Ciuman Pertama Aruna

IV-237. Dia Tersenyum



IV-237. Dia Tersenyum

0"Tidak ada pertanyaan," Tutup lelaki bermata biru saat mendorong kursi istrinya menyusuri lorong diiringi beberapa ajudan termasuk Susi.      

Terlihat berhenti sejenak di depan pintu, nyatanya Mahendra mendorong pintu tersebut supaya terbuka lebar. Dan dengan bantuan Susi yang sigap menggantikan tuannya mendorong kursi roda sang nona, Mahendra berhasil membawa istrinya masuk ke dalam ruang pemeriksaan kandungan yang biasanya dijadikan rujukan keluarga konglomerat tersebut.      

Tidak seperti pasien pada umumnya pasangan ini mendapatkan jadwal spesial dan prioritas sebagai pemegang kartu VIP.      

"Bayinya sudah siap lahir," ungkap sang dokter selepas membuat pengamatan untuk pasiennya.      

Aruna sudah terbaring di atas ranjang pemeriksaan ketika dokter memeriksa detak jantung janin, ukuran dan hal-hal lain seputar kehamilannya dengan memanfaatkan Transduser alat USG 4D.      

Pernyataan dokter tidak mendapatkan tanggapan, lawan bicaranya termangu menatap layar yang menyajikan janin di dalam perut istrinya.      

"jadi Minggu ini sebaiknya saya segera mengatur jadwal?" ini suara Aruna.      

"benar, anda bisa memilih hari dan jam yang tepat untuk persalinan, saran saya tak lebih dari seminggu," dokter menanggalkan alat di tangannya.     

"Tolong beri aku kesempatan melihatnya lagi," selepas termangu cukup lama Mahendra akhirnya bersuara.      

"kesempatan?" dokter sedikit bingung menoleh pada sumber suara dan baru menyadari apa maksud Mahendra selepas mengamati perilaku calon ayah yang berdiri tanpa berkedip menatap layar.      

Sang dokter kembali mengangkat alat pemindai janin dan disentuhkan secara perlahan-lahan di atas permukaan perut Aruna.     

"Dia tersenyum," hal yang sama kembali terulang pada lelaki bermata biru. Ia terpaku menatap layar, sejalan kemudian Aruna ikut melihat gambaran baby-nya.      

"wah benar sekali, dia menarik bibirnya," celetuk sang dokter.      

Spontan Mahendra merogoh kantong sakunya, sebuah smartphone keluar dari kantong tersebut kemudian diarahkan ke monitor, Hendra hendak mengambil foto bayi mungil yang berada di layar.      

"Anda tidak perlu melakukan itu tuan, kamu sudah menyiapkan foto scan untuk anda," dokter menanggapi perilaku lelaki bermata biru.      

Barulah Mahendra menoleh pada dokter, "aku ingin menyimpannya secara pribadi, di handphoneku," ungkapnya menyelipkan kembali handphone ke dalam kantong.      

Sekilas terlihat senyuman menggantung, sang dokter kandungan dicampakkan pasiennya. Dibalik kejadian tersebut dua mata calon orang tua saling bertautan, si coklat hangat bertemu dengan si biru dingin, berbinar dengan caranya masing-masing.      

Mereka berkomunikasi tanpa kata, komunikasi berbangga bahwa sebentar lagi keduanya akan memeluk sang buah cinta tak ternilai harganya.      

"untuk jadwal kelahiran? Sudahkah Anda berdua menentukan tanggalnya?" dokter mengulangi pertanyaan yang sama.      

"kami akan mendiskusikan...      

"aku rasa tepat minggu depan...      

Dua jenis susunan kata datang bersamaan memberi jawaban kepada dokter.      

Spontan Kalimat berbeda makna itu terhenti. Berniat memberi kesempatan satu sama lain. Kembali sepasang suami istri itu bertautan mata, senyum kecil terlukis di bibir Aruna. Mendorong gerakan lelakinya mendekat sebelum sebuah tangan memegangi punggung telapak kaki membengkak.      

"Apa pun yang istriku inginkan, aku setuju," kalimat ini menegaskan bahwa Mahendra memberi kesempatan Aruna berbicara lebih dahulu.      

"Tidak ... Aku setuju denganmu," selepas menatap suaminya Aruna mengalihkan pandangan pada sang dokter, "kami perlu berdiskusi dengan keluarga,"      

Dokter kandungan mengangguk ringan. Terlihat kembali menanggalkan alat pemindai janin. Lalu berdiri mendekati meja kerjanya. Di sisi lain suster yang berjaga lekas meraih tisu hendak membersihkan perut ibu hamil yang terlapisi Ultrasoud gel USG, akan tetapi tisu di tangan suster diminta lelaki bermata biru. Dengan cekatan lelaki ini membuat gerakan membersihkan perut istrinya sendiri sebelum membantu Aruna bangun dari ranjang pemeriksaan.      

Lengan disodorkan dengan tujuan membantu istrinya bangkit, dan sejalan kemudian lelaki bermata biru terlihat membantu istrinya berjalan mendekati kursi roda lalu menyerahkan pada Susi.      

Mahendra menjauh, dia menuju kursi di hadapan dokter.      

"sebaiknya anda segera memberikan jadwal persalinan pada kami," sang dokter menyampaikan permintaan sekali lagi sembari mencatat resep matanya naik melirik Tuan Djoyodiningrat yang masih awas mengamati keberadaan istrinya.      

"Aku melihat keringat anda di pelipis," sebuah sarkas manis diselipkan sang dokter.      

"Apa kamu merasakan keresahanku?" Hendra menoleh pada sang dokter selepas dagunya bergerak memberi tanda pada Susi, bahwa dia menginginkan Aruna dibawa keluar ruangan lebih dahulu.      

"Tentu saja," sang dokter tersenyum kembali, menaikkan kacamatanya perlahan, "Sudah ratusan bahkan mungkin lebih dari seribu calon orang tua yang aku temui selama praktik,"      

Senyuman ringan perlihatkan oleh Mahendra, sejalan dengan gerakan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, "Menurut anda apa yang menggangguku saat ini?"      

Sang dokter meletakkan bolpoinnya, "perlukan aku menjelaskan sesuatu yang anda sendiri tahu jawabannya?"      

"Aku ingin tahu pendapat seorang ahli,"      

"Keselamatan istri dan calon putri anda, tidak ada yang lain, benar bukan?"      

Dan Hendra mengangguk.      

"Menakutkan membayangkan dia kesakitan, lebih tepatnya seperti itu,"      

"Istri anda tidak akan kesakitan, prosedur persalinan kita bisa jadi jaminannya,"      

"Plasentanya tidak normal,"      

"Operasi jalan yang tepat, lihatlah, istri anda berjuang mempertahankan pertumbuhan bayinya sebaik mungkin. Aku rasa anda perlu berjuang mempersiapkan mental anda, buang hal-hal yang tidak layak dikhawatirkan," mata sang dokter menatap Hendra tanpa berkedip.      

Lelaki bermata biru mengangguk ringan, "aku bukan lelaki normal, anda tahu itu, aku tidak yakin aku bisa melewati hari persalinan, aku lebih takut dari Aruna. Aku tahu beberapa ibu meninggal di hari dia melahirkan dan itu menghantuiku,"      

"Aku rasa sebaiknya aku merekomendasikan obat untuk anda dari pada istri anda," sang dokter menggelengkan kepalanya, kembali meraih bolpoin di atas meja, "segera temui Diana atau anda perlu minum obat penenang saat hari besar kelahiran putri anda tiba," imbuh sang dokter.      

"Aku tak mengerti dengan diriku, aku tidak takut mati tapi aku takut terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan pada istriku, pada orang-orang yang mengisi hidupku," ujar Mahendra menerima resep yang harus di tebus.      

"Hati anda sangat halus, kontras dengan tampilan dan pembawaan anda," sang dokter tersenyum mengejek.      

"Kamu bisa bicara seperti itu, karena kau belum mengenalku," dia yang bicara berdiri diikuti sang dokter.      

"Bisakah istriku menghadiri pesta di akhir pekan? Apakah bayi kami masih sanggup bertahan andai aku menginginkan istriku muncul pada pesta perusahaan kami?" Hendra meminta saran yang sempat terlupakan ketika ia sampai di ambang pintu.      

"Tidak lebih dari seminggu, dan satu lagi sebaiknya ibu hamil yang mendekati masa HPL tidak kelelahan," pesan dokter.      

"Aku paham, aku bakal membawa tim kesehatan, dia hanya muncul beberapa menit,"      

"semoga berhasil tuan, satu lagi kuharap kamu mempersiapkan diri menghadapi kelahiran putrimu,"      

"aku akan bicara dengan Diana," dua orang tersebut berpisah. Dimana Hendra langsung dihadapkan dengan wajah polos istrinya yang sudah menunggu di depan ruang pemeriksaan kandungan.      

"Hendra apa yang kamu bicarakan dengan dokter? Kenapa lama sekali?"      

"Aku bertanya apakah baby bermata biru atau coklat?"      

"Hemm??" Aruna dibuat bingung dan lelaki bermata biru tersenyum senang melihat reaksi kosong istrinya.      

"Apakah USG 4D bisa mendeteksi warna mata?" tanya Aruna sekali lagi.      

"Nona tuan sedang menggoda anda, sadarlah," bisik Susi.      

.     

.     

____________     

Note Penulis: Terima kasih telah setia menungguku pulih. Aku menyadari novel ini berhenti update terlalu lama. Kepulangan ibu begitu membekas bagi jiwa dan kehidupan pribadiku.      

Visualisasi seorang perempuan pekerja keras berpulang tepat di hadapanku. Hal tersebut membawaku berada di titik hopeless 'tanpa harapan'. Ibu adalah sosok terdekat pertama yang berpulang, aku belum pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya.      

Jadi bisa dibayangkan sejauh apa aku perlu berjuang keras untuk bangkit. Chapter ini aku tulis sejak hari Kamis minggu lalu dan baru selesai di hari Senin. Butuh 5 hari untuk satu Chapter.      

Tanganku berhenti bergerak dan pikiranku kosong walaupun aku berupaya membaca ulang bab demi bab Aruna Hendra, rasa Hopeless menghantuiku dan membuatku hampa. Dibalik pembawaanku yang terlihat baik-baik saja ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan.     

Saat ini aku sedang berusaha bangkit, aku berharap siapapun anda di kehidupan pribadi anda, aku berdoa semoga anda tidak pernah mengalami Hopeless. Semoga keberkahan dan kesehatan meliputi anda sekeluarga.      

Salam sayang dari penulis 'Ciuman Pertama Aruna'. Sekali lagi terima kasih sudah setia menjadi sahabat pembaca untuk saya ˆˆ.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.