Ciuman Pertama Aruna

IV-233. Jelmaan Villain



IV-233. Jelmaan Villain

0"Lalu, apa rencana pengawal bekas bandit?"     

"Dia memesan sebuah keris kepada seorang empu yang digdaya" Mahendra berhenti sejenak untuk memperhatikan perempuan yang saat ini tampak antusias mendengar cerita darinya.     

"Empu tersebut meminta waktu sampai dua belas bulan, sayangnya di bulan ketujuh, si pengawal yang hendak berontak itu sudah tidak sanggup lagi menunggu. Dia mendatangi sang empu lalu membunuhnya, menikamnya menggunakan keris yang ia pesan. Kemudian, dalam keadaan kritis, sebelum menemui ajal, sang empu menjatuhkan kutukan bahwa suatu saat keris yang belum usai dibuat tersebut akan membunuh tujuh raja,"     

Tampaknya, rasa penasaran benar-benar menguasai Aruna. Itu dibuktikan dengan dia yang bertanya, "apakah kutukan itu akhirnya terjadi?"     

Mahendra tersenyum kecil, lalu ia berkata, "cerita ini belum sampai di situ, sayang, jadi dengarkan dulu" tangannya meraba rambut istrinya, mengelusnya.     

"Setelah mendapatkan keris dari empu yang digdaya, keahlian bersiasat yang sudah melekat pada diri seorang bandit, muncul kembali," imbuhnya, "dia memberikan keris tersebut kepada temannya yang bernama Kebo Ijo, yang memiliki sifat congkak dan suka pamer, dengan tujuan memanfaatkannya. Kebo Ijo akhirnya memamerkan keris itu sebagai miliknya, ke seluruh penduduk kadipaten. Si pengawal yang hendak menjalankan siasatnya, mencuri keris buatan empu di malam hari ketika Kebo Ijo mabuk. Kau tahu apa yang dia lakukan berikutnya, sayang?" Mahendra bertanya pada Aruna yang terdiam memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari bibir Hendra.     

"Hm, apakah dia akan membunuh seseorang lagi selain sang empu?" Aruna menjawab dengan melempar pertanyaan balik.     

"Iya, tepat sekali" setelah berucap demikian, Mahendra mendekatkan dahinya menuju dahi Aruna. Benturan kecil disuguhkan lelaki bermata biru. Dia memang pengganggu ulung ketika merasa gemas.     

"Lalu" suara Mahendra kembali terdengar seiring dengan tangannya yang bergerak untuk membalik lembaran kertas. "Si pengawal itu mengendap-endap memasuki kamar sang Adipati. Menikamkan keris ke tubuh tuannya hingga tewas. Diceritakan di beberapa versi, Adipati tersebut ditikam di hadapan istrinya, permaisuri cantik yang diidamkan oleh si pengawal, dan perempuan itu tidak keberatan."     

"Ha?" Mata coklat dan mulut Aruna spontan melebar. Dia tampak tak percaya dengan cerita tersebut.     

Sementara di sisi lain, Mahendra hanya tersenyum dan menganggukan kepala, lalu kembali berujar, "kematian Adipati membuat Kadipaten geger. Kegegeran yang seperti sudah diskenariokan si pengawal, dimana berujung pada tuduhan pembunuhan oleh Kebo Ijo, sang pemilik keris yang menancap di tubuh pemimpin kadipaten. Tuduhan telak, yang mengakibatkan Kebo Ijo dihukum mati."     

"Dia Serapi itu?," celetuk Aruna.     

"Jangan lupa, ada cendekiawan yang mendukung setiap gerakannya," timpal Mahendra, "selain itu, dia memang sangat cerdas" lalu lelaki ini kembali membalik lembaran kertas.     

"sang pengawal yang berhasil membunuh Tuannya, mengangkat dirinya menjadi pemimpin kadipaten, sekaligus memperistri permaisuri yang saat itu tengah mengandung janin yang kelak lahir dengan nama Anusapati." Mahendra menolehkan kepalanya sejenak, menatap Aruna. "Jika kisah ini aku percepat, maka akan sampai pada babak di mana Anusapati akhirnya tahu bahwa ia bukan anak kandung dari pengawal yang berubah jadi pemimpin kadipaten. Ya, dia mendesak ibunya, permaisuri yang aku ceritakan cantik luar biasa, tak kuasa untuk tidak memberitahu bahwa ayah kandungnya meninggal karena dibunuh, dan pembunuhnya tak lain ialah suaminya yang sekarang," jelasnya.     

Mahendra kembali menambahkan, "Anusapati menemukan keris yang digunakan untuk membunuh ayah kandungnya, yakni keris empu Gandring. Dengan keris yang sama, dia membunuh sang pengawal yang menjelma menjadi pemimpin kadipaten itu. Begitulah kejadian awal dari bunuh-membunuh terjadi, seperti kutukan Empu Gandring. Sampai tujuh nyawa para raja gugur, sesuai kutukannya."     

Menghela nafas sejenak, Mahendra mengulurkan tangannya untuk kembali mengelus rambut Aruna. "Terlepas dari itu, dari sinilah lahirnya raja-raja di masa lalu. Sebab, setelah sang pengawal memimpin kadipaten, dia yang berasal dari rakyat jelata banyak membuat kebijaksanaan yang lebih manusiawi. Disebutkan, ia memiliki jiwa kepemimpinan Bhairawa Anoraga, tangguh perkasa secara fisik tapi lembut dalam mencintai rakyatnya. Ia juga punya sikap Bhumisparsha Mudra, melambangkan kepemimpinan yang tak pernah putus dalam pro kepada masyarakat kecil dan jiwa sosial tinggi."     

"Sebenarnya, tidak sekedar memimpin kadipaten yang telah ia taklukkan, pada akhirnya dengan dukungan seluruh lapisan, mantan bandit itu berani memberontak terhadap kerajaan yang di kisah awal diceritakan sebagai kerajaan dengan pemimpin yang sangat semena-mena kepada kaum-kaum di bawahnya. Villain ini memenangkan peperangan. Maka kadipaten yang ia pimpin berdiri sebagai kerajaan, menggantikan kerajaan sebelumnya dan di beri nama Singasari. Dari Singasari, menurunkan Majapahit dengan raja-raja besarnya. Dialah pendiri dinasti Rajasa, dinasti yang juga melekat pada raja Demak, Pajang, termasuk Mataram," Mahendra menutup buku di tangannya. Meletakkannya pada ranjang empuk sulur bunga lili.     

"Apakah istriku tidak penasaran siapa Villain yang aku ceritakan?," tanya Mahendra, yang sejak tadi menjelma sebagai pencerita ulung.     

Aruna lekas menganggukan kepala. Hingga, Mahendra pun berkata, "si bandit yang berubah menjadi pengawal, kemudian menjelma jadi seorang raja Singasari bernama Ken Arok, dan istrinya, perempuan ayu yang direbut dari seorang Adipati bernama Ken Dedes" jelasnya.     

"Oh!" seperti seseorang yang baru saja mendapatkan sesuatu yang menarik, Aruna berseru riang. "Aku pernah membaca sejarah itu waktu kelas empat SD, tapi aku tidak begitu peduli. Di buku pelajaran tidak diceritakan seseru ini," jujurnya, terdengar polos dan menggemaskan.     

Mahendra menurunkan tubuhnya. Ia berbaring di hadapan istrinya, lalu mengarahkan tubuh dan wajahnya untuk menghadap perempuan bermata coklat hangat. "Bagaimana Ken Arok dalam sudut pandangmu?" dia terlihat penasaran terhadap jawaban Aruna.     

"Aku tidak menyukainya ketika dia menikam Adipati sebelumnya untuk mendapatkan istrinya," jawab Aruna "namun, aku baru sadar di akhir cerita, ternyata dia adalah rakyat jelata yang cerdas, kuat, dan mampu menjelma sebagai sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya," ungkap Aruna.     

Mahendra menganggukan kepala atas perkataan Aruna. "Pembunuhan Adipati tersebut, sesungguhnya bagian dari perjuangan panjang sekelompok orang yang menginginkan terbebas dari kerajaan dengan aturan kejam. Pada akhirnya, perjuangan panjang itu berbuah manis, walaupun menggunakan cara yang buruk dan berakhir dengan kematian yang rendah."     

Aruna bergeming, tatkala ia mendengarkan susunan kalimat terakhir yang diutarakan suaminya sebelum menutup mata, sebab detik ini, Mahendra lah yang terlihat lelah perlahan-lahan merapatkan pelupuk matanya.     

Lama Aruna terdiam, sampai Mahendra benar-benar tidur dibawa rasa kantuk, perempuan hamil ini membalik tubuhnya. Memunggungi suaminya, lalu gerakan mundur perlahan-lahan ia ciptakan.      

Dia menjadikan dirinya merapat pada tubuh lelaki yang kini tampak tak terusik dengan tindakannya. Mengangkat lengan besar dan kokoh, kemudian diletakkan di atas tubuhnya. Sehingga ia serasa dipeluk oleh lelaki dengan netra biru yang hilang ditelan pelupuk mata.     

Ternyata, Mahendra sempat bergerak sesaat, menjadikan posisi mereka lebih nyaman. Dan, membisikkan sebuah pertanyaan, "apakah ken Arok sungguh seorang Villain di matamu?" bagaimana mungkin dia masih bisa mengigau saat kesadarannya direnggut oleh rasa kantuk.     

"Setiap orang adalah jelmaan Villains, pemeran antagonis bagi kehidupan orang lain" Aruna bisa merasakan gerakan dagu naik turun dan itu adalah milik Mahendra yang berada tepat di atas kepalanya. "Dan kita, sebagai pemeran utama di kehidupan kita masing-masing, selalu merasa kitalah protagonis, terlepas dari banyak hal buruk yang sengaja maupun tidak sengaja diri ini lakukan," dia berkata untuk dirinya sendiri. Walaupun dia tahu bisa jadi Mahendra sudah tidak mendengar ucapannya, ia tetap ingin mengatakan hal itu.     

***     

[Ayah Rio masuk rumah sakit, apa kamu tidak ingin menjenguknya?]      

Pria yang baru saja memberi kabar kepada adik tirinya, terdengar naif. Begitulah Juan mendefinisikan kakak tertuanya, Gibran.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.