Ciuman Pertama Aruna

IV-240. Trust



IV-240. Trust

0"You may be deceived if you trust too much, but you will live in torment if you don't trust enough."     

— Frank Crane —     

***************     

Aruna kini sudah berada di dalam mobil, dia tak banyak bicara selepas mendengarkan deretan narasi yang di sampaikan Kihrani. Tiap kalimat yang di tawarkan suaminya kepadanya ditanggapi dengan singkat. Bukan karena marah, tak ada kemarahan di sini.     

Segalanya yang ada berkecamuk di dadanya, lebih kepada rasa heran yang teraduk menjadi satu dengan khawatir, kecewa dan resah.     

Sejauh itu Hendra berusaha menutup matanya. Sejauh itu pula Hendra tidak melibatkan dirinya. Aruna tidak di beri pemahaman sedikit pun.     

Pernikahan mereka berjalan lebih dari dua tahun dan Aruna tak tahu banyak tentang suaminya, tentang sepak terjang pria yang konon katanya mengemban status presiden direktur, segalanya masih sama, berasal dari orang lain.     

Duduk di kursi penumpang, Aruna mendapati pria bermata biru tersebut mengatur sudut punggung kursi yang Aruna gunakan untuk bersandar. Sebuah kontak makan sempat di tawarkan, akan tetapi Aruna menggeleng, memberi penolakan, sejalan berikutnya tanpa sepatah kata pria itu melepas sepatunya. Membebaskan telapak kaki Aruna yang ukurannya beberapa nomor di atas ukuran normal.     

'Bagaimana aku bisa menyuarakan resahku?' kalimat ini semacam pertanyaan kosong, di tahan di tenggorokan, dia tak memiliki kemampuan menyuarakan.     

Menatap sejenak Mahendra, Aruna untuk ke sekian kalinya mendapati tangan lelaki yang detik ini mengelus rambutnya berpindah ke atas perutnya. Dia menghantarkan sebuah elusan yang terasa hangat dan lembut, dia berlama-lama di sana.     

Dan sepertinya bayi kecil di dalam perut begitu menikmati sentuhan Daddy-nya. Bayi itu menggeliat, membuat gerakan yang mengakibatkan perut Aruna naik turun seperti gelombang. Sekali lagi di hari yang seharusnya suram ini, pria bermata biru menampakkan lesung pipinya yang mahal. Dia terlihat bergembira. Seolah segalanya baik-baik saja.     

Hampir mustahil Aruna bisa menerka sepak terjang Mahendra semalam.     

"Herry! Arahkan mobilnya ke kanan?" Aruna melihat ajudan yang mengemudikan mobil menatap Mahendra dari kaca spion.     

"aku baru saja mengirimkan map!" tangan kiri Hendra masih di perut Aruna tatkala pria itu memainkan handphone menggunakan tangan kanannya.     

Sekali lagi melalui kaca spion di atas kursi pengemudi, Aruna melihat pemuda yang menjadi orang kepercayaan Hendra menghantarkan tatapan pada Tuannya sebelum memutar kemudi mobil. Herry dengan sigap mengatur laju mobil berdasarkan map yang dia terima.     

Mulut Aruna masih enggan bicara. Walaupun dia menyadari di wajah ajudan itu ada sesuatu, seperti luka, tatkala Aruna kian jeli mengamati Herry, dia makin tahu adanya semburat merah pada punggung jemari tangan sang ajudan.     

"Aku ingin makan di resto terbaik, apakah itu mungkin?" terlihat Hendra menanggalkan smartphone-nya lalu memberinya tatapan lekat.     

Aruna tidak yakin permintaannya akan di penuhi.     

"Herry bawa kami ke Djoyo Rizt hotel," kembali memerintahkan. Herry tampak panik mengamati kemungkinan berbalik Arah.     

"Sebenarnya aku ingin pergi ke studio foto," matanya melayang membuat pertimbangan, "tak apa biar mereka yang menemui kita,"     

Benar saja belum usai Aruna turun dari mobil hitam pekat yang membawanya. Seseorang fotografer yang dulu di siapkan mommy Gayatri pada sesi maternity tunggal, sudah berdiri di ujung lobi dan berusaha tersenyum ramah, dia menyapa bersama kru-nya.     

Hendra mendekati mereka. Seperti seorang atasan yang sedang mengatur sekelompok anak buah. Pria itu sedang memimpin diskusi singkat.     

"Herry, apakah kamu bisa menghubungi teman-temanmu untukku?" di sela Hendra yang masih sibuk berbicara dengan fotografer Aruna mencoba berkomunikasi dengan pemuda yang berdiri di sampingnya.     

"teman-teman saya?" Herry terlihat bingung.     

"Ya, ajudan yang lain," tegas Aruna.     

Pemuda itu hening.     

"Aku ingin menjamu mereka,"     

Terlihat bibir Herry terbuka sekian mili, sayangnya dia memilih untuk berkata: "Saya rasa anda perlu meminta izin tuan," ucapannya terdengar canggung.     

"begitu rupanya," Aruna mengalihkan arah pandangnya, "bahkan permintaan sesederhana ini perlu persetujuan dari dia?" perempuan hamil tersebut menatap punggung suaminya.     

"Aku ingin sesuatu yang berbeda," Herry terlihat menahan diri untuk berkomentar, "seberapa banyak ajudan yang mau menerima tawaranku di luar perintah suamiku,"     

"Maksud nona?" pangkas Herry. Namun kalimat ini segera sirna sebab dia yang sebelumnya tengah bercakap-cakap dengan fotografer detik ini sudah berada di dekat keduanya.     

Di dalam lift khusus yang di peruntukan kepada tamu istimewa termasuk keluarga Djoyodiningrat. Herry mengamati gerak-gerik perempuan yang terlihat memainkan handphone-nya.     

Perempuan hamil itu tak sekalipun menanggalkan handphone dari telapak tangannya bahkan ketika dia di bawa masuk pada sebuah ruangan VVIP. Ruang makan mewah yang dulu menjadi tempat pertama kali keluarga Djoyodiningrat dan Lesmana secara resmi mempertemukan Aruna dan Mahendra.     

Aruna masih setiap menatap handphone dan sesekali melirik ke arah pintu sampai lelaki bermata biru memungut handphone di tangan dan memasukkannya ke salah satu kantong saku.     

"Makanan yang kita pesan sudah datang, sayang," Hendra memungut sendok dan menyodorkannya pada Aruna.     

"kenapa kamu berdiri Herry!" Aruna mengabaikan sendok, "duduklah di sini!" dia meminta Herry bergabung menggunakan nada perintah.     

Herry menatap tuannya, lelaki bermata biru menggerakkan dagunya ikut serta meminta Herry duduk.     

Sejujurnya bukan dikarenakan permintaan Aruna hati Herry menemui keraguan, gelagat nona mencurigakan.     

"Apa kamu pelayan di sini?" semen curigakan caranya menoleh pada seorang pelayan yang berdiri di pojok ruangan kemudian memintanya kembali menyodorkan menu makanan. Lalu perempuan hamil memesan makanan dengan jumlah tidak wajar.     

"Ini, bukannya terlalu banyak," satu alis Mahendra naik, sedangkan Aruna sekedar mengangkat bahunya. Dan seperti biasa lelaki bermata biru tersebut teridentifikasi tidak keberatan.     

Sesuai dugaan Herry selepas kesibukan para koki menghidangkan makanan mundur meninggalkan ruangan, suara ketukan pintu terdengar dan seorang pria muncul dari balik pintu setelah pelayan sigap membuka daun pintu ukir Jepara.     

"Wisnu," suara bernada rendah mengiringi Herry. Pemuda ini spontan menatap nonanya.     

Nona yang tersenyum padanya sembari menghantarkan gerakan bibir, 'satu,'     

Entah mengejek atau apa dia seolah mengajak Herry untuk bertaruh. Herry mengenal dengan baik nona satu ini. Terlalu baik sampai dia serasa bisa menabak apa sebentar lagi bakal datang wajah canggung di sisinya yang kebingungan dan terpaku di depan tuan yang alisnya mengerut sebab Wisnu datang tanpa dia minta.     

"Duduklah Wisnu," Aruna melebarkan senyumannya membuat Wisnu sedikit lega, "Terima kasih sudah menerima undanganku."     

Terlihat Wisnu berhati-hati meraih punggung kursi dan menggesernya cermat sebelum duduk lalu menoleh pada Herry yang menawarkan tatapan pasrah.     

"Nikmati apa pun yang ada di hadapanmu," dengan suara riang dia yang bicara membalik piringnya.     

Sedangkan Mahendra menatap Aruna, perempuan tersebut dengan sengaja mengabaikan seluruh tanda tanya yang disuguhkan suaminya. Ekspresi intimidasi tampak tak bernilai.     

Mereka bertatapan sesaat sebelum teralihkan. Ada dua orang lain yang berdiri canggung di ambang pintu, 'tiga,' Aruna menoleh pada Herry sejenak untuk menekankan bahwa dia memenangkan pertaruhan. Sebelum menyambut kedatangan Alvin dan Jav.     

"Duduklah! Alvin. Jav."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.