Ciuman Pertama Aruna

IV-239. Siapa Yang Lebih Kuat?



IV-239. Siapa Yang Lebih Kuat?

0"Tidak!!" tiba-tiba Thomas memekik.     

Dia bangkit begitu saja, "Arh!!" Dan detik berikutnya terdengar pekikan kedua, lebih lantang. Thomas baru menyadari tubuhnya tak mengizinkan.     

"Kau ini kenapa?" alis Mahendra mengerut, bingung mendapati tindakan spontan lelaki di hadapannya. Terlebih Thomas dengan sengaja memegangi lengannya detik ini.     

Menahan sakit, dia dengan berani meremas bagian kain yang membungkus lengan Tuan Muda Djoyodiningrat.     

"Tuan! biar aku yang mengurus keluarga Kihrani," sedikit menjauh dengan menggeser mundur tubuhnya, Hendra berupaya melepas jerat tangan yang berhasil mengacau kerapian hem lengan panjang miliknya.     

"Bicara saja, lepaskan tanganmu!" ketika Thomas sadar lelaki berambut platinum itu spontan membuka jemarinya, membebaskan segenggam kain -ujung lengan- Mahendra, dan spontan lelaki bermata biru itu membuat gerakan merapikan lengan bajunya yang kusut, "apa kepalamu mengalami sesuatu, kau mendadak mirip zombi!" maksud Mahendra tindakan Thomas terlalu ganjil.     

"Biar saya yang mengurus keluarga ajudan istri Anda," mata Thomas menatap dengan kelopak mata membulat lebar, dia penuh harap.     

"Kena-" Kalimat Mahenda belum usai di ucapkan tatkala Thomas sekali lagi bersemangat menyerukan sesuatu.     

"Saya tidak rela," lalu dia yang bicara terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepala, "sial! barusan aku bicara apa?!" kalimat lirih, disembunyikan dari Mahendra dengan gerakan wajah menoleh ke arah berlawanan.     

Giliran kembali menatap tuannya, Si rambut platinum terlihat menghirup nafas dalam-dalam, "Tuan, dulu saat saya sakit parah, dan dianggap hilang. merekalah yang merawat saya, di rumah mereka saya berlindung. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk balas budi," susunan kalimatnya diiringi dengan intonasi meyakinkan.     

Hendra sekedar mengangkat bahunya.     

"Apa keputusan anda?" Pertanyaan ini bernada mendesak. Thomas menuntut dengan cara aneh bin unik, sebab dia lebih mirip seorang anak muda yang mengharap izin kakaknya.     

"haruskah aku mengangguk atau berkata YA dengan lantang supaya kamu yakin?" sedikit jengkal Hendra menekan suaranya.     

"Mengangkat bahu tidak cukup untukku, ucapan yang keluar dari bibir anda sangat penting," Thomas membela diri, Thomas tahu selepas ini bakal ada orang lain yang memprotes permintaannya, dia butuh pria di hadapannya menegaskan keputusannya.     

Pria yang kata-katanya bisa dipegang. Untuk itu sekuat itu pula Thomas perlu mendengar kata 'Ya' meluncur dari bibir Mahendra.     

"Sekarang giliranku," Hendra terlihat merogoh sesuatu dari kantong bajunya. layar gadget di telapak tangan detik ini ditujukan pada Thomas.     

"Sejauh mana persiapan pesta tahunan kita, aku belum mendapatkan presentasi final," dia menyodorkan laporan progres kinerja Thomas.     

"semua laporan ada di meja saya," tampak berpikir, Thomas kembali menatap tuannya, "Finishing. Butuh seseorang yang mampu menggantikan posisi saya. Secepat mungkin. aku rasa sudah saatnya senior Surya kembali pada posisinya."     

Mahendra tidak berkata apa-apa, walaupun ekspresinya menunjukkan kepasrahan yang nyata, pria ini sadar bahwa ide Thomas yang terbaik untuk saat ini.     

"aku berharap aku bisa berada di sini lebih lama, sayangnya waktuku tidak banyak, aku yakin istriku sudah menungguku,"     

Thomas mengangguk mendengarkan kalimat yang diucapkan tuannya. Laki-laki bermata biru itu berdiri. Mendorong perlahan kursi yang ia duduki.     

"jangan khawatir," kebiasaan merapikan baju Hendra tunjukkan detik ini, "baik keselamatanmu, maupun keluarga ajudan istriku merupakan tanggung jawabku," dia yang bicara tidak mengarahkan pandangannya kepada Thomas, akan tetapi kalimat itu mampu memberi hawa sejuk bagi laki-laki yang terbaring karena luka di sekujur tubuhnya.     

.     

.     

"Terbakar? Semuanya?" kata-kata yang berakhiran tanda tanya tersebut bernada rendah, serendah mungkin, kalau perlu angin yang berembus melalui celah jendela bahkan tak mampu mencuri dengar.     

"Ya, begitulah yang-" mata seseorang yang bicara spontan mengalihkan pandangan, mata hitam pekat yang semula menatap perempuan hamil di atas kursi roda kini berpindah ke arah hendel pintu yang diputar dari arah luar, "nona!" Ini bukan kalimat perintah, tapi Aruna sigap memutar kursi rodanya. dia berupaya secepat mungkin sampai ke pintu. Dan ketika pintu terbuka sepasang mata biru menatapnya.     

alisnya hampir menyatu sebab ia tidak bisa membuka pintu secepat yang ia inginkan. "apakah benar ini rusak?"     

"Mungkin tersangkut, atau..." Aruna bisa melihat pria itu kembali meraih handle pintu yang terbuka. Dan memutar-mutarnya, mencoba memastikan.     

Kepalanya miring, tampak sedang berpikir, Hendra terlihat tidak senang karena dia tidak menemukan apa pun yang salah dari hendel pintu.     

"sudah cukup," Aruna memotong konsentrasi suaminya.     

Lelaki bermata biru lekas menoleh dan menatap Aruna, "aku ingin pulang, aku lapar dan," ia yang bicara menoleh padanya Kihrani, "cepat Pulih Kihran, aku menunggumu bisa kembali bekerja untukku,"     

"Ya, nona," perempuan itu tersenyum pada Aruna, dan sesaat kemudian ia mendudukkan wajahnya tatkala mata biru itu menatapnya. Tuan muda Djoyodiningrat selalu terkesan mengintimidasi. dari awal hingga hari berganti dengan bulan pria itu selalu menakutkan.     

"Susi akan di sini untuk mengurusmu dan keluargamu," barulah Kihrani berani menatap keberadaan tuannya. Dan mendesah lelah ketika punggung lelaki tersebut benar-benar hilang dari pandangannya.     

"Kau terlalu berani," Susi berjalan secepatnya menuju ranjang rawat Kihrani, "aku tahu kau membuka kejadian semalam pada nona,"     

"aku dibayar untuk mematuhinya, jadi, aku sedang bekerja sesuai kapasitasku, senior!"     

"huuh! Kau sangat naif! Apa kau tidak tahu? Seberapa besar pengaruh para lelaki keluarga Djoyodiningrat dibanding perempuannya?" Susi berbicara dengan nada kesal bercampur pasrah.     

"Yang aku tahu, salah satu dari mereka tidak mampu melihat perempuannya menderita. Lalu, siapa yang pengaruhnya paling kuat di sini?" Kihrani mematahkan argumen Susi.     

.     

.     

"Dengarkan aku baik-baik!" seorang laki-laki mencengkeram kerah baju seseorang yang berstatus wakil Walikota, "jika kau tidak mau memberikan kesaksian. Kau tahu akan berakhir seperti apa?" pria marah tersebut menyeret laki-laki yang bernama Nugraha ke arah layar televisi yang sedang menyiarkan berita kebakaran.     

Gedung bertingkat habis dilalap api, suara ambulans menderu-deru dan hawa panas tersebut seakan-akan ikut hadir mengintimidasi dia yang dipaksa mengakui bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan untuk melarikan diri.     

Ia tidak berada di kantor tempatnya sehari-hari bertugas, maupun rumah dinas yang menjadi tempat tinggalnya. Nugraha bahkan tidak tahu saat ini dia berada di mana.     

Ruang asing, di mana sekelompok orang asing tengah mengintimidasi dirinya.     

"kau pikir kita semua tidak tahu? Orangmu lah yang membuat tetua kita lumpuh," tanpa disadari siapa pun. Kalimat yang keluar dari laki-laki dengan mata sendu yang seharusnya terlihat ramah daripada menakutkan mampu mendorong tetes demi tetes keringat dingin Nugraha.     

Tetua mereka lumpuh?     

Nugraha menyadari yang dimaksud siapa, satu-satunya keluarga yang mampu meringkusnya tanpa rasa takut adalah mereka yang paling ditakuti kebangkitannya.     

"apa kau masih ingat ini apa?" selembar kertas, yang tersimpan dalam kotak dengan kunci kode angka dibuka di hadapan Nugraha.     

"Ahh!" mata Nugraha terbuka lebar, walaupun ia tidak mampu mengeluarkan sepatah kata selain desahan terkejut. Wakil Walikota tersebut mustahil menutupi ekspresi kepanikannya tatkala cek yang dulu pernah ia gunakan untuk menyuap rekan kerjanya -Walikota Riswan (Season II)- saat ini hadir di hadapannya.     

"Sangat mudah menghancurkanmu, menjebloskanmu ke dalam penjara, dan menjadikan seluruh keluargamu dikucilkan," Vian melepas kerah baju yang ia cengkeraman. Sehingga Nugraha kini terduduk layu, pasrah dan lemas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.