakkan wajahnya menatap siapa yang datang dan berani mengganggu jadwal sarapannya.      

"Duduklah!" netra biru itu turun dan kembali menatap piring saji. Mengais yang tersisa pada piring, lelaki ini mengangkat sendok yang berisi makanan. Dia begitu tenang menikmati sesuatu yang dia masukan ke dalam mulutnya.      

Sangat kontras dengan apa yang terlihat di hadapannya. Lelaki pembawa ransel menurunkan ranselnya dan buru-buru mengeluarkan mini laptop hitamnya di susul segepok berkas yang langsung diarahkan pada Tuan Muda Djoyodiningrat.      

"bisakah kamu menungguku menyelesaikan sarapan ku?" desah Hendra. Jelas dia merasa terganggu.      

"andai Anda menandatangani semua berkas ini sekarang. saat ini juga prosedur pengajuan perkara akan ditangani, dan dengan kecepatan tangan saya, saya akan mengirimkan surel pada mereka yang berani menyebut nama Anda dalam tragedi kebakaran besar yang terjadi semalam,"      

Tangan yang awalnya memegang gelas kaca dengan tenang –hendak melarutkan makanan di dalam mulut- kini berubah kaku. Benda bening di tangan tuan muda Djoyodiningrat retak perlahan-lahan, dia tak jadi meneguk zat cair yang tersaji sana.      

"berikan bolpoinya!" serta merata Mahendra mendapatkan apa yang dia inginkan. Lelaki bermata sendu di depannya mendorong bolpoin hitam pekat dengan ujung gold pada Mahendra.      

Sejalan kemudian satu persatu tumpukan berkas di buka oleh Mahendra. Terlalu sibuk memeriksa yang ada pada tiap lembaran kertas tak menyadari istrinya datang dan telah berada di sampingnya.      

"Vian?" panggilan Aruna mengakibatkan Vian menoleh dan tersenyum ringan pada perempuan yang terlihat berusaha bangun dari kursi yang membawa tubuh perempuan hamil. Aruna berjalan lambat di bantu Susi sepertinya hendak menuju kursi yang berada di dekat suaminya.      

Kursi ditarik dan seketika lelaki bermata biru tampak terkejut, menoleh lalu kerutan tersaji pada alisnya, "tolong! Susi, bawa istriku menjauh dari sini,"      

Hal yang lebih mengejutkan adalah tindakan yang lekas diperlihatkan oleh Vian. Lelaki yang selama ini diam-diam mendukung nona di balik layar adalah seseorang yang dengan gesit merapikan lembaran kerta tercecer sebab diperiksa oleh Mahendra.      

Susi yang semula mundur. Kini maju selangkah menawarkan tangannya untuk membawa perempuan hamil ini pergi.      

Tangan Aruna tergenggam kuat-kuat atas perlakuan sepihak yang dia dapatkan.      

"Nona, mari," Susi membujuk Aruna.      

Gumpalan beku telah memenuhi seluruh tenggorokan. Dia membuang tangan Susi tetapi ajudan itu mengelus tangannya dan menariknya perlahan, "nona, kumohon," dia berbisik dan Aruna yang tertekan membuang wajahnya. Kembali ke arah kursi roda dan dibawa pergi.      

"Anda boleh marah setelah menjenguk junior saya selepas ini," ujar Susi, pagi ini Aruna mengenakan pakaian lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Dikarenakan Hendra memintanya menemani dirinya menemui seseorang.      

"Menjenguk junior? Siapa? Kihran?" Susi mengangguk dalam keengganan yang nyata, bingung apakah perlu ia yang memberi tahu apa yang terjadi semalam, ataukah tuan muda sendiri.      

"Ada apa dengannya, beritahu aku?"      

"Makanlah dulu, aku yakin tuan memberi Anda kesempatan untuk ikut bersamanya, menemui orang-orangnya yang terluka, itu artinya tuan ingin memberi Anda pemahaman," Susi mengatakan kalimatnya dengan wajah serius, berusaha menegaskan pemikirannya tak akan meleset.      

"aku tidak mengerti dengan kalian, kenapa kalian semua seperti ini padaku, aku tahu atau tidak suatu saat aku pasti bakal menemui semua kebenaran, hal buruk apa yang aku tidak ketahui dari keluarga ini?" nada bicara Aruna naik turun, "semua sudah kupahami dengan baik, jadi buat apa harus menutup-nutupinya,"      

"sebab tugas utama Anda saat ini, menjaga kesehatan jiwa dan raga Anda untuk melahirkan bayi dengan selamat," kilah Susi.      

"Benar!" suara lelaki hadir di belakang, "aku sudah selesai dengan Vian," Hendra berdiri di belakang, "Apa istriku bisa makan di perjalanan?" dia menangkap Aruna yang masih terhenyak.      

"Susi siapkan bekal, aku tak mau istriku kekurangan nutrisi," mendengar ucapan Hendra Susi buru-buru pergi. Kini tangan Mahendra yang berada di dalam pegangan kursi roda dan lekas mendorongnya. Membawa Aruna menuju pintu keluar utama rumah induk.      

Benar apa yang diucapkan Susi, walaupun perjalanan menjadi canggung sebab ada kesal di hati Aruna serta kesibukan yang di perlihatkan Hendra dengan alat komunikasi 14 inci di tangannya. Aruna menyadari mobil ini menuju sebuah rumah sakit yang familiar.      

"Apa kamu lupa hari ini adalah jadwal periksa kandungan terakhirmu sebelum persalinan?" Hendra mengutarakan kalimat ini saat membukakan pintu untuk istrinya, "selain itu, aku rasa kamu juga berhak menjenguk ajudanmu,"      

"Hendra..."      

"Tidak ada pertanyaan," Tutup lelaki bermata biru saat mendorong kursi istrinya sendiri menyusuri lorong diiringi beberapa ajudan termasuk Susi.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.