Ciuman Pertama Aruna

IV-242. Jiwa Lelaki



IV-242. Jiwa Lelaki

0"Wohoo..." ada yang berseru, "tentu saja, Sangat bagus!!" Hendra menegaskan. Tersenyum menyeringai kepada para ajudan.     

"Sial! Tuan kita mencari teman," Wisnu berbicara lirih berbisik pada Jav.      

"Semalam aku merasa begitu keren, memegang senapan dan bertaruh di dalam api yang memanas. Seorang aktor 'fast furious' bisa jadi kalah telak dengan kita," imbuhan Jav mendapatkan anggukan.      

"Dan sore ini kita harus tersenyum manis untuk sesi bersama bunga dan perangkat maternity, bukan kah ini sangat konyol?" protes Alvin. Dia berbicara kepada kedua temannya, tidak untuk Herry.      

Sebab, entah bagaimana Herry seolah menikmati sesi berganti kostum tuksedo yang menjadi bagian dari tema maternity.      

"Kalian harusnya bersyukur, kita dianggap bagian keluarga Djoyodiningrat," bisikan Herry terdengar seperti peringatan. Pria pragmatis ini selalu punya cara mengendalikan rekan-rekannya. Bukan karena dia yang paling dekat dengan Mahendra melainkan kekeh-nya memegang nilai kebenaran tentang pengabdian.      

Jadi setiap kali Herry bicara yang lain hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Menyangkal herry bakal terlihat sia-sia, lebih tak masuk akalnya lagi ajudan lain akan merasa dirinya sedang menjadi golongan anak nakal ketika terlalu berbeda dengan Herry, dimana Herry terkesan sebagai ketua kelas paling patuh aturan.      

Ekspresi pasrah yang terlintas di wajah ajudan di tangkap Aruna. Perempuan yang baru keluar dari ruangan dengan gaun putih di tengah-tengah para pria bertuksedo hitam kecuali suaminya.      

Mahendra mengenakan warna navy menuju gelap. beberapa kali tangan lelaki bermata biru itu merapikan pita kupu-kupu di lehernya. sesaat kemudian seorang perempuan yang bertugas membantu sang tuan mengenakan jas mendekat dan membuat gerakan tangan bersama jas navy di tangannya.      

"Bisakah Jas itu diberikan pada Herry?" Hendra spontan menoleh lalu mengerutkan dahinya. ekspresi bibir ditekuk dan gelengan kepala di suguhkan Aruna.      

"kamu tak suka warna navy?" ini suara Mahendra.      

"bukan seperti itu,"      

"lalu?"      

"em…" dengungan Aruna sejalan dengan ingatannya akan sosok seorang perempuan yang membuatnya begitu cemburu. Dan perempuan itu dulunya adalah sekretaris yang menelungkupkan jas di tubuh suaminya tiap pagi. "Biarkan Herry yang membantumu mengenakannya,"      

Kecanggungan melanda perempuan di dekat lelaki bermata biru. Sepertinya perempuan tersebut lekas sadar dan langsung mundur menyerahkan jas di tangan pada salah satu dari empat lelaki yang sibuk mengenakan pakaiannya.      

"Aku bisa melakukannya sendiri herry, rapikan dirimu," hendra memilih mengenakan jasnya tanpa bantuan. berdiri di depan cermin dan sesekali dia melirik istrinya untuk memastikan perempuan itu suka.      

ketika pria ini mendekat pada perempuannya dia menekuk kakinya. mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi sofa yang digunakan aruna duduk.      

"aku tak mengerti. Bagaimana bisa istriku menjelma sebagai seorang pencemburu saat ini," bisikan itu hadir bersama cara lelaki mendekatkan wajahnya pada perut sang perempuan kemudian dia menyentuhkan bibirnya di atas perut. sepertinya pria ini gemas dia tak menjauhkan wajahnya dari perut istrinya dan sekali lagi gerakan mengendus permukaan kulit perut Aruna di pertontonkan.      

"Aku tidak cemburu, aku sedang menjaga milikku,"      

dia yang mendengarkan ungkapan kesal istrinya tersenyum lebar. Ketika matanya mendongak mencuri lihat istrinya. perempuan bermata coklat itu mengarahkan pandangan pada sekelompok pemuda yang terlihat bercakap-cakap.      

"Mereka Tampak terpaksa," suaranya berubah sedih. dan hendra lekas bangkit.      

"jangan lakukan sesuatu yang membebani," ujung jas hendra di tarik Aruna.      

"aku akan memotivasi, bukan mengancam," Hendra menolehkan wajahnya kembali menatap Aruna.      

"dengan ekspresi sangarmu itu?"      

"oh' haruskan aku tersenyum seperti ini," dia menampilkan lesung pipinya dan aruna berkenan melepaskan ujung baju suaminya.      

.     

"Tahukah kalian?" hendra mendesah, "aku sama dengan kalian," dia berbicara dengan nada bersahabat, "tidak ada kerennya berfoto dengan tampilan seperti ini," ujar mata biru sekali lagi pada Ajudannya.      

sekelompok ajudan yang berdiri tegap sebab tuannya berbicara pada mereka. "tapi. kenangan indah jauh lebih berharga dari benda termahal sekalipun," mata sekelompok saling melirik mencoba menangkap makna yang disampaikan tuan mereka, "sayangnya para perempuan dan tema yang mereka tawarkan yang paling bisa menciptakan kenangan berharga,"      

Beberapa mengangguk. memungut pemahaman yang disuguhkan Mahendra.      

"Jika kalian terpaksa hari ini, tahanlah sejenak untuk putriku," membalik tubuhnya meninggalkan mereka yang masih termangu. sekelompok ajudan tersebut cukup terkejut dengan cara tuan mereka berbicara.      

"Dia sedikit berbeda,"      

"Aku rasa itulah jiwa lelaki yang sebentar lagi menyandang status ayah," kekeh dan senyum kecil terurai diantara para ajudan sebelum sekelompok lelaki muda tersebut berbaris rapi di belakang sepasang suami istri yang duduk pada sofa berwarna putih.      

"Oke…"      

"Yang belakang tolong sedikit rileks,"      

"Tersenyumlah tuan, Anda terlihat tegang,"      

"Bisakah anda mendekat, ya begitu bagus,"      

Fotografer bekerja ekstra hari ini.      

***     

"Bagaimana ceritanya kamu berakhir seperti ini?" Salah satu ruang di rumah sakit di penuhi ketegangan.      

"Kecelakaan terjadi di-," kalimat ini belum usai disuarakan tatkala perempuan yang menjadi lawan bicara lelaki yang terbaring di atas ranjang merampas ucapannya.      

"Kecelakaan? Haha," dia tertawa mengejek. menghina putranya sendiri.      

"Kecelakaan?? Kecelakaan membakar seluruh gedung tanpa sisa. Dan helikopter keluarga Djoyodiningrat terbang di atasnya," perempuan paruh baya melangkah mundur seberes asistennya menyiapkan kursi. Dia duduk di dekat ranjang putranya.      

Lelaki yang merasa amat sangat terhina detik ini.      

"Aku tidak menyangka," dia berbicara lagi kata-katanya terdengar seperti ejekan, "cucu Wiryo bisa berbuat sejauh ini, dan…" Julia yang memiliki nama asli Clara menatap lekat putranya, "semudah itu kau di buat kacau olehnya,"      

Rio hanya diam.      

"Apakah para dewan tahu kejadian ini?" Kembali Julia menodongkan pertanyaan yang terdengar seperti cemooh.     

"Hanya key barga yang terlibat, aku bisa mengendalikan anak itu," balas Rio.     

"Pastikan mereka tidak menyadari betapa mengerikannya kelakuanmu semalam," sekali lagi perempuan yang sebagian besar rambutnya tertutup topi bundar tersebut bicara dengan nada yang tak nyaman didengar.      

"Kita perlu menuntut balas! mereka perlu tahu menyentuhmu dan orang-orangmu sama dengan cari mati," Rio mengangguk ringan untuk ibunya walaupun pria bertubuh tinggi besar tersebut tidak sekalipun menoleh pada sang ibu.      

Kenyataannya key barga lah yang memulai, tindakan sepihak pemuda tersebut kelewatan ceroboh.      

"Ya aku tahu…" hendak membalas pernyataan ibunya.      

Seorang mengetuk pintu dan buru-buru di buka oleh asisten Julia. Seorang lelaki bermata hitam pekat hadir bersama pasangannya.      

"Dimana adikmu?" Ini kalimat pertama yang keluar dari Rio.      

"Adik? E.. Gesan?"      

"Bukan," Rio lekas menyela.      

"Geraldine. Kenapa aku belum melihatnya?" Mendengar pertanyaan ayahnya Gibran hanya bisa menelan salivanya.      

Terlalu mustahil detik ini untuk menjelaskan bahwa Geraldine meletakkan sebuah surat di meja untuk dirinya. Memberitahukan bahwa dia melarikan diri, pergi dari rumah bersama pacarnya.      

"Geraldine sepertinya sedang berlibur dengan teman-temannya, saya aku usahakan secepatnya bisa memberitahunya,"      

"Anak itu… tak biasanya dia datang paling akhir menemui ku," keluh Rio.      

"Kalian berdua," ini suara Julia, "aku tidak akan menoleransi lagi. Cepat menikah. Aku risih melihat kalian tinggal bersama tanpa status yang jelas,"      

Gibran mengalihkan pandangannya dari mengamati ayahnya ke arah perempuan kurus di sisinya. Tangan pria itu bergerak lambat meraih telapak tangan kanan sang perempuan, "kami setuju pendapat anda nenek, kita memang berencana menikah Minggu ini," dia belum menghilangkan senyumannya untuk sang perempuan yang matanya berubah sayu. namun, lehernya harus bergerak mengangguk sejalan kemudian perempuan tersebut memaksakan diri untuk membalas senyuman.      

'inikah rasanya melawan perasaan sendiri?' Syakila bertanya pada diri sendiri. Dia merasa kosong detik ini.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.