Ciuman Pertama Aruna

IV-241. Mari Kita Kendurkan



IV-241. Mari Kita Kendurkan

0"Duduklah! Jav. Alvin."     

Aruna pikir Mahendra lekas berkomentar terhadap apa yang ia lakukan.     

Anehnya pria tersebut tidak mengomentari tindakan istrinya. Lelaki bermata biru itu melanjutkan makannya dengan tenang. Terlalu tenang sampai kini Aruna lah yang merasa tak enak hati.     

Sama seperti yang di tunjukkan Mahendra anak buahnya juga begitu tenang melahap makanan.     

Beberapa kali mereka saling curi pandang, dan memilih untuk bungkam walaupun raut wajahnya menunjukkan ekspresi penuh tanda tanya.     

"Aku mengundang kalian di sini," perempuan itu mengambil nafas, berharap menemukan kata-kata yang paling tepat, "sebagai bentuk terima kasih, sudah bekerja dengan baik untuk kami," dia yang bicara merapikan duduknya, Menegakkan punggungnya, "sekali lagi terima kasih banyak," seutas senyum menggantung hangat di bibir Aruna seiring dengan matanya yang beredar menatap satu persatu.     

Tapi kali ini dia tidak memeriksa bagian mana yang penampakan kecurigaan, tidak lagi menghitung luka yang ada di bagian tubuh orang-orangnya. Dia menatap bangga. Mungkin beginilah promosi seorang pendamping. Itulah pikiran yang terbesit secara tiba-tiba di kepalanya.     

"Nikmati makanan kalian, jika ini belum cukup kita pesan lebih banyak lagi,"     

"Oh' tidak!"     

"Tidak perlu nona," akhirnya dua dari mereka mulai berbicara.     

"Kemana Rolland?" keengganan bicara yang sebelumnya ditunjukkan para ajudan kini telah pudar. Aruna mencoba untuk memecahkan suasana di antara mereka. Dengan berbagai pertanyaan yang mau tidak mau satu persatu terpaksa mereka gulirkan untuk menjawab nona keluarga Djoyodiningrat.     

"Oh, Rolland. Dia punya tugas ke luar negeri," Alvin tiba-tiba tercelup.     

"jangan katakan itu bodoh!" Wisnu menendang kaki rekannya secara tiba-tiba. Kalimat olok-olok dihantarkan lirih tapi Aruna bisa mendengarnya.     

Alvin tersentak, sambil menahan rasa sakit di kakinya, pemuda tersebut lekas menundukkan kepala. Menutup separuh wajahnya menggunakan telapak tangan kanan dengan pura-pura menggosok pelipisnya.     

Alvin kadang kala terlihat naif berbeda dengan Wisnu, pria itu sedikit jahil daripada yang lain.     

"Lalu, di mana Juan?" tak satu pun dari mereka ada yang menjawab. Hanya melirik satu sama lain.     

"Andaikan aku bisa melihat handphoneku, aku pasti tahu, dia mustahil mengabaikanku, dia bakal memberiku alasan kenapa tidak datang, sayang sekali aku tidak bisa memeriksa handphoneku. Yang seperti ini membuatku penasaran," tiba-tiba lelaki bermata biru disamping Aruna menyodorkan handphone yang ia sita.     

Perempuan hamil ini menyipitkan matanya, dia tersenyum bahagia. Lekas dimainkan layar handphonenya. Dan benar saja baik Rolland maupun Juan memberinya alasan kenapa mereka tidak datang. Walaupun kenyataannya alasan itu tampak dibuat-buat.     

"huuuh," kini senyum Aruna memudar. Selepas ia mendengarkan desahan nafas lagi di sampingnya. Ketika Aruna menoleh pada pria tersebut. Ia mendapati Mahendra bersedekap tangan menatap satu persatu anak buahnya.     

Hanya Herry yang terlihat baik-baik saja detik ini. Yang lain, jangan ditanya bagaimana mereka mengikat erat jari-jari mereka pada masing-masing sendok yang sedang di pegang.     

"kau," dagu Mahendra bergerak, memanggil pemuda yang ada di hadapannya. "dan kau, kau," dia mengabsen anak buahnya selain Herry, "bagaimana bisa kalian ada di hadapanku?"     

Bingung. Ketiganya mencoba mengangkat wajah. Sepasang mata biru menatap layaknya belati tajam mengedarkan hawa dingin bak es.     

"Karena kita keluarga, maka mereka datang, untukku, bukan sekedar untuk bekerja pada Tuannya," hawa hangat datang di sela-sela udara dingin. Seiring tiga pemuda menatap Aruna penuh harap.     

Bibir bawah Mahendra terlihat masuk ke dalam sela giginya. Dia menekan niatnya berbicara.     

"Aku rasa tidak ada yang salah dari makan bersama," mata cokelat menyipit dia mengambil satu persatu hidangan di hadapannya tanpa rasa bersalah atas tindakannya.     

'apa yang salah dari menuruti harapan perempuan,' bergumam lirih, ada kesal yang dia tunjukan terang-terangan.     

"Nona bilang dia mengidam, sangat ingin melihat keberadaan ku, jadi aku datang," Wisnu mengungkap yang terjadi di balik pesan yang didapatkan beberapa menit sebelumnya, "aku yakin yang lain juga-," si jahil satu ini menghentikan kata-katanya.     

"jadi kamu menggunakan cara licik untuk memaksa mereka datang?" Herry detik ini tersenyum tatkala mendengarkan kalimat tuannya yang diiringi ekspresi terheran-heran.     

"memangnya ada yang salah?" perempuan hamil ini mengangkat bahunya, "aku mengundang para paman, ini semacam membangun kedekatan sebelum baby lahir,"     

Wajah Mahendra kian mengerut.     

"Aku," dia yang mencari-cari alasan mengelus ringan perutnya, "aku sangat penasaran dengan para paman," terdengar konyol.     

"kata-katamu sungguh!" hawa dingin yang menghangat di tandai dengan gelengan kepala yang di lakukan Mahendra, "bukan main,"     

Aruna menampakkan giginya, dia senang detik ini. Akan tetapi ekspresi Mahendra kekeh mengintimidasi, "eh' uh' baby," ya perempuan hamil membuka sedikit bibirnya, matanya berkedip dengan ritme cepat.     

'bekerja sama lah dengan ku baby,' dia pikir ini akan berhasil. Aruna pura-pura sakit perut.     

Hendra terdengar menghirup udara dalam-dalam lalu di hembuskan, "Aku yakin ini," tapi alis pria itu tidak bisa berbohong bahwa pada situasi dimana dia tahu dirinya di permainkan istrinya dia khawatir.     

Tubuh Aruna melengkung ke depan, lalu tangannya yang lain yang tadinya berada di atas meja di tarik dan berakhir turut memegangi perutnya.     

"jangan bercanda!" Mahendra masih menimbang-nimbang apakah dia yang berada di depannya sedang memainkan permainan atau benar-benar merasakan sesuatu di perutnya.     

Selepas sadar bayi siap di lahirkan seminggu lagi. Laki-laki itu tak lagi berpikir. Berhambur dan meraba bayinya.     

"Rileks.." dia berbicara lembut. Mengusap memberi pertolongan terbaik.     

Perilaku Hendra mendorong para pemuda di sekitarnya yang semula hanya menatap curiga permainan nona mereka kini ikut mengerutkan alisnya. Bertanya-tanya apakah yang terjadi sungguhan.     

Saat salah satu mulai berpikir berdiri, dan pria yang mengelusi perut istrinya sembari menguarkan mantra penenang menoleh pada salah seorang dari Ajudan —Hendak memerintah.     

Tiba-tiba segalanya berubah total. Perempuan yang mengeluh melempar gelak tawa. Dia memanipulasi segalanya.     

"Ha-ha-ha!!" masih tertawa bahkan ketika tubuh lelaki bermata biru yang tadinya condong kepadanya perlahan menjauh. Aruna masih tertawa.     

Diam-diam beberapa yang hadir di meja makan menggigit bibirnya supaya tidak ikut menertawakan wajah panik beberapa dari mereka yang tertipu.     

Asal diketahui yang paling terlihat tertipu ialah Mahendra dan Herry. Ajudan itu berdiri hendak berlari mencari pertolongan.     

"Tidak lucu!" geram Mahendra. Selera makannya hilang mendengar suara tawa yang menyebalkan.     

Giliran Mahendra menoleh lalu menatap Aruna.     

"jangan terlalu kaku, sayang, Saat hidup menarik urat saraf kita sampai tegang, tertawalah sebanyak-banyaknya. Itu hanya urat, mari kita kendurkan, begitulah cara kerjanya."     

Aruna meliriknya, mengintip ekspresi lelaki bermata biru. Aruna pikir lelaki tersebut bakal mengambil sikap murka seperti kebiasaannya terhadap tindakan sepihak Aruna. Akan tetapi di luar prediksi dia terlihat pasrah saja.     

Herry yang kecewa sendirian. Dia mendapatkan ejekan melalui kerlingan Mata sang nona.     

Berbeda dengan yang lain, Para pemuda melahap Hidangan hari ini sampai tak bersisa. Giliran piring-piring saji di tinggalkan, sesuai janji yang di buat pasangan suami istri.     

Mahendra dan Aruna harus berpindah ke ruangan lain. Ruangan yang berlokasi tepat di sebelah ruangan makan VVIP. Taman buatan di lantai ke tujuh gedung Djoyo Rizt Hotel.     

"Aku rasa kalian semua wajib ikut serta menjadi bagian foto maternity baby," perempuan hamil ini menatap satu persatu ajudannya.     

"aku tahu ini ide bagus,"     

"Wohoo..." ada yang berseru, "tentu saja, Sangat bagus!!" Hendra menegaskan. Tersenyum menyeringai kepada para ajudan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.