Ciuman Pertama Aruna

IV-243. Like Sunshine After Rain



IV-243. Like Sunshine After Rain

0"apakah kamu sangat kelelahan?"      

"perlukah kita istirahat di sini malam ini?"      

Lelaki bermata biru terlalu cerewet hanya untuk memastikan istrinya baik-baik saja. Perempuannya menutup mata selepas sesi pemotretan yang memakan waktu. Para ajudannya sudah berganti pakaian dan mereka mundur satu persatu untuk istirahat.      

Dia sendiri lelah hari ini setelah malam yang mengerikan.      

"jangan berisik, beri aku waktu lima menit untuk bersantai," ini yang dikatakan aruna sembari menutup matanya.      

sayangnya keinginan Aruna tidak bisa terpenuhi, dering telepon mengganggu mereka berdua. lelaki yang duduk di sisi istrinya berdiri sepelas bibirnya mengecup pelipis. dia mencari tas tangan dan memeriksa isinya.      

"Aliana?" Hendra melihat nama tersebut di layar Handphone. sejalan kemudian langkah berat dia ambil. hendra tidak suka dengan suara berisik aliana yang lekas meneriakkan nama istrinya dan bertanya dimana mereka sekarang dengan anda tinggi dan terdengar hampir tidak mengambil nafas.      

[Kurangi volume suaramu aku mendengarmu!]      

[Hendra??] di ujung sana perempuan yang baru sadar siapa yang mengangkat panggilannya terdengar menghirup udara dalam-dalam, [Aruna? aku ingin bicara dengannya]      

[Ya,]      

"siapa?" Hendra sekedar menggerakan dagunya ketika mendapati mata istrinya terbuka.      

"Kakak?" dan perempuan hamil ini lekas membenarkan  duduknya.      

Hendra duduk di sisi Aruna, suara berisik mendengung seperti segerombolan lebah yang sedang terusik. Anehnya si perempuan yang awalnya bermalas-malasan detik ini berubah sumringah.      

"Kita pulang!" dia mendesak mengoyak tangan Mahendra.      

"Ya…"      

"jangan iya, iya aja, ayo…!"      

"Iya.. bersabarlah sayang, aku sedang merapikan barang-barangmu,"      

"Cepat!"      

"kemana herry dan yang lain?"      

"Aku mau mobilnya bergerak lebih cepat!"      

Keluarga Lesmana datang ke rumah induk. Membuat perempuan di sisi Mahendra kesulitan menemukan kesabaran.      

***     

"Love comforteth like sunshine after rain." - William Shakespeare     

Di luar hujan, bukan hujan petir melainkan rinai kecil yang mengurkan bau tanah dan suasa dingin mengigit. Tak seperti hari-hari umum di negara tropis hujan menjadikan jalanan lebih lenggang. Dan itu terlihat menyenangkan.      

Perempuan mengamatinya, dia menyuguhkan ekspresi datar terhadap apa yang tersaji di bawah sana. memegang cangkir susu hangat dan berdiri di dekat jendela dia melihat tanpa berkedip pada jalanan basah dari lantai lima sebuah gedung rumah sakit.      

"Aku sudah selesai dengan ayahku, ayo kita pergi dari sini," pria bermata hitam legam meletakkan tangannya di sela pinggang. beberapa saat kemudian bibir lelaki tersebut mengecup lembut ubun-ubun rambut.      

"Kau kedinginan?" mata perempuan ini sekedar menatap tanpa menjawab. Tanpa diduga pria di sisinya membuka Coat yang menelungkupi tubuhnya lalu membungkus bahu perempuan yang masih enggan bicara.      

"sebaiknya kita cari makan?"      

"apa kamu lapar?" kalimat ini seiring dengan rasa hangat lain yang di suguhkan sang lelaki sebab detik ini ia memberi pelukan dari arah belakang.      

"Aku harus membawamu ke restoran terbaik agar kamu lebih berisi lagi," dia terkekeh kecil di telinga. dan sekali lagi kecupannya mendarat di atas permukaan kulit sang perempuan. tepatnya di ceruk leher.      

Dia masih belum bicara, menyesap lambat susu hangat yang pada akhirnya diraih Gibran lalu di teguk sembarangan sampai tak bersisa.     

"Susu ini bisa menghabiskan banyak waktuku untuk bersenang-senang, jangan marah, aku meminumnya supaya kita cepat berangkat," dia berbicara sembari menghapus warna coklat susu yang membekas di bibirnya.      

Gibran meraih tangan syakila dan membawanya pergi dari tempatnya berdiri.      

***     

"jalan pelan-pelan!" pria ini menggertak, "kamu boleh bersemangat tapi," dia mendesah, "perhatikan langkahmu!" mengomel dan berisik, aruna mengabaikan semua peringatan lelaki bermata biru.      

"Aruna!" suaranya naik dengan nada jengkel yang tak mampu dia kendalikan.      

"Harry! kenapa lama sekali menyiapkan-," kalimat ini terpotong sebab perempuan hamil melepaskan diri dari tangan suaminya dan dia menaiki tangga sendirian.      

"Hais!" yang ada di kelapa Mahendra adalah Plasenta Previa yang di idap istrinya. Dan hal itu mendorongnya bergerak cepat meraup tubuh perempuan dengan perut besar ke dalam dekapan sebelum memarahinya sekali lagi.      

Aruna bergerak-gerak ketika mereka mendekati ruangan tengah yang samar-samar terdengar suara ayah, dan saudara-saudaranya.      

"Herry!" harry yang membuntuti di belakang lekas menyodorkan kursi milik nonanya. dan hendra telah menjelma menjadi lelaki galak. dia spontan mencengkeran bahu istrinya lalu mendudukannya.      

bertautan mata sejenak, raut wajah jengkel disajikan keduanya. namun itu hanya berlangsung sejenak. sebab ketika roda kursi bergerak dan di ujung sana. Pada ruang tengah rumah induk keluarga Djoyodiningrat terdapati sekelompok orang berdiri menyambut kedatangannya. Perempuan hamil ini tersenyum lebar.      

kakaknya Aliana melepaskan baby Alan yang sudah bisa berdiri sendiri. bayi kecil itu berjalan gontai mengikuti arah gerak ibunya yang menghambur memeluk adiknya.      

Hendra tak lagi peduli dengan istrinya, dia mengamati bocah kecil yang berjalan dengan langkah tidak sempurna menuju ke arahnya.      

Mengabaikan suara berisik Aliana dan Aruna yang tengah melepas kerinduan. lelaki bermata biru tersebut mengambil langkah gesit, lebih gesit dari Aditya saat kedua pria ini hendak menyelamatkan bayi kecil yang terlihat akan jatuh.      

Dia mengangkatnya ke udara sebelum meletakkannya dalam dekapan dengan memanfaatkan satu tangan kanan.      

"Alan tumbuh cepat," hendra berbicara pada Aditya tanpa menatapnya. Mata birunya sibuk mengamati bayi di pelukannya dan sesekali tangan kirinya bergerak untuk mengimbangi makhluk berliur yang memukul-mukul dadanya sembari membuat suara acak.      

"Kamu benar," ini Aditya, lelaki berkacamata tersebut memperhatikan bayinya dengan seksama terutama air liurnya. Ayah Alan takut liur bayinya melumuri Hem Hendra.      

"Oh' dia-" Air liur Alan benar-benar membasahi hem Hendra.     

"tak, apa," Hendra menyingkirkan tangan Aditya yang hendak meraih bayinya.      

"Kalian terlihat akur," Anantha datang, salam sapa-nya konsisten menyebalkan seperti biasa. Tangan kirinya memukul ringan lengan Hendra sebagai bagian dari salam jumpa.      

"Aku cukup terkejut, semua keluarga datang tanpa pemberitahuan," ini suara Mahendra. mengedarkan pandangannya dan sorot mata lelaki ini terhenti pada perempuan yang duduk di belakang ibu Indah. terlihat kikuk dan asing.      

"Yah, anggap ini kejutan," sela Anantha.     

"He' hehe!" entah bagaimana Aditya terkekeh.      

tawa ringan itu disambut dengan ekspresi jengkel Anantha.      

"Apa yang terjadi?" Hendra mengarahkan pandangannya dari Anantha ke arah Aditya secara bergantian.      

Lelaki bermata biru ini bahkan tak menyadari ujung dasinya sudah masuk di mulut Alan.      

"Akan aku jelaskan padamu. tapi tidak sekarang,"      

"Ayolah jangan membuatku penasaran!" Kini giliran Hendra memukul bahu Anantha.      

"Jangan lakukan itu! ingat. aku kakak tertua dan statusku tertinggi di sini," Anantha mengerutkan alisnya, pria ini bicara dengan nada ketus, "Yeah.. walaupun kau bos dari bosku, aku masih kakakmu," Menggertak hendra yang mesing enggan meredakan caranya memukul ringan lengan atas Anantha.      

"Yeah kakak hormat baru saja tertangkap tangan, tidur di apartemen pacar nya dan…"      

"Aditya!"      

"Apa kau di arak warga kampung?? Bwahaha.." Hendra tertawa lepas seiring usaha Anantha meraih baju Aditya dan lelaki berkaca mata itu menghindar dengan melingkari tubuh Mahendra.      

.     

.     

"Maaf, aku tak setuju! mengutamakan hari baik untuk kelahiran bayi jauh lebih penting daripada pernikahan,"      

"sebaiknya kita ambil jalan tengah,"      

"Sebelum berdebat, isi perut kalian dulu,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.